Mohon tunggu...
Hanif Sofyan
Hanif Sofyan Mohon Tunggu... Full Time Blogger - pegiat literasi
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Buku De Atjehers series

Selanjutnya

Tutup

Ramadan Pilihan

Ngabuburit di Tiga Sungai Perempuan

17 April 2022   23:06 Diperbarui: 26 April 2022   16:24 874
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bentang air itu begitu luas dan deras. Dulu di pinggiran alur yang berliuk seperti naga raksasa itu banyak sekali di temukan "Lampung' sebutan lain untuk kedai terapung. Orang hilir mudik dengan sampan dan perahu berinteraksi dengan singgah sejenak menyeruput kopi hitam pahit  penghilang penat. Bahkan "ishoma" juga rutin di lakukan di sepanjang sungai itu.

mongabay
mongabay

mongabay
mongabay

Sejak jaman raja-raja lawas di Singkil, sungai itu dipenuhi penduduk tempatan, penduduk pedalaman yang awalnya singgah kemudian menetap menikmati keramaian.

Kini tinggal beberapa kampung yang masih bertahan, Kampung Gelombang, Dah, Sibuasen, Sibungkai, Panglima Saman, Muara Batu-Batu, Runding, Belukur, Binanga, Kuta Beringin, Siperkas, Oboh, Longkib, Sepang, dan Kampung Lenteng.

Orang juga masih mondar-mandir dengan "Bungki" perahu kecil tradisional, lebih tepatnya sampan, olahan dari sebatang pohon raksasa tua, yang bongkahnya dirubah menjadi betuk sampan kecil. Bagan juga masih ada disetiap depan rumah yang terasnya menghadap ke muka sungai-tempat mandi dan mencuci..

Sungai ini sungai purba, terpanjang di Aceh, dulu bahkan menjadi lalu lintas kayu-kayu hutan yang dihanyutkan dari "atas" melintasi sungai beratus-ratus ikat berupa sampan. Memancing banjir. Inilah sebab banyak kampung tergusur-berpindah karena tak tahan banjir bandangnya.

Kisah 3 Sungai "Perempuan"

Ada kisah menarik tentang tempat yang banyak dikunjungi orang kala bersantai menunggu puasa di Aceh. Daya tariknya karena ketiganya adalah wisata sungai, dan ketiganya identik dengan nama yang feminis- "perempuan".

Sungai Souraya

Meskipun "ganas" nama tabalan sungai di Daerah Aliran Sungai (DAS) Singkil di Aceh wilayah Selatan itu, begitu manis, Sungai Souraya, atau Lae Soraya, yang dilengkapi dengan gemericik air terjun. Mengingatkan kita dengan nama seorang gadis cantik.

Kini sungai Souraya menjadi salah satu tempat orang berkumpul menikmati waktu menunggu berbuka. Meski tak ada lagi "lampung"-kedai di pinggiran sungai. Sebagai penggantinya lapak-lapak penjaja dadakan selama ramadhan bertaburan di sisian kedua sungai. 

Beberapa orang masih menikmati "bungki" perahu kecil seperti "banana boat" untuk sekedar bersenang sekedar menunggu berbuka.

Makanan yang di jajakan di "lampung" modern itu pulut panggang, lemang bakar, air tebu, masih makanan tradisional teman berbuka yang alami. Tapi sekarang, beberapa kedai mulai menjajakan makanan kekinian.

Tapi jika orang berkunjung ke sungai Souraya, menikmati pemandangan arus yang bergerak tak henti, maka oleh-oleh yang menjadi jajanan ketika pulang dan persiapan berbuka, pastilah makanan kampung itu. Itulah ciri khasnya.

Begitulah, ada yang tersisa diantara romantisme yang diam-diam dihilangkan jaman. Illegalogging yang membahana, carut marut ekonomi yang berebut rezeki dari uang antah berantah, membuat kisahnya diam-diam mulai tenggelam.

Kecuali, bukti sungai itu yang terus mengalir, bahkan sesekali menitip "bandang" malapetaka. 

Bagaimanapun Ramadhan selalu menitip berkah, keramaian, keceriaan, dengan kehadiran lapak-lapak penjaja makanan berbuka, menikmati sungai. 

Ada yang duduk mencakung di pinggiran, ada yang menikmatinya dari sadel kereta-sebutan untuk sepeda motor, atau khusus pejalan kaki yang sengaja datang dari kampung dalam, menuju pinggiran sungai menikmati keramaian yang tidak biasa.

Sungai Sarah

snailcamera-img-20200110-133130-long-time-normalize-128s-3870fr-1-625c38c7bb4486542b17ef32.jpg
snailcamera-img-20200110-133130-long-time-normalize-128s-3870fr-1-625c38c7bb4486542b17ef32.jpg
yomapsnet

Mendengar namanya, pastilah langsung terbayang si empunya nama juga perempuan. Seperti kita mengenal nama kondang Sarah Sechan. 

Tapi ini bukan nama perempuan sembarangan. Di Aceh Besar, yang bersisian dengan ibukota Aceh, berjarak kurang lebih 20 kilometer. Sarah adalah objek wisata favorit. Tempat melepas lelah.

Sungai berbatu, luas dan lebar dengan pemandangan hutan mengingatkan kita dengan kisah-kisah petualangan. Meski lebar sungai yang kondang disebut Sarah ini, adalah sungai dangkal dengan bebatuan kecil dan besar. 

Dari sisian sungai kita harus melepas sandal, agar dapat menjejak batuan yang berserak di sepanjang sungai ini dengan air bening yang menyejukkan.

Ikan-ikan kecil sejenis susu melik atau wader berenang berebut cepat dengan deras arus sungai. Kita bisa memilih batuan yang agak besar untuk sekedar duduk atau berfoto ria.

Sarah yang berdekatan dengan Brayeun, masih memiliki alur sungai dari induk yang sama Sungai Leupung yang hanya terpaut jarak 200 meteran antara keduanya.

Sarah, sebenarnya berasal adari bahasa Aceh yang artinya telaga sungai yang tenang di hulu. Sarah bermuara ke Laut Lhoknga, Aceh Besar. Lokus tsunami besar yang dahsyat. Masuk dalam teritori Kampung Lamsenia, Kecamatan Leupung.

Selama Ramadhan sungai ini menjadi objek menarik untuk ngabuburit. Kini bahkan tersedia perahu bebek ukuran kecil untuk anak-anak bermain di alur yang agak dangkal tanpa bebatuan. 

Sementara para orang tua, remaja dapat menikmati alur sungai yang sejuk untuk melepas penat. 

Kita bahkan bisa membawa sendiri bekal jika berniat berkunjung kesana, tapi memang tak bisa lama-lama, karena begitu masuk waktu berbuka, kita menikmati sejenak, malam terasa begitu cepat remang di sana. 

Lampu-lampu kecil meski romantis, bukan tempat yang tepat untuk berlama-lama di pinggiran sungai.

Sebagian orang hanya memanfaatkan untuk menikmati ngabuburit, dan beberapa jenak sebelum waktu berbuka mereka akan kembali ke atas, menikmati jajanan di kedai-kedai yang berada di pinggiran jalan yang umumnya menjaja "Ie Teube" atau air tebu manis yang dahulu digiling dengan alat yang diputar dengan kerbau.

Sungai Humaira

img-20200605-wa0003-750x375-625c3916bb448671e51c3fc2.jpg
img-20200605-wa0003-750x375-625c3916bb448671e51c3fc2.jpg
visit banda aceh

Tapi jika masih juga belum pas hati kita bisa memilih alternatif kedua-Sungai Humaira, di daerah Lhong, masih di Aceh Besar. Sungai dengan kolam batu yang airnya dingin dan sejuknya luar biasa.

Nama ini juga mengingatkan dengan nama seorang perempuan.

Sebenarnya Humaira ini nama lain dari pemandian Nilop, di Kampung Pudeng, Lhoong, kurang lebih 300 meter dari Kampung Lamsujen- sebagiaan orang yang awam dan baru mengenal bahasa Aceh menyebut kampung ini-Kampung Suara Jin (Lam-su-jen), padahal sama sekali tak ada hubungan dengan cerita mistis. Justru kesejukan dan keindahan alam yang menjadi ciri utamanya.

Masyarakat di sekitar wilayah Aceh Besar menjadikan lokasi ini juga sebagai tempt menunggu waktu berbuka, menikmati sungai bebatuan dengan pemandangan hutan purba dan gunung Seulawah Agam-dan Seulawah Inong. Dua pegunungan non aktif yang menjulang, di deretan pegunugan Bukit Barisan.

Hanya sayang jalan menuju arealnya masih berbatu, dengan pepohonan besar di kanan kiri. Tapi begitu sampai dilokasi akan terasa memanjakan mata. 

Tapi menjelang waktu berbuka, biasanya orang berbondong pulang, dan memilih berbuka di kedai yang banyak terdapat di pinggiran jalan, atau pulang ke rumah.

Sedangkan bagi pengunjung dari arah Banda Aceh, biasanya memilih berbuka di kedai penjual air tebu, atau warung makan yang biasanya menyajikan menu masakan khas Aceh Besar. 

Menu khasnya ikan air tawar yang diolah dengan rempah khas Aceh. Masak Gulai Aceh, ikan bakar, dan lainnya. Aceh Besar di kenal juga kaya dengan ragam masakannya dengan rempah kelapa gonseng, dan ragam rempah yang kini semakin langka di jumpai di tempat lain.

Begitulah romantisme yang hidup dan tersisa dari sungai-sungai indah di Aceh ketika Ramadhan. Di hari lain, ketiganya menjadi alternatif akhir pekan seluruh warga di masing-masing lokus.

Beruntung, kami masih bisa menikmati keindahan ketiga sungai di jeda waktu kerja, di sela waktu rutinitas menikmati hidup yang kadang begitu jenuh, rusuh, bisa menjadi damai setelah akhir pekan, atau ketika saat-saat menjelang berbuka seperti saat Ramadhan sekarang ini.

Semoga kita bisa selalu menjaganya lestari, menikmati tradisi dan tak kehilangan jejak gegara arogansi mencari hidup berlebih tapi menafikan sisi lain kelestarian yang alami.

referensi; 1,

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ramadan Selengkapnya
Lihat Ramadan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun