Mohon tunggu...
Hanif Sofyan
Hanif Sofyan Mohon Tunggu... Full Time Blogger - pegiat literasi
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Buku De Atjehers series

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Pilih Minyak Hijau Daripada Minyak Coklat, Demi Energi Mix 2025

26 Maret 2022   14:09 Diperbarui: 2 April 2022   21:36 332
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Apakah keinginan pemerintah yang menggebu untuk mengejar  biofuel atau greenfuel, memang sudah saatnya?, atau sebenarnya belum terlalu mendesak dan tidak perlu dipaksakan hingga level B30?.

fbfs24dgqo-62457db35a74dc3b053c2cf2.jpg
fbfs24dgqo-62457db35a74dc3b053c2cf2.jpg
medcom.id

Sejak 2020,implementasi jenis bioenergi seperti B20, B30, B100, Biofuel atau Greenfuel sudah mulai diberlakukan. Hanya saja setiap negara diberi keleluasaan untuk memilih jenisnya. Tapi intinya adalah bahan bakar ramah lingkungan.

idxchannel.com
idxchannel.com

Ternyata Indonesia menjadi negara pertama yang  mengimplementasikan penggunaan B30 dengan bahan baku utama bersumber dari kelapa sawit. Bahkan per Januari 2020, di seluruh SPBU akan tersedia bahan bakar ramah lingkungan yaitu biosolar dengan kandungan biodiesel 30%.

Sebelumnya adalah Minnesota, Amerika Serikat pada tahap B20 sejak Mei 2018, Kolombia baru pada tahap B10 dari tahun 2011 dan Malaysia baru pada tahap B10 pada tahun 2019. Ternyata Amerika yang biasanya keras kepala, kali ini juga tak bersikeras.

Mandatori Demi Menekan defisit

Salah satu program penting dalam pengembangan energi terbarukan berbasis bahan baku organik, adalah Program Mandatori B30 yang menjadi salah satu Program Strategis Indonesia dalam menekan defisit neraca dagang.

Apa kaitan antara Mandatori B30 dan defisit anggaran?.

Menurut analisa ekonomi, perluasan mandatori penggunaan biodiesel 20% (B20) ke sektor non-public sector obligation (PSO) dinilai dapat menekan defisit neraca perdagangan Indonesia serta membantu stabilisasi nilai tukar rupiah. 

Mekanismenya adalah ketika konsumsi bahan bakar jenis tertentu yang dipilih, dan campuran dengan CPO, dapat diserap pasar dengan baik, maka akan menjadi pendapatan baru bagi negara, dari konsumsi bahan bakar dan hasil pembelian CPO-nya.

Hanya saja hal ini sangat tergantung pada jenis bahan bakar apa yang menjadi pilihannya. Ketika pemerintah memprioritaskan biosolar sebagai alternatif pertama, menurut para analis dinilai tidak efektif. 

Alasannya karena konsumsi solar dalam negeri yang relatif stagnan, sehingga perluasan mandatori B20 tidak akan banyak menyerap stok minyak kelapa sawit mentah (crude palm oil/CPO) dalam negeri.

Lain halnya jika pilihannya adalah jenis premium yang penggunanya sangat berlimpah. Namun pemerintah juga harus mempertimbangkan kekuatan daya dukung produksi CPO sebagai pendukung campurannya. 

Jika secara nasional produksiCPO masih hanya mencukupi untuk kebutuhan pangan dalam hal ini minyak goreng, maka memaksakan porsinya terlalu besar pada biodiesel, atau biosolar maupun yang jenis greefuel, bisa menganggu pasar pemenuhan kebutuhan pokok masyarakat.

Kondisi untuk saat ini saja, menunjukkan efek yang cukup menganggu pemerintah. Terutama ketika mekanisme pasar yang hanya diimbangi jaminan penetapan Harga Eceran Tertinggi (HET) hanya sebentar mengakibatkan harga minyak goreng naik dan menjadi langka dipasaran, karena sebagian besar produksi di fokuskan untuk memenuhi kebutuhan pencapaian program mandatory B20.

Bahkan pemerintah harus membagi subsidi yang sangat fantastik bagi para pengusaha CPO agar menyisihkan sebagian besar stok persediaannya untuk program B20, dan hanya menyisakan sedikit untuk program CPO untuk pangan.

Momentumnya sekali lagi juga tidak tepat waktu, terutama karena ekonomi masih dalam masa transisi. Dan pada akhirnya kebijakan ini juga memancing inflasi pada semua jenis barang. 

Pekan depan ramadhan sudah mulai masuk, kondisi ini makin membuat ekonomi menjadi lesu darah, akibat inflasi merayap pada semua jenis barang.

Target penerimaan untuk mengurangi defisit neraca perdagangan dan membantu stabilisasi nilai tukar rupiah, mungkin hanya bersifat sementara, ketika musim belanja ramadhan dan lebaran tiba. Tapi setelahnya ekonomi akan kembali anjlok pada posisi rendah.

B20 Demi Mengejar Zero Emisi?

Pemerintah berkepentingan memenuhi komitmen  mengurangi emisi GRK sebesar 29% dari BAU pada 2030, sebagai bagian dari Perjanjian Paris.

Disisi lain dengan penggunaan bahan bakar yang dicampur dengan bahan baku lain yang ketersediaan bahan bakunya dapat dilakukan sendiri di dalam negeri seperti CPO, akan dapat meningkatkan ketahanan dan kemandirian energi, karena tidak lagi sepenuhnya tergantung kepada negara lain.

Indonesia meski menjadi bagian dari negara OPEC-negara eksportir minyak, namun sejak lama Indonesia tidak dapat memenuhi kuota ketersediaan minyak, praktis hanya membayar keanggotaan, yang mahal dan hanya mengurangi pendapatan negara. Inisiatif mandatori bisa menghemat belanja bahan bakar.

Dengan produksi CPO sendiri di dalam negeri, Indonesia dapat mengatur  harga dan stabilisasi harga CPO. Kondisi ini bahkan dapat menjadi stimulan meningkatkan nilai tambah melalui hilirisasi industri kelapa sawit.

Dalam jangka panjang keberhasilan secara bertahap ini akan dapat memenuhi target 23% kontribusi EBT dalam total energi mix pada 2025, sehingga beban Indonesia untuk sampai pada target net zero emisi pada 2060, lebih memiliki peluang besar. 

Terutama untuk mendorong skema penggunaan energi alternatif lain, seperti elektrifikasi berbasis energi terbarukan yang ongkosnya lebih mahal. Dalam kerangka besar mengurangi emisi GRK.

Secara tidak langsung mandatori juga berdampak pada tingkat konsumsi dan impor BBM yang semakin berkurang. Bahkan dapat didorong  memperbaiki defisit neraca perdagangan, jika tepat dalam pemilihan jenis alternatif bahan bakar greenfuel-nya.

Dengan begitu banyak keuntungan, sebenarnya setiap negara yang menjalankan inisiatif mandatori ini akan memperoleh banyak keuntungan, terutama negara yang memiliki kedua jenis sumber daya itu; BBM, dan CPO.

Sekilas  Tentang Greenfuel

Bahan Bakar Nabati (BBN)-Biofuel, dihasilkan dari bahan baku bioenergi melalui proses teknlogi tertentu yang menghasilkan Biodiesel, Bioetanol dan Minyak Nabati Murni.

Program mandatori B20, telah dirintis sejak Januari 2016 merujuk pada Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 12 tahun 2015 tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan Menteri ESDM nomor 32 tahun 2008 tentang Penyediaan, Pemanfaatan dan Tata Niaga Bahan Bakar Nabati (Biofuel) sebagai Bahan Bakar Lain.

Dalam kebijakan mandatori B20 Pemerintah  mewajibkan pencampuran 20% Biodiesel dengan 80% bahan bakar minyak jenis Solar, yang menghasilkan produk Biosolar B20. 

Begitu juga B30 degan komposisi pencampuran 30% Biodiesel dengan 70% bahan bakar minyak jenis Solar, yang menghasilkan produk Biosolar B30. 

Selain itu dalam tahap yang lebih tinggi adalah B100. Istilah untuk Biodiesel yang merupakan bahan bakar nabati untuk aplikasi mesin atau motor diesel berupa ester metil asam lemak (fatty acid methyl ester/FAME) yang terbuat dari minyak nabati atau lemak hewani melalui proses esterifikasi/transesterifikasi. 

Proses transesterifikasi adalah proses pemindahan alkohol dari ester, namun yang digunakan sebagai katalis (suatu zat yang digunakan untuk mempercepat laju reaksi) adalah alkohol atau methanol.

Proses pembuatan Biodiesel umumnya menggunakan reaksi metanolisis (transesterifikasi dengan metanol) yaitu reaksi antara minyak nabati dengan metanol dibantu katalis basa (NaOH, KOH, atau sodium methylate) untuk menghasilkan campuran ester metil asam lemak dengan produk ikutan gliserol.

Selain Biodiesel, Pemerintah juga telah mengatur BBN jenis lainnya yakni Bioetanol yang dikenal dengan istilah E100 dan Minyak Nabati Murni atau dengan istilah O100 .

Untuk pemakaiannya, Biodiesel dan Bioetanol akan dicampurkan dengan bahan bakar fosil pada persentase tertentu. Dalam hal ini, untuk Biodiesel dicampurkan dengan Solar, sedangkan Bioetanol dicampurkan dengan Bensin.

Saat ini Pemerintah juga aktif mendorong pengembangan BBN biohidrokarbon yang karakteristiknya sama atau bahkan lebih baik daripada senyawa hidrokarbon/BBM berbasis fosil. BBN Biohidrokarbon yang ramah lingkungan ini dapat langsung digunakan (drop-in) sebagai substitusi BBM fosil tanpa perlu penyesuaian mesin kendaraan. BBN biohidrokarbon ini dapat dibedakan menjadi green-gasoline, green-diesel, dan bioavtur.

referensi; 1,2,3

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun