Mohon tunggu...
Hanif Sofyan
Hanif Sofyan Mohon Tunggu... Full Time Blogger - pegiat literasi
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Buku De Atjehers series

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Kuliah Metaverse, Butuh Grand Desain Pendidikan Masa Depan

6 April 2022   10:37 Diperbarui: 7 April 2022   02:06 1785
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bayangan tentang kampus meteverse bukan lagi omong kosong. Bahkan universitas-universitas besar di Indonesia sedang bersiap memasuki era metaverse pendidikan itu.

Gagasan ini bergerak layaknya sebuah revolusi. Karena sejak merebaknya pandemi, rencana kita untuk belajar secara daring pada 2025 menjadi dipercepat karena disrupsi, sebagai dampaknya. Pandemi secara tidak langsung menstimulan percepatan kita untuk mengadopsi berbagai terobosan teknologi ke depan.

Kita ingat ketika awal pandemi, Pemerintah tak hanya kalang kabut dengan mempersiapkan kurikulum darurat. Bahkan format pembelajaran daring kita polanya masih meraba, menyebabkan kita justru dihantui persoalan "loss learning". 

Karena optimalisasi capaian target pendidikan tidak sesuai harapan, bahkan kualitas pendidikan kita terdegradasi menuju level mengkuatirkan.

Pada akhirnya kita menjadi familier, ketika pendidikan harus bergerak dalam format hybrid, dengan konsep multiverse. Kelas-kelas pembelajaran dilakukan dengan hybrid dengan konsep multiverse, karena pertemuan tatap muka tidak akan dilakukan setiap hari.  

Jadi metaverse memungkinkan hadirnya interaksi virtual antarpengajar dan peserta didik, dan bisa menjadi ‘game-changer’ untuk memudahkan praktik dan menstimulasi dinamika kegiatan belajar mengajar dalam institusi pendidikan.  

Optimisme kita menyambut metaverse pendidikan juga berkaitan dengan berkah demografi. Meskipun metaverse dapat saja mendisrupsi tatanan pendidikan saat ini, namun mayoritas dari penduduk Indonesia (bagian dari berkah demografi tadi), adalah usia produktif yang melek teknologi. 

Sehingga kesiapan memasuki metaverse pendidikan, bergantung dari kesiapan infrastruktur digital dan para pengambil kebijakan. Apakah mereka akan serius mempersiapkan infrastruktur, hingga kurikulumnya?.

vietnam times
vietnam times

Metaverse telah Bergerak 

Menyambut era metaverse, tidak hanya teknologi dan infrastruktur saja yang harus disiapkan.Dibutuhkan komunikasi, bisnis, kreativitas untuk mewujudkan metaverse yang memberikan kenyamanan, kemudahan dan ketergantungan. 

Setidaknya kita harus mempersiapkan peningkatan fasilitas internet, keamanan siber, literasi digital, dan kualitas infrastruktur AR dan VR untuk menyambut kedatangan Metaverse. 

Sebenarnya rintisan gagasan metaverse telah bergerak sejak 2016, salah satunya yang dirintis Andes Rizky, dengan Shinta VR yang telah digunakan oleh ratusan sekolah di 34 provinsi seluruh Indonesia dan  melahirkan ribuan guru dan ratusan ambassador ‘virtual reality’ sejak tahun 2019. 

Termasuk sebuah perusahaan asli Indonesia, WIR Group melalui teknologi ‘digital reality’, yang berhasil masuk dalam daftar Metaverse Companies to Watch tahun 2022 bersama Facebook (Meta), Microsoft dan Apple. 

Kita berkeyakinan, mampu bersaing dalam perkembangan metaverse. Bagaimanapun generasi kita memiliki tingkat literasi dan kemampuan ICT /e- literacy yang dapat disesuaikan dengan tingkat kematangan berpikir dan daya dukung kebutuhan hidup masyarakatnya. 

Pada saatya nanti, format pendidikan metaverse, hadir dalam ruang kelas virtual tiga dimensi dengan pendekatan metafora dunia nyata. Dimana pengajar dan siswa berinteraksi melalui avatar. 

Para inovator nantinya akan membuat sendiri perangkat virtual reality (VR)/ augmented reality (AR), karena saat ini satu perangkat AR/VR harganya masih sangat mahal, hingga 300-600 dollar AS. Sehingga inovasi buatan sendiri, dapat menekan biaya produksi, dan metaverse semakin mudah diakses-accessible oleh seluruh elemen masyarakat. 

Persoalan ini patut menjadi perhatian yang kritis, karena pemerataan infrastruktur digital memang harus dilakukan.

Apalagi melihat realitas negara kita yang fasilitas pendidikan konvensionalnya saja masih timpang, terutama di daerah 3T (terluar, tertinggal, dan terdepan). Dimana digitalisasi pendidikan selalu terbentur dengan kendala kurangnya fasilitas.

Tapi bagaimanapun, siap atau tidak, karena metaverse mensyaratkan ketersediaan internet beresolusi kecepatan tinggi. Jika kita ingin membangun metaverse pendidikan, akses dan kecepatan internet harus ditingkatkan. Semua multistakeholder harus bergerak secara simultan dan terintegrasi. Kolaborasi harus ditingkatkan.

Dukungan pertama yang paling realistis adalah dari kesiapan, grand design pendidikan masa depan, dengan mengikuti dinamika dan perkembangan teknologi. Hal ini ditujukan agar ada keseimbangan dalam pola belajar hybrid (kombinasi online dan offline), sebagai langkah persiapan mengantisipasi agar tidak menimbulkan adiksi terhadap virtual reality. 

Dukungan kedua, dari sisi hukum dan etika dalam pendidikan, yang harus menyesuaikan dengan kondisi yang ada. Sehingga peluang timbulnya kesenjangan, persoalan hukum telah diantisipasi sejak awal. Bagaimanapun berbagai kemungkinan dampak akibat dari pola pendidikan metaverse, bisa saja berpengaruh pada semua lini pendidikan, mahasiswa-dosen, bahkan sistem pendidikan dalam hal ini kuriklumnya.

Perguruan tinggi yang melengkapi institusinya dengan infrastruktur digital, dengan dukungan sumber daya insani yang melek teknologi akan tumbuh menjadi kekuatan baru dalam dunia pendidikan. 

kompas.com
kompas.com

Metaverse Pendidikan sebuah ‘hyper interactive’

Kehadiran metaverse dalam dunia pendidikan, seperti mata pisau, ada tantangan dan peluang, karena metaverse menawarkan sebuah pengalaman dan cara pandang baru dari kehadiran teknologi,  ‘hyper interactive’.  Sebagai wujud adanya proses migrasi data yang besar, sehingga perlu dibangun dengan infrastruktur internet dan digital yang memadai.

Tanpa batas, dan keterkaitan yang tinggi dengan semua entitas dan personal yang kian bebas. Apapun jenis aktivitas fisik dan interaksi sosial-belajar, mengajar, interkoneksi dilakukan secara virtual dalam bentuk teleportasi instan dengan teknologi hologram.

Mengingatkan dengan sebuah cerita imajinasi masa depan, ketika rumah-rumah tinggal kita memiliki pemandangan langit biru, tapi semua hologram, akrena di balik hologram virtual itu semua semesta kita sudah tercemar.

Semua diwujudkan secara virtual melalui integrasi dari media sosial, virtual reality (VR), augmented reality (AI), cryptocurrency dan berbagai perangkat yang sedang hype saat ini.  Semuanya membutuhkan kesiapan tanpa tawar menawar. Prasyarat utama, performa metaverse akan berjalan baik ketika proses transfer data berjalan lancar. 

Seperti dalam analisis menarik, Taufan Teguh Akbari, dari Rumah Millenials, universitas dunia mulai bekerjasama dengan virtual reality, seperti CEU University di Spanyol yang tengah menyiapkan prototipe kampus mereka untuk mendukung komunitas pembelajaran yang berbasis Minecraft Education Edition. Negara tentangg kita Thailand, melalui  Khon Kaen University di Thailand meluncurkan proyek yang bernama Metaverse Experience.

Kelak kita akan punya pengalaman baru, bagaimana kepindahan pendidikan di dunia  nyata ke dunia virtual. Bisa jadi orientasi mahasiswa baru, conference, tur kampus, ujian semester, interview, hingga proses magang dapat berpindah ke dunia virtual metaverse. 

Metaverse menjadi tahapan penting dalam dunia pendidikan kita setelah kita belajar sejenak dari prosese belajar daring dan hybrid. Metaverse adalah ‘next chapter of the internet.' 

Meski akan ada fleksibilitas tinggi, namun adaptasi dan transisi akan menyita tenaga dan pikiran akrena disrupsi besar mmebutuhkan kerja ekstra keras. Beruntung pandemi memberikan jalan  ke arah virtual education itu. 

melek-industri-4-0-stikom-interstudi-gelar-kuliah-umum-komunikasi-digital-fgjom7z1fvedukasi-kezone-624d0a92bb4486454d00fb0b.jpg
melek-industri-4-0-stikom-interstudi-gelar-kuliah-umum-komunikasi-digital-fgjom7z1fvedukasi-kezone-624d0a92bb4486454d00fb0b.jpg

edukasi-okezone

Secara kolektif teknologi menawarkan potensi yang besar untuk memperluas akses pendidikan, memfasilitasi komunikasi antar berbagai pihak, dan mengurangi friksi pendidikan dari anak usia dini hingga dewasa. Dengan adanya metaverse, pendidikan akan dibawa ke level demokratisasi pengetahuan yang lebih tinggi. 

Barangkali metaverse meskipun canggih dan mahal, akan menjadi solusi dari banyak persoalan pendidikan kita yang terkungkung jarak dan ruang, karena luasnya Nusantara kita

Bagaimanapun keinginan kita menjangkau pendidikan dalam format metaverse, masih dipenuhi banyak tantangan besar, namun dapat menjadi lompatan besar.  Mengatasi salah satunya problem ketidakmerataan dan kesenjangan yang pada berdampak dapat menghasilkan sumber daya manusia yang tidak merata dan berkualitas, karena faktornya bersumber dari dunia pendidikan kita.

Potensi yang dimiliki metaverse saat ini, mau tidak mau akan membuat institusi pendidikan berlomba-lomba mengembangkan teknologinya. 

Perguruan tinggi yang melengkapi institusinya dengan infrastruktur digital yang mumpuni dan dijalankan dengan sumber daya manusia yang melek teknologi akan bertumbuh dan lahir sebagai pemimpin baru dalam dunia pendidikan. Pendidikan Indonesia harus beradaptasi dengan keras untuk meraihnya.

referensi; 1, 2,3,4

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun