Mohon tunggu...
Hanif Sofyan
Hanif Sofyan Mohon Tunggu... Full Time Blogger - pegiat literasi
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Buku De Atjehers series

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

4 Orang Makan Nangka, Se-Indonesia Kena Getahnya

20 April 2022   13:45 Diperbarui: 24 April 2022   11:26 396
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

koreksinews

Kasus minyak goreng memang aneh bin ajaib. Jika sebelumnya, polemik yang muncul sebagai biang kisruh masalah minyak goreng kita adalah, dugaan para kartel-mafia yang menyembunyikan minyak goreng, ternyata dipatahkan dengan berita baru "orang dalam" pemerintah sendiri yang  terlibat menjadi pelaku jutamanya. Kasus ini adalah preseden buruk bagi pemerintah.

minyak-goreng-62600392ef62f670fb09a4b3.jpg
minyak-goreng-62600392ef62f670fb09a4b3.jpg
IDX channel

Orang Dalam Pemerintahan

Terbongkarnya kasus migor, dengan keterlibatan orang dalam-pejabat pemerintah, sebagai dalang kisruh kelangkaan minyak goreng, menjadi pukulan telak bagi pemerintah sendiri, seklaipun dilakukan oknum.

Kebijakan yang diputuskan oknum Dirjen Kemendag membuat para pengusaha minyak goreng lebih memilih menjual jatah minyak gorengnya untuk bio solar karena lebih mahal, terlebih adanya jaminan dan subsidi dari pemerintah sendiri. 

Akibatnya minyak goreng lenyap dari pasaran. Bahkan kementerian perdagangan menyerah kalah dalam urusan polemik minyak goreng ini. Apakah itu artinya benar bahwa, sejak lama ada dugaan orang dalam pemerintahan yang bermain, sehingga kementerian sendiri tak mau terbuka?.

Sebagai bentuk komitmennya, Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi memang pernah berjanji mengungkap siapa saja mafia minyak goreng sebagai penyebab kelangkaan, dan akan bekerjasama dengan pihak kepolisian untuk membongkarnya.

Akhirnya pihak kejaksaan yang kemudian merilis para tersangkanya. Menurut sumber resmi dari Kejaksaan Agung, IWW adalah inisial tersangka dari Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan (Dirjen PLN Kemendag), yang ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan korupsi pemberian fasilitas ekspor crude palm oil (CPO) atau minyak goreng sawit.

Selaku pejabat Kemendag, IWW menerbitkan izin persetujuan ekspor kepada tiga perusahaan. Pengeluaran izin tersebut dituduh melawan hukum. 

Langkah kebijakan pejabat kemendag, tidak berpedoman pada pemenuhan kewajiban distribusi kebutuhan dalam negeri sehingga harga penjualan di dalam negeri melanggar batas harga. 

Sedangkan 3 rekanannya yang diduga mendapat gratifikasi dalam pemberian izin persetujuan ekspor, berasal dari 3 perusahaan yang berbeda; MPT (Komisaris PT Wilmar Nabati Indonesia), SMA (Senior Manager Corporate Affair Permata Hijau Grup (PHG), dan PT (General Manager di Bagian General Affair PT Musim Mas). 

Dok. ANTARA Foto
Dok. ANTARA Foto

Mereka dituding sebagai biang keladi polemik minyak goreng kita yang dampakya masih terasa hingga saat ini.

Minyak goreng menjadi komoditi yang harganya tetap mahal, masih langka dipasaran dan mengganggu ekonomi secara keseluruhan, karena memancing inflasi, menyebabkan  penurunan konsumsi rumah tangga dan industri kecil yang menggunakan minyak goreng.

Realitasnya ketika harga minyak goreng sudah murah, justru langka dipasaran, ketika demand-permintaan naik, dengan segera pasar akan banjir dengan minyak goreng, namun harganya sudah di mark up!.

Kebijakan Melawan Hukum

Perusahaan-perusahaan yang di beri kewenangan oleh oknum Kemendag, ternyata bukanlah perusahaan eksportir yang berhak mendapat persetujuan ekspor. 

Perusahaan tersebut selama ini sudah berperan sebagai perusahaan yang mendistribusikan CPO atau RDB Palm Oil, namun tidak sesuai dengan harga penjualan dalam negeri atau DPO (Domestic Price Obligation) dan DMO (Domestic Market Obligation).

Kondisi tersebut menyebabkan kebijakan pemerintah menekan harga akibat kelangkaan minyak goreng dengan kebijakan Harga Eceran Tertinggi (HET) gagal. 

Pemerintah kemudian menyerahkan harga minyak goreng kemasan, sepenuhnya  ke mekanisme pasar. Nah, disinilah blunder itu terjadi. Begitu keran HET ditutup, minyak goreng kembali banyak tersedia di pasar dan toko, namun harganya langsung melambung tinggi.

Apa sebenarnya standar DPO dan DMO dalam konteks kasus minyak goreng dan penyalahgunaan izin ekspor tersebut?.

DPO (Domestic Price Obligation) minyak sawit, berkaitan dengan peentapan harga penjualan minyak sawit dalam negeri yang sudah diatur dalam Keputusan Menteri Perdagangan Republik Indonesia nomor 129 tahun 2022DPO . Batasan harga minyak sawit adalah Rp9.300 per kg,  dan sudah termasuk nilai PPN.

Sedangkan Domestic Market Obligation (DMO) berkaitan dengan kewajiban bagi perusahaan atau kontraktor minyak dalam negeri, untuk pemenuhan kebutuhan domestik. Sehingga kebutuhan pasar untuk minyak goreng selalu tersedia, dan tidak memicu inflasi jika timbul kelangkaan.

Dua kebijakan pemerintah itulah yang menyebabkan timbulnya berbagai masalah. Ketika pemerintah resmi menerapkan kebijakan DMO dan DPO untuk semua produsen minyak goreng, kebijakan itu mengembalikan kondisi pasar pada mekanisme  perdagangan minyak goreng seperti kondisi sebelum ada permendag 01 dan 03 tahun 2022. 

Skemanya, bahan baku yang awalnya bergantung pada harga CPO internasional, kini diperoleh produsen minyak goreng dengan harga sedemikian rupa sehingga urutannya ke HE tetap terjangkau di 14 ribu. 

Mengapa kita merubah skema pada kondisi awal, karena ketika kebijakan permendag 01 dan 03 dijalankan , banyak kendala dihadapi sehingga terjadi kesenjangan ketersediaan minyak goreng di masyarakat.

Intinya adalah ada perbedaan tentang kepastian pemasokan bahan baku untuk minyak goreng dengan harga yang disesuaikan dengan Harga Eceran Tertinggi (HET) untuk minyak goreng sendiri. Karena kebutuhan CPO mencapai 5,7 juta KL. 

Meski Indonesia memiliki bahan bakunya namun dengan aturan DMO,  setidaknya produsen wajib menyediakan 20% untuk kebutuhan dalam negeri. Inilah pasal mengapa kebijakan itu kemudian menimbulkan masalah.

Ditambah lagi justru dalam kondisi tersebut Dirjen PLN Kemendag memainkan kebijakan bersama 3 patner bisnis swasta, menyebabkan makin hilangnya minyak di pasaran dan berakhir dengan kisruh yang dampaknya masih dirasakan hingga sekarang.

Solusi Mutakhir

Solusi pemerintah di awal kasus, dengan aturan baru mewajibkan industri menyediakan minyak curah dengan patokan harga tertinggi Rp 14.000 per liter atau Rp 15.500 per kilogram, ternyata hanya bersifat sementara. Dan pada akhirnya peluang untuk diselewengkan terjadi dan pelakunya adalah dari orang dalam pemerintahan sendiri.

Kekuatiran yang sama disampaikan seorang peneliti dari YLKI mengatakan kebijakan ini berpotensi diselewengkan pihak tertentu dengan kemasan palsu demi mendapat untung besar. Selain pemalsuan minyak curah menjadi kemasan, penimbunan juga menjadi masalah klasik penambah blundernya.

Kebijakan lain yang digunakan pemerintah sebagai senjata untuk mengatasi masalah minyak goreng adalah aturan baru dari Menteri Perindustrian yang mewajibkan 81 perusahaan minyak goreng menyediakan minyak curah untuk kebutuhan masyarakat dan UMKM. 

Aturan ini termuat dalam Peraturan Menteri Perindustrian (Permenperin) No. 8/2022. Mekanismenya adalah mewajibkan semua industri MGS [minyak goreng sawit] mendaftar melalui SIINas [Sistem Informasi Industri Nasional] dan bagi perusahaan industri yang tidak mendaftar, akan dikenakan sanksi.

Hasilnya, dari kebijakan itu  47 perusahaan minyak goreng dan distributornya sudah mendaftar. Pemerintah kemudian melakukan subsidi  pembelian minyak curah dari perusahaan melalui Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS), agar harganya bisa dipatok Rp15.500 per kilogram di masyarakat, pemerintah akan mensubsidi.

Namun komisi VI MPR menjadi berang dengan kebijakan tersebut, karena menurut mereka, para pelaku usaha industri minyak kelapa sawit, adalah para konglomerat yang memiliki kebun,pabrik dan jalur distribusi. Ditambah lagi dengan bantuan subsidi dari BPDPKS, sehingga menurut para anggota komisi VI, kebijakan ini adalah dari konglomerat untuk konglomerat. Sama sekali tidak berpihak pada masyarakat.

Meski pemerintah optimis pada kebijakan tersebut, yakni program MGS Curah Subsidi dapat memenuhi pasokan kebutuhan pasar lebih besar dan dengan harga sesuai HET pemerintah, namun nyatanya mekanisme pasar bekerja dengan caranya sendiri, dan minyak di pasaran masih langka dan berharga tinggi jika tersedia.

Jadi langkah awal oleh Kementerian Perdagangan dengan menetapkan harga eceran tertinggi (HET) minyak goreng curah sebesar Rp14.000 per liter atau Rp15.500 per kilogram, demi menjaga stabilitas dan kepastian dan keterjangkauan harga minyak goreng curah di tingkat konsumen. 

Pada akhirnya semua dimentahkan dengan kebijakan izin ekspor bagi 3 rekanan dari pihak swasta yang saat ini sedang dalam proses, setelah ditetapkan sebagai tersangka kartel mafia minyak goreng yang sebelumnya selalu disangkal pemerintah.

Intinya pemerintah ternyata menyerah pada oligarki, menyerah pada kartel minyak goreng. Buktinya kewajiban industri pengekspor minyak sawit mentah (CPO) untuk mengalokasikan produksinya sebesar 20%, bahkan hingga 30% untuk kebutuhan dalam negeri, ternyata tidak dipatuhi. Buktinya adalah kasus minyak goreng saat ini.

Jika aturan dipenuhi, hal ini tidak akan terjadi. Otoritas kebijakan pemerintah yang tidak tegas menjadi salah satu penyebabnya. Padahal jika mengacu pada catatan dari Kemendag tentang kebutuhan minyak goreng dalam negeri di Indonesia pada 2022 yang mencapai 5,7 juta ton. 

Sementara produksi CPO tahun 2022 diperkirakan mencapai 49 juta ton. Sekalipun DMO-nya  sebesar 20%, masih bisa menalangi seluruh kebutuhan ketersediaan minyak goreng di dalam negeri. Sehingga tidak ada alasan timbul krisis.!

Jadi peran mafia atau kartel dan mekanisme pasar yang bermain di black market dengan menimbun minyak subsidi, atau memberi label minyak curah, yang akhirnya hilang di pasaran adalah penyelewengan yang sudah bisa diduga sejak awal.

Padahal sesuai hukum ekonomi, pemerintah selain bisa membiarkan harga minyak goreng sesuai mekanisme pasar, juga bisa menaikkan pajak ekspor CPO, untuk bantuan sosial pada masyarakat.

Situasi termutakhir paska ditetapkan para tersangka, kita tinggal menunggu apalagi kebijakan pemerintah yang dapat mengembalikan situasi kelangkaan minyak goreng dan kenaikan harga. Apakah pemerintah masih punya nyali dengan otorisasi kebijakannya?.

referensi; 1,2

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun