Ketika anak-anak mendapat tugas meresensi-mereka menemukan fakta-fakta seksualitas itu sebagai "tabu", sehingga menuliskan resensinya secara metafora, agar tak terlihat condong pada seksualitas, tapi bisa menceritakan sisi kehidupan ibukota yang gelap.
Dalam tradisi ketimuran yang lebih tradisional, seksualitas adalah "larangan", sehingga banyak pembelajaran yang "terlambat" kita dipahami.
Agama menjadi perantara paling esensial, memberi pemahaman tentang seks melalui masa pancaroba perempuan-laki laki, ketika aqil baligh--telah sampai umur dewasa.
Ditandai, "cetak biru" biologis. Perempuan akan mendapat ritual "datang bulan" dan laki-laki mendapat "rembulan".
Sedangkan Barat yang moderat membawanya ke ranah pemahaman biologis. Seksualitas berkembang karena perubahan hormon yang ditandai perubahan pita suara pada laki-laki, dan menstruasi pada perempuan.
Penjelasannya biologis-sentris. Lebih pada cerita tentang sel indung telur-ovum yang belum lagi terbuahi sehingga berproses menjadi menstruasi.
Esensi keduanya sama, hanya cara pendekatannya yang berbeda. Intinya anak-anak telah ber-metamorfosa menjadi mahluk dewasa.
Pesatnya Dunia Pornografi
Internet adalah medium digital, sebuah lompatan teknologi. Dalam Connected karya Nicholas A. Christakis dan James H. Flower, katanya, "internet adalah penemuan manusia yang paling tidak bisa kita mengerti.Â
Memberi sentuhan kemajuan yang luar biasa, namun juga menyembunyikan bahaya yang sering tidak bisa kita pahami". Artinya sejak awal internet menjadi alat mempermudah kerja-kerja manusia, tapi seperti biasa ia juga berlaku seperti mata pisau
Konten pornografi semakin merajai isu di berbagai media digital di Indonesia, lantaran makin mudahnya akses digital.  Kementerian Komunikasi dan Informatika mengungkap ada 1.573.282 konten negatif yang tersebar di situs internet sepanjang Januari hingga Oktober 2021.Â
Dari lebih 2,6 juta konten negatif di internet, hampir setengahnya terkait pornografi. Bahkan jika kita saksikan materi tayangan iklan juga telah dipenuhi dengan visualisasi yang mengarah pada pornografi.
Hasil Profil Pemetaan Pornografi Online di Indonesia yang dilakukan olehKementerian Pemberdayaan Perempuan dan PerlindunganAnak, tahun 2016 terdapat 209 website pornografi yang bisa diakses oleh siapa saja, termasuk anak dan remaja.
Padahal jika merujuk UU Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi. Aktifitas mengarah pada pornografi berkonsekuensi hukum. Usaha meminjamkan atau mengunduh pornografi dalam bentuk apapun.
Apalagi memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan, menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan, atau menyediakan pornografi yang secara eksplisit memuat hubungan seksual, kekerasan seksual, masturbasi atau onani, ketelanjangan atau tampilan yang mengesankan ketelanjangan, alat kelamin, atau pornografi anak, ancaman hukumannya maksimal 4 tahun penjara.
Selain itu, orang yang membeli online video porno juga bisa dijerat dengan UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Pasal 27 ayat (1) UU ITE, hukuman maksimal 6 tahun penjara.Â
Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Namun hal itu tak mampu mengerem laju perkembangan pornografi yang semakin marak, hingga ke ruang privacy yang tidak terdeteksi dengan mudah.
Anak-Anak Pecandu Pornografi Narkolema
Ketika membahas pornografi, kita selalu menyalahkan mediumnya-internet, karena kita selalu kalah canggih dengan perkembangannya. Â Perubahan yang begitu cepat (disrupsi) juga terjadi dengan kebiasaan anak menonton konten pornografi. Ibarat PANDEMI, pornografi menyebar dengan cepat, membutuhkan tidak hanya solusi LOCKDOWN, tapi perhatian keluarga yang intens.