Kondisi tersebut menyebabkan kebijakan pemerintah menekan harga akibat kelangkaan minyak goreng dengan kebijakan Harga Eceran Tertinggi (HET) gagal.Â
Pemerintah kemudian menyerahkan harga minyak goreng kemasan, sepenuhnya  ke mekanisme pasar. Nah, disinilah blunder itu terjadi. Begitu keran HET ditutup, minyak goreng kembali banyak tersedia di pasar dan toko, namun harganya langsung melambung tinggi.
Apa sebenarnya standar DPO dan DMO dalam konteks kasus minyak goreng dan penyalahgunaan izin ekspor tersebut?.
DPO (Domestic Price Obligation) minyak sawit, berkaitan dengan peentapan harga penjualan minyak sawit dalam negeri yang sudah diatur dalam Keputusan Menteri Perdagangan Republik Indonesia nomor 129 tahun 2022DPO . Batasan harga minyak sawit adalah Rp9.300 per kg, Â dan sudah termasuk nilai PPN.
Sedangkan Domestic Market Obligation (DMO) berkaitan dengan kewajiban bagi perusahaan atau kontraktor minyak dalam negeri, untuk pemenuhan kebutuhan domestik. Sehingga kebutuhan pasar untuk minyak goreng selalu tersedia, dan tidak memicu inflasi jika timbul kelangkaan.
Dua kebijakan pemerintah itulah yang menyebabkan timbulnya berbagai masalah. Ketika pemerintah resmi menerapkan kebijakan DMO dan DPO untuk semua produsen minyak goreng, kebijakan itu mengembalikan kondisi pasar pada mekanisme  perdagangan minyak goreng seperti kondisi sebelum ada permendag 01 dan 03 tahun 2022.Â
Skemanya, bahan baku yang awalnya bergantung pada harga CPO internasional, kini diperoleh produsen minyak goreng dengan harga sedemikian rupa sehingga urutannya ke HE tetap terjangkau di 14 ribu.Â
Mengapa kita merubah skema pada kondisi awal, karena ketika kebijakan permendag 01 dan 03 dijalankan , banyak kendala dihadapi sehingga terjadi kesenjangan ketersediaan minyak goreng di masyarakat.
Intinya adalah ada perbedaan tentang kepastian pemasokan bahan baku untuk minyak goreng dengan harga yang disesuaikan dengan Harga Eceran Tertinggi (HET) untuk minyak goreng sendiri. Karena kebutuhan CPO mencapai 5,7 juta KL.Â
Meski Indonesia memiliki bahan bakunya namun dengan aturan DMO, Â setidaknya produsen wajib menyediakan 20% untuk kebutuhan dalam negeri. Inilah pasal mengapa kebijakan itu kemudian menimbulkan masalah.
Ditambah lagi justru dalam kondisi tersebut Dirjen PLN Kemendag memainkan kebijakan bersama 3 patner bisnis swasta, menyebabkan makin hilangnya minyak di pasaran dan berakhir dengan kisruh yang dampaknya masih dirasakan hingga sekarang.
Solusi Mutakhir
Solusi pemerintah di awal kasus, dengan aturan baru mewajibkan industri menyediakan minyak curah dengan patokan harga tertinggi Rp 14.000 per liter atau Rp 15.500 per kilogram, ternyata hanya bersifat sementara. Dan pada akhirnya peluang untuk diselewengkan terjadi dan pelakunya adalah dari orang dalam pemerintahan sendiri.
Kekuatiran yang sama disampaikan seorang peneliti dari YLKI mengatakan kebijakan ini berpotensi diselewengkan pihak tertentu dengan kemasan palsu demi mendapat untung besar. Selain pemalsuan minyak curah menjadi kemasan, penimbunan juga menjadi masalah klasik penambah blundernya.
Kebijakan lain yang digunakan pemerintah sebagai senjata untuk mengatasi masalah minyak goreng adalah aturan baru dari Menteri Perindustrian yang mewajibkan 81 perusahaan minyak goreng menyediakan minyak curah untuk kebutuhan masyarakat dan UMKM.Â
Aturan ini termuat dalam Peraturan Menteri Perindustrian (Permenperin) No. 8/2022. Mekanismenya adalah mewajibkan semua industri MGS [minyak goreng sawit] mendaftar melalui SIINas [Sistem Informasi Industri Nasional] dan bagi perusahaan industri yang tidak mendaftar, akan dikenakan sanksi.