Namun kemudian tradisi ini menemukan jalannya sendiri. Diatur oleh Qanun, aturan khas, berisi ketentuan tradisi makmeugang dalam Qanun Meukuta Alam Al-Asyi (Undang-undang Kesultanan Aceh).
Sultan menunjukkan kebaikan hatinya dengan berbagi pada rakyatnya yang kekurangan, agar mereka ikut bergembira sebelum masuknya bulan suci Ramadhan. Para Punggawa menjadi perpanjangan tangan, mengumpulkan rakyat yang membutuhkan dan membagi kebahagiaan di hari menyambut Ramadhan itu.
Pada akhirnya warisan itu menjadi sebuah tradisi, namun ukurannya menjadi lebih personal. Masing-masing keluarga memenuhi kebutuhan keluarganya, sebagai bentuk sukacita dalam menyambut hadirnya hari penting Hari Raya Idul Adha dan Idul Fitri serta, bulan Ramadhan.
Tentang istilah "Meugang atau makmeugang"Â sendiri, juga punya cerita unik. Sebagian penutur yang sumbernya dari para tetua menyebutkan, Â istilah "gang" ini diambil dari bahasa Aceh yang berarti pasar.Â
Karena di saat jelang Ramadhan, Idul Fitri dan Idul Adha, keramaian itu membuncah, maka muncul istilah "Makmu that gang nyan" atau Makmeugang yang berarti makmur sekali pasarnya.
Begitulah muasal kata, menurut cara dan kisah penutur yang berbeda.
Makmeugang, Momentum Kumpul Keluarga
Lain lubuk lain ikannya, lain daerah lain tradisinya. Jika berkesempatan berwisata ke tanah rencong atau tanah serambi Mekkah, tepat di hari meugang, seluruh pekan atau pasar akan dipenuhi dengan para penjaja dan pembeli daging.
Pasar dadakan itu muncul di sepanjang jalan di pusat keramaian. Mereka sengaja khusus membuat meja jualannya, secara sederhana hanya untuk keperluan pemakaian satu hari.Â
Meja berukuran kurang lebih satu setengah kali satu, dengan kayu penggantung daging dan penutup atap dari daun rumbia atau plastik terpal.
Rak penjaja, ditempatkan tepat dipinggir jalan, sehingga pembeli dapat langsung bertransaksi dengan penjual, bahkan tanpa harus turun dari kendaraan. Umumnya setiap keluarga akan membeli secukupnya.
Bagi masyarakat Aceh, makmeugang merupakan momentum penting yang harus dirayakan walaupun dalam keadaan serba kekurangan. Mereka  mengumpulkan uang demi menyambut tradisi makmeugang ini, tidak terkecuali orang yang sangat miskin sekalipun.
Meugang dalam pandemi
Kemeriahan tak bisa ditutupi oleh situasi pandemi yang masih berlangsung. Bahkan di tempat tinggal saya di area dua kampus besar Universitas Syiah Kuala dan Universitas Ar-Raniry.
Hari Meugang menjadi kesempatan para mahasiswa dan para perantau yang bekerja di kampus menyempatkan pulang untuk merayakan makmeugang di kampung halaman bersama dengan orang tua dan keluarga.
Makmeugang menjadi alasan untuk bisa berkumpul, menikmati awal Ramadhan bersama keluarga. Menikmati hidangan daging, saat santap sahur pertama bulan suci Ramadhan. Disinilah nilai kesakralan dan kekeluargaan yang hangat dan sangat luar biasa.