Mohon tunggu...
Hanif Sofyan
Hanif Sofyan Mohon Tunggu... Full Time Blogger - pegiat literasi
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Buku De Atjehers series

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

PPN 11 Persen dan Alasan Indonesia Salah Satu Negara dengan Tarif PPN Terendah di Dunia

20 Maret 2022   17:22 Diperbarui: 22 Maret 2022   05:39 1749
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pilihan kebijakan pemerintah kali ini sangat menyita perhatian publik. Bahkan dinilai disinsentif, karena tidak memberi stimulan rangsangan positif penerimaan pajak. Terutama karena masih dalam pemulihan ekonomi. Belum lagi kekhawatiran naiknya inflasi terhadap sembako yang sensitif dengan fluktuasi harga, karena terpancing tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 11 persen itu.

Konon lagi, jika kebijakannya diserahkan pada mekanisme pasar. Dalam kondisi ekonomi yang belum pulih, dampaknya akan dirasakan langsung kelompok bawah. 

Hantaman itu makin terasa berat, karena sebelumnya pemerintah juga menaikkan gas non subsidi, menarik kebijakan kontrol HET minyak goreng, dan kali ini ditambah kenaikan PPN menjadi 11 persen. 

Realitasnya pasti akan berdampak pada agregat-keseluruhan aktifitas demand-supply (penawaran-permintaan). memicu kenaikan inflasi, termasuk sembako. Meski tidak termasuk komoditas kena pajak, namun sensitif dengan penyesuaian harga yang fluktuatif.

Sumber: Detik.com
Sumber: Detik.com

Maka yang paling memprihatinkan, adalah turunnya daya beli-purchasing power masyarakat, seperti kasus kelangkaan minyak goreng yang membuat panic buying. 

Kebijakan Peka Ekonomi?

Memang ada target ekonomi yang disasar pemerintah dengan kebijakan per tanggal 1 April 2022, PPN akan menjadi 11 persen, yang tertuang dalam UU No.7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Perpajakan yang disahkan 29 Oktober 2021.

Bahkan jika langkah ini berhasil, akan ditindaklanjuti dengan kenaikan secara bertahap hingga sebesar 12 persen pada Januari 2025.

Apakah pemerintah hanya mendasarkan pada pertimbangan seperti; 

Pertama; bahwa kenaikan PPN merupakan salah satu instrumen untuk menjaga kesinambungan fiskal dan tarif yang belum pernah bertambah sejak implementasi sistem PPN pada 1984? Berdasarkan data Organization of Economic Co-operation and Development (OECD) Revenue Statistic, bahwa 37 negara telah menaikkan tarif PPN dalam satu dekade terakhir. Indonesia tercatat sebagai salah satu negara dengan tarif PPN terendah di dunia, sehingga kenaikan tarif dapat menjadi alternatif.

Kedua; kenaikan tarif PPN itu merupakan amanat Undang-Undang Nomor 7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) yang sejalan dengan target konsolidasi APBN, yakni defisit di bawah tiga persen pada 2023.

Ketiga; memilih menggunakan mekanisme reduced rate yang lebih tepat sasaran daripada menunda kenaikan PPN, dengan menggunakan mekanisme pengurangan tarif PPN bagi komoditas tertentu, seperti listrik dan BBM untuk mencegah kenaikan harga.

Hanya saja kesiapan pemerintah untuk percepatan pemulihan ekonomi, dengan meningkatkan pertumbuhan ekonomi berkelanjutan, mereformasi aturan ekonomi, konsolidasi dan perluasan basis penerimaan dari pajak, berbenturan dengan kondisi ekonomi yang belum kondusif dan masih tertatih. 

Apalagi jika multiple effect-nya, katanya juga diupayakan agar masyarakat patuh bayar pajak, pajak berkeadilan dan berkepastian hukum. Realitasnya urusan pajak belum didukung literasi yang baik.

Ada baiknya kita tak berasumsi negatif dulu, lantas, apa sebenarnya itikad dibalik kebijakan itu?. Diantara banyak polemik, agaknya yang paling logis, tetap soal pemulihan ekonomi. Tapi mengapa kebijakannya seperti terkesan dipaksakan?.

Seperti halnya BPJS-JHT, Kenaikan gas non subsidi, BPJS Kesehatan one for all, sedangkan yang berpihak pada rakyat cuma baru sekali, kenaikan UMP 2022.

Apakah kenaikan PPN menjadi 11 persen, sudah mewakili keprihatinan krisis ekonomi. Apakah dapat dinilai layak?. 

Secara makro, kebijakan pemerintah masih dianggap sebagai jalan tengah, jika belum tepat disebut sebagai "win-win solution", terutama ketika dikomparasi dengan kepentingan publik dan transisi ekonomi yang masih bergerak lamban. Mengapa demikian?.

Jika melihat ketetapan tarif PPN global diangka 15,4 persen, PPN kita terbilang masih kecil-meski ukuran itu sangat relatif, jika didasarkan pada kekuatan daya dukung dan kondisi ekonomi di masing-masing negara. Ini poin penting yang harus digarisbawahi.

Kebijakan itu juga dianggap tidak tepat momentum, karena hadir menjelang Ramadhan dan lebaran, dua momen penting kita sepanjang tahun yang kompleks persoalan ekonominya. Kondisi itu, mungkin akan sedikit didukung dengan stimulan berbelanja, berkat tambahan Tunjangan Hari Raya (THR) yang diterima oleh jutaan PNS kita, jelang lebaran.

Mau tidak mau permintaan-penawaran akan naik selama masa tersebut dan akan bergerak ke bandul positif. Jumlah uang beredar akan bertambah, sehingga permintaan meningkat. 

Jika pemerintah "berharap"mendapatkan pemasukan PPN lebih banyak dalam momentum itu, meskipun logis, namun dampak inflasinya juga harus menjadi pertimbangan yang kritis.

Terutama karena multiplier effect, inflasi akan menguras pendapatan masyarakat, dan setelahnya situasi bahkan bisa menjadi lebih buruk. Ini menjadi diskursus menarik untuk diperdebatkan.

Benahi Dulu Urusan Makro lainnya 

Pertama; Persoalan yang cukup substansial juga terjadi dalam skema ketimpangan barang kena pajak antara online dan offline. ini penting menjadi catatan, karena menjadi alternatif yang dapat menggeser orientasi publik untuk "patuh" pada ketentuan baru PPN 11 persen, namun "tersedia" alternatif yang dapat menggeser capaian target Pemerintah atas inisiatif PPN 11 persen itu.

Perlakuan PPN 11 persen, meski kenaikan hanya 1 persen, namun bisa saja menggerakan alternatif pembeli untuk masuk ke pasar online. Penetrasinya akan semakin menguat, apalagi ada dorongan promo seperti Harbolnas yang memainkan momentum Ramadhan dan lebaran.

Kita pahami bahwa polemik soal PPN dalam ranah dagang online-offline masih menjadi fokus pemerintah yang belum tuntas. Sejauh ini, PPN online tidak ditagihkan kepada konsumen, tapi dibayar oleh pihak pelaku usaha badan dalam bentuk pajak yang ditanggung. Sedangkan pelaku usaha non badan bebas PPN.

Kesenjangan ditingkat para pelaku usaha badan dan para penjual online, tentu saja berdampak pada harga jual. Dan kondisi ini akan digunakan secara optimal oleh kedua belah pihak, pembeli ingin diskon dan harga murah, dan produsen-pedagang ingin bebas pajak.

Kedua; Persoalan, ada kategori jenis Barang dan Jasa Tidak Kena Pajak. Terutama barang kebutuhan pokok, jasa kesehatan, jasa pendidikan, jasa pelayanan sosial, karena masyarakat berpenghasilan menengah dan kecil tetap tidak perlu membayar PPN atas kategori barang dan jasa tersebut.

Hal ini karena bagian tanggung jawab dan bentuk layanan yang ketersediaannya harus diakomodir dan dikontrol langsung oleh pemerintah. 

Sedangkan beberapa barang kebutuhan pokok level menengah keatas akan dikenakan PPN 11%, sebagai perimbangan keadilan secara sosial.

Ketiga; Literasi Keuangan-Pajak yang rendah. Jika merujuk pada persoalan makro ekonomi, kebijakan PPN 11 persen, muncul dengan pertimbangan penting menyasar reformasi pajak dan agenda politik ekonomi.

Sayangnya, belum didukung kesadaran-melek literasi soal perpajakan. Terutama soal, sistem kelayakan administrasi perpajakan-administrative Feasibility, berkaitan segala urusan pajak dari mekanisme pemungutan dan pelaporan, hingga kerja sama antarpemangku kepentingan.

Artinya, kebijakan PPN 11 persen dapat menstimulasi pertumbuhan ekonomi nasional paska krisis, tapi dengan terpaksa mengorbankan banyak kepentingan, terutama rakyat yang ekonominya masih dalam kondisi anemia -ekonomi lesu darah.

Kebijakan Belum Mendesak

Jika pemerintah bersikeras memaksakan tarif PPN 11 persen, alamat simalakama baru buat rakyat, tapi juga buat pemerintah, jika perlakuan kebijakannya seperti spekulasi. 

Sebagai catatan, menurut hasil perhitungan Center of Economic and Law Studies (Celios) akan ada tambahan penerimaan pajak dan PNBP-Penerimaan Negara Bukan Pajak, selain penerimaan perpajakan dan penerimaan hibah, sebesar Rp192 triliun dari selisih harga ICP-Harga minyak mentah Indonesia atau Indonesia Crude Price (ICP), di asumsi makro US$63 per barel. Jadi kehadiran PPN 11 persen, menurut Celios, dianggap masih belum mendesak.

Sekalipun PPN 11 persen, dimaksudkan pemerintah membantu meningkatkan penerimaan negara dan menekan defisit anggaran APBN ke angka maksimal 3 persen pada 2023, namun, jika memungkinkan, sebaiknya kebijakan ditinjau kembali. Di tunda hingga tahun 2023, karena diperkirakan kondisi secara ekonomi lebih stabil. 

Tapi jika dipaksakan juga, pertimbangkan kembali beberapa faktor krusial seperti; 

  • Dampak tensi perang Rusia dan Ukraina yang mengerek kenaikan harga komoditas global. 
  • Mobilitas masyarakat yang baru berangsur normal, sehingga potensi peningkatan permintaan masih belum stabil. 
  • Kenaikan Indeks Harga Produsen (IHP) yang terjadi sejak tahun lalu, sehingga tinggal menunggu waktu untuk kenaikan harga di tingkat konsumen, terutama saat Ramadhan dan lebaran.
  • Adanya aturan Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) untuk UMKM dengan pendapatan sebesar Rp 500 juta per tahun. Padahal pemberdayaan UMKM dan koperasi dalam rantai pasok bahan pangan, diperlukan untuk menjaga ketersediaan pangan di tingkat konsumen, demi menjaga stabilitas harga pangan tetap terjaga. 
  • Terakhir jangan lupa kebijakan penguatan bantuan sosial, atau jaring pengaman sosial, untuk kelompok rentan yang terdampak. 

Kita yakin pemerintah telah menggodok kebijakan baru ini dengan optimal, termasuk segala konsekuensinya. Namun jika masih terbuka kemungkinan positif seperti halnya analisa Celios, penting juga dijadikan pertimbangan. 

Bagaimanapun situasinya dirasakan belum kondusif. Bahkan kebijakan ini menjadi terasa spekulatif dan bisa menciptakan blunder ekonomi yang lebih buruk.

referensi; 1,2,3,4,5, 6,7,8,9,10

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun