Hasilnya, dari kebijakan itu  47 perusahaan minyak goreng dan distributornya sudah mendaftar. Pemerintah kemudian melakukan subsidi  pembelian minyak curah dari perusahaan melalui Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS), agar harganya bisa dipatok Rp15.500 per kilogram di masyarakat, pemerintah akan mensubsidi.
Namun komisi VI MPR menjadi berang dengan kebijakan tersebut, karena menurut mereka, para pelaku usaha industri minyak kelapa sawit, adalah para konglomerat yang memiliki kebun,pabrik dan jalur distribusi. Ditambah lagi dengan bantuan subsidi dari BPDPKS, sehingga menurut para anggota komisi VI, kebijakan ini adalah dari konglomerat untuk konglomerat. Sama sekali tidak berpihak pada masyarakat.
Meski pemerintah optimis pada kebijakan tersebut, yakni program MGS Curah Subsidi dapat memenuhi pasokan kebutuhan pasar lebih besar dan dengan harga sesuai HET pemerintah, namun nyatanya mekanisme pasar bekerja dengan caranya sendiri, dan minyak di pasaran masih langka dan berharga tinggi jika tersedia.
Jadi langkah awal oleh Kementerian Perdagangan dengan menetapkan harga eceran tertinggi (HET) minyak goreng curah sebesar Rp14.000 per liter atau Rp15.500 per kilogram, demi menjaga stabilitas dan kepastian dan keterjangkauan harga minyak goreng curah di tingkat konsumen.Â
Pada akhirnya semua dimentahkan dengan kebijakan izin ekspor bagi 3 rekanan dari pihak swasta yang saat ini sedang dalam proses, setelah ditetapkan sebagai tersangka kartel mafia minyak goreng yang sebelumnya selalu disangkal pemerintah.
Intinya pemerintah ternyata menyerah pada oligarki, menyerah pada kartel minyak goreng. Buktinya kewajiban industri pengekspor minyak sawit mentah (CPO) untuk mengalokasikan produksinya sebesar 20%, bahkan hingga 30% untuk kebutuhan dalam negeri, ternyata tidak dipatuhi. Buktinya adalah kasus minyak goreng saat ini.
Jika aturan dipenuhi, hal ini tidak akan terjadi. Otoritas kebijakan pemerintah yang tidak tegas menjadi salah satu penyebabnya. Padahal jika mengacu pada catatan dari Kemendag tentang kebutuhan minyak goreng dalam negeri di Indonesia pada 2022 yang mencapai 5,7 juta ton.Â
Sementara produksi CPO tahun 2022 diperkirakan mencapai 49 juta ton. Sekalipun DMO-nya  sebesar 20%, masih bisa menalangi seluruh kebutuhan ketersediaan minyak goreng di dalam negeri. Sehingga tidak ada alasan timbul krisis.!
Jadi peran mafia atau kartel dan mekanisme pasar yang bermain di black market dengan menimbun minyak subsidi, atau memberi label minyak curah, yang akhirnya hilang di pasaran adalah penyelewengan yang sudah bisa diduga sejak awal.
Padahal sesuai hukum ekonomi, pemerintah selain bisa membiarkan harga minyak goreng sesuai mekanisme pasar, juga bisa menaikkan pajak ekspor CPO, untuk bantuan sosial pada masyarakat.
Situasi termutakhir paska ditetapkan para tersangka, kita tinggal menunggu apalagi kebijakan pemerintah yang dapat mengembalikan situasi kelangkaan minyak goreng dan kenaikan harga. Apakah pemerintah masih punya nyali dengan otorisasi kebijakannya?.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H