Mohon tunggu...
Hanif Sofyan
Hanif Sofyan Mohon Tunggu... Full Time Blogger - pegiat literasi
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Buku De Atjehers series

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Karena Jian Chao Dan Zha, Kita Kecanduan Migor

25 Maret 2022   21:54 Diperbarui: 2 April 2022   21:17 394
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

tribunkaltim

Menurut Putu Fajar Artana, dalam Kolonialisme Minyak Goreng,  "Kultur" minyak goreng sawit, secara perlahan tetapi pasti, telah menghapus ingatan kebudayaan yang diwariskan nenek moyang bangsa Asia Tenggara, yang nyaris tak mengenal minyak untuk menggoreng.

Sekarang justru menjadi fenomena "migorholik"-pecandu minyak goreng. Tak ada minyak goreng semua makanan jadi hambar. Tapi sejak kasus migor menyeruak masuk dan menganggu operasinal dapur emak-emak se-Indonesia, seolah menjadi pukulan bagi kita semua.

Karena Indonesia punya budaya serba untung, apa mungkin masih bisa dibilang, ada untungnya juga kita kena krisis migor?. Terutama sebagai otokritik diri kita sendiri, karena selama ini kita memang tak introspeksi diri. 

Coba saja dipikir, pernahkan kita memikirkan sehari saja tak menggunakan minyak goreng dalam semua urusan dapur dan jenis kuliner kita?. Mungkin cuma segelintir orang yang sedari awal menyadari tentang pentingnya hidup sehat, dan bisa jadi itu kelompok Food Combine-yang peka dan hati-hati sekali ketika makan.

796681-1200-623f3682ba21bc415d5027e2.jpg
796681-1200-623f3682ba21bc415d5027e2.jpg
tempo.co

Sejak kapan Migorholik?

Di awal tahun 1911, industri minyak goreng mulai masuk ketanah air. Di era berikutnya, perusahan asal Bitung-Menado, menjadi salah satu perintisnya,  minyak goreng dengan cepat dapat diterima publik sebagai alternatif baru melezatkan makanan. 

Menerabas kebiasaan lama kita merebus-mengukus, memanggang, membakar, mengasinkan, diasap, dikukus dan dikeringkan. Padahal, dahulu makanan yang super lezat adalah rebus singkong dan singkong bakar. Kini berubah menjadi ubi goreng, tempe goreng dan sejenisnya.

Menurut Resa Herdahita Putri dalam artikelnya Awal Mula  Orang Nusantara Mengenal Gorengan, diperkenalkan orang Tionghoa. Menurut sejarawan Denys Lombard, dalam Nusa Jawa ; Jaringan Asia, dari kebiasaan menggoreng hingga alat masaknya seperti wajan asal kata  wok ( wajan) dari asal kata Pot (guo) dari bahasa Kanton, memang diadopsi dari kebiasaan dapur Tionghoa.

Hal ini dikuatkan lagi oleh Sinolog, Thomas O Hollmann dalam The land of five flavor; A Cultural History of Chinese Cuisine. Menggoreng telah lama dikenal tionghoa dengan istilah stir-fry (jian chao) alias menumis, dan  deep-fry (zha) yang kita kenal dengan menggoreng dengan minyak banyak. Kebiasan ini sudah dikenal sejak abad-3 dan ke-6 era Dinasti Wei Jin Utara dan Selatan.

Dan menurut Rongguang zhao, ahli sejarah dan budaya makanan Tiongkok, kedua metode ini adalah metode utama dalam mengolah makanan tradisional Tingkok.

Sedangkan dari jalur sejarah Nusantara, migor mulai dikenal seperti dijelaskan dalam Serat Centini, yang menjelaskan tentang kuliner yang digoreng dan ditumis. Awalnya menggunakan minyak dari buah kelapa,  sebelum mengenal minyak kelapa sawit pada abad 19. Catatan lain juga menyebut asal minyak juga berasal dari lemak daging, kedelai dan wijen.

Selanjutnya seperti dicatat dalam kisah perjalanan Justus Van Maurik seorang pengusaha cerutu,dalam Indrukken Van Een Totok (1897) yang melihat  menu gorengan berupa ikan goreng (gebakken vischjes) di warung pinggir jalan.

padang-canola-luoping-china-004-tantri-setyorini-623e98cb274a7a11ee750812.jpg
padang-canola-luoping-china-004-tantri-setyorini-623e98cb274a7a11ee750812.jpg
merdeka.com

Namun dalam sejarah panjang minyak goreng d Indonesia ada  masa-masa penggunaan minyak kelapa sebagai bahan baku migor mulai nampak redup atau berakhir di dekade 1990-an. Saat itu minyak kelapa semakin hilang di pasaran.

Disebabkan  perang dagang Eropa sebagai produsen minyak nabati seperti minyak kedelai, minyak jagung, minyak kanola, dengan menyebut minyak kelapa sebagai biang penyakit sebagai bentuk black campaign persaingan usaha.

Dari sanalah kisah penemuan minyak kelapa sawit dimulai. Catatan sejarah De Olie Palm dan Investigations on Oil Palms menyebutkan, introduksi kelapa sawit ke Indonesia untuk pertama kali terjadi tahun 1848 hingga dikembangkan perkebunan komersial di Pulo Raja (Asahan) dan Sungai Liput (Aceh) tahun 1911. 

Tujuannya untuk ekspor kebutuhan revolusi industri. Namun sejak 1974  mulai diterapkan di Indonesia dengan Teknologi pemisahaan minyak sawit menghasilkan liquid fraction atau palm olein dan solid fraction atau palm stearine. Produk ini mempopulerkan teknik menumis (shallow frying), menggoreng (frying) dan menggoreng pada suhu tinggi (deep frying). 

merk bagus .id
merk bagus .id

Namun kejadian uniknya, melalui SNI Minyak Goreng (SNI 7709:2019), Pemerintah Indonesia mewajibkan industri untuk melakukan fortifikasi vitamin A dan atau pro-vitamin A pada migor sawit. Vitamin A merupakan vitamin sintesis yang sebagian besar bersumber dari impor.  

Hasilnya minyak sawit lebih jernih dari minyak kelapa sehingga sulit diterima masyarakat. Sehingga diawal kampanyenya justru mengenalkan mengapa minyak goreng menjadi jernih. Sampai kemudian kita juga mengenal iklan, dengan publik figur chef Yuna, minum minyak goreng karena  begitu jernihnya.

Menurunkan  Kecanduan Migor

Kini masyarakat kita telah berubah wujud menjadi migorholik yang sejati, tanpa makanan jenis gorengan, tak ada lidah yang bisa merasakannya sebagai makanan lezat.

Nah, berbekal kasus kelangkaan migor dan mahalnya harga migor, selain alternatif kembali ke minyak curah yang tak sebening minyak kemasan, cara lainnya adalah kembali pada khazanah kebudyaan masakan kuliner kita sendiri. Merebus-mengukus, memanggang, membakar, mengasinkan, diasap, dikukus dan dikeringkan.

Setidaknya, kini kita bisa mengganti minyak goreng dengan air. Sebagai alternatif paling murah dan tersedia dalam jumlah memadai, bahkan jika membutuhkan hingga 10 kilo air untuk sekali masak, setara satu galon air seharga 3.000 rupiah saja. 

Jika dipaksakan juga masih ada alternatif, memanggang, membakar, mengasinkan, mengeringkan. Karena sebenarnya banyak cara menghasilkan kuliner super lezat di tanah Nusantara.

Bukankah dulu kita pernah bisa tak bergantung pada migor?. Sekarang tinggal kita sendiri, mau atau tidak memulainya kembali. 

referensi; 1,2, 3

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun