Sebelumnya dalam Memorandum of Understanding (MoU) yang disepakati kedua negara pada 1 April 2022, telah dijelaskan tentang jumlah upah minimum yang diberlakukan untuk pekerja Indonesia.
Namun pernyataan Menteri Sumber Daya Manusia Malaysia, M. Saravan yang menyebut bahwa Putrajaya-Pusat pemerintahan Malaysia tidak menyetujui klausul yang menyebutkan gaji RP 1.500 dan menyerahkan kebijakan tersebut kepada masing-masing majikan.
Jumlah gaji sebagaimana dalam MoU dimulai dari angka RM 1.200, karena merujuk pada upah minimum di Malaysia sebelumnya yang dipatok di angka RM 1.200. Hal ini kemudian memicu polemik. Implementasi di lapangan berbeda dengan kesepakatan yang ditandatangani dalam MoU.
Kepastian Hasil MoU
Sebelumnya Duta Besar Indonesia di Kuala Lumpur, juga menyatakan kekuatiran  terhadap implementasi MoU, jika pernyataan dari M. Saravan direspon negatif oleh pihak Putrajaya, sehingga nilainya akan kembali di sama dengan Upah Minimum awal. Tidak sesuai dengan kesepakatan antara M. Saravan dan Menteri tenaga Kerja Indonesia Ida Fauziyah.
Bisa saja para majikan atau pengguna tenaga kerja akan mengikuti kebijakan pemerintah yang menolak membayar sejumlah minimal RM1.500.
Padahal berdasarkan proses yang disepakati di awal MoU, angkatan pembantu rumah tangga Indonesia yang masuk ke Malaysia setelah dibukanya kembali keran tenaga kerja,mulai Mei akan mendapat Upah Minimum sebesar RM 1.500.Â
Dalam nota kesepahaman juga disebutkan bahwa majikan harus membayar pembantu rumah tangga tidak kurang dari RM 1.500 langsung ke rekening bank pekerja, selambat-lambatnya pada hari ketujuh bulan berikutnya.
Namun polemik itu kelihatannya akan segera berakhir dengan jaminan dari pemerintah Malaysia melalui juru bicaranya Kementerian Sumber Daya Manusia M. Saravan yang menyatakan bahwa, pekerja rumah tangga asal Indonesia tidak akan dibayar lebih rendah dari Upah Minimum yang diberlakukan pada saat mereka bekerja di Malaysia.
Tenaga Migran, Potensi dan Ancaman
Bekerja sebagai asisten rumah tangga masih menjadi primadona bagi banyak TKI Indonesia yang mencari peruntungan di luar negeri. Selain bekerja sebagai tenaga profesi di bidang kesehatan, pekerja pabrikan, pekerja perkebunan, dan lainnya.
Mereka memanfaatkan selisih kurs yang lumayan menarik jumlahnya. Sekedar contoh, untuk saat ini kurs RM 1 adalah Rp.3333 atas mata uang RP Indonesia. Selisih itu kurang lebih jika dikonversi dari jumlah RM 1.500 akan setara dengan mata uang kita  sebesar Rp. 5 juta rupiah. Apalagi bagi para pekerja profesional, tentu saja jumlah akan jauh lebih besar.
Ini menjadi daya tarik yang luar biasa. Seorang rekan yang bekerja di Malaysia bisa mengirim hingga Rp. 5-10 Â juta rupiah ke kampung halamannya setiap bulannya. Angka itu akan sangat berarti bagi kita yang sedang lesu ekonomi.
Namun tidak sedikit juga berbagai kasus buruk yang menimpa para pekerja imigran kita karena faktor, ketidaktahuan risiko secara hukum, Â bekerja tidak melalui biro pencari kerja yang resmi, tidak memiliki keahlian khusus-hanya menjadi pekerja kasar atau buruh dan asistan rumah tangga tanpa jaminan kemanan, minimnya informasi terkait bantuan jika mengalami kekerasan selama bekerja di luar negeri.
Namun kasus yang paling umum terjadi adalah berstatus menjadi pekerja ilegal, sehingga tidak memiliki jaminan hukum dan perlindungan sebagai pekerja. Sebagai konsekuensinya jika mengalami tindak kekerasan tidak dapat diakomodir dengan cepat oleh pihak kedutaan besar di negara tempatan ia bekerja, karena berstatus sebagai pekerja ilegal.