Kecuali jika kebijakan penggunaan pertamax "dipaksakan" digunakan pada moda transportasi umum barulah bisa mendorong optimalisasi penggunaannya, meskipun harus ditebus dengan malapetaka baru inflasi yang menggila.
Pola Kebijakan Pertamax
Ada pola menarik dalam kebijakan pertamax per 1 April 2022, dan beberapa kebijakan pemerintah belakangan ini. Terutama sejak kenaikan gas non subsidi.
Apa daya tariknya? Sasaran kebijakannya kelas menengah-atas, namun pertimbangan sesungguhnya juga untuk meredam gejolak di kelas bawah. Ketika kebijakan kenaikan pertamax di paksakan, tidak akan ditanggapi secara ekstrim oleh kalangan bawah, yang "tidak" berkepentingan dengan pertamax tersebut. Lain halnya jika yang naik pertalite, bisa jadi akan ada demo baru.
Bahkan pemerintah tidak perlu repot menggunakan kebijakan ikutan seperti Bantuan Langsung Tunai (BLT) bagi yang terdampak. Namun satu hal, bahwa dalam sejarah panjang kenaikan harga BBM kita, apapun ceritanya tetap saja akan memicu inflasi, yang bisa menjadi pemicu blunder ekonomi.
Siapapun parapihak yang terkena dampak, akan berusaha mengimbangi dari sisi ekonomi sebagai kompensasi kenaikan yang ditimbulkan akibat kenaikan harga BBM itu.Â
Sekalipun tidak menyasar kelas bawah, akan ada dampak ikutan yang bisa jadi tidak kentara. Persis seperti kebijakan minyak goreng yang ternyata, juga bisa menjadi pemicu inflasi baru.Â
Misalnya pabrikasi yang sudah menggunakan jenis mesin dengan teknologi EFI. Atau pemilik bisnis moda transportasi yang menggunakan pertamax sebagai BBM-nya.Â
Bahkan jika moda transportasi massal diikuti kebijakan keharusan memakai pertamax sebagai salah satu solusi, atau kewajiban menjaga amanat net zero emisi, maka publik pengguna transport massal-para angker pun tak bisa berkutik dan berkelit.
Pilihan kebijakan pertamax cukup menarik, karena tidak menimbulkan tarik ulur seperti kasus kebijakan lainnya selama Februari-Maret 2022.Â
Dua kebijakan yang juga memiliki pola yang sama adalah kenaikan gas elpiji non subsidi. Sasaran gas 15 kg, sebenarnya kalangan kelas menengah-atas, namun dalam implementasinya, kalangan menengah-atas dan bisnis selama ini juga banyak yang menyalahgunakan pemanfaatan gas subsidi melon.
Kenaikan itu menimbulkan persoalan semakin banyaknya pemilik gas 15 kg, beralih menjadi pemakai gas 8 kilo dan gas melon. Sekali lagi karena alternatif substitusinya masih tersedia.Â
Kasus kedua tentang JKH Kesehatan sebagai prasyarat mengurus layanan dan birokrasi. Karena sasarannya kelompok tertentu, dengan kepentingan tertentu, sehingga gejolaknya tidak berketerusan.Â
Demikian juga dengan kasus minyak goreng yang diikuti dengan kebijakan HET, hanya sayangnya karena bersifat sementara, sehingga terlihat hanya sebagai "kebijakan kamuflase", akibatnya kini telah berdampak luas, hingga masyarakat kelas bawah.