Pilihan kebijakan pemerintah kali ini sangat menyita perhatian publik. Bahkan dinilai disinsentif, karena tidak memberi stimulan rangsangan positif penerimaan pajak. Terutama karena masih dalam pemulihan ekonomi. Belum lagi kekhawatiran naiknya inflasi terhadap sembako yang sensitif dengan fluktuasi harga, karena terpancing tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 11 persen itu.
Konon lagi, jika kebijakannya diserahkan pada mekanisme pasar. Dalam kondisi ekonomi yang belum pulih, dampaknya akan dirasakan langsung kelompok bawah.Â
Hantaman itu makin terasa berat, karena sebelumnya pemerintah juga menaikkan gas non subsidi, menarik kebijakan kontrol HET minyak goreng, dan kali ini ditambah kenaikan PPN menjadi 11 persen.Â
Realitasnya pasti akan berdampak pada agregat-keseluruhan aktifitas demand-supply (penawaran-permintaan). memicu kenaikan inflasi, termasuk sembako. Meski tidak termasuk komoditas kena pajak, namun sensitif dengan penyesuaian harga yang fluktuatif.
Maka yang paling memprihatinkan, adalah turunnya daya beli-purchasing power masyarakat, seperti kasus kelangkaan minyak goreng yang membuat panic buying.Â
Kebijakan Peka Ekonomi?
Memang ada target ekonomi yang disasar pemerintah dengan kebijakan per tanggal 1 April 2022, PPN akan menjadi 11 persen, yang tertuang dalam UU No.7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Perpajakan yang disahkan 29 Oktober 2021.
Bahkan jika langkah ini berhasil, akan ditindaklanjuti dengan kenaikan secara bertahap hingga sebesar 12 persen pada Januari 2025.
Apakah pemerintah hanya mendasarkan pada pertimbangan seperti;Â
Pertama; bahwa kenaikan PPN merupakan salah satu instrumen untuk menjaga kesinambungan fiskal dan tarif yang belum pernah bertambah sejak implementasi sistem PPN pada 1984? Berdasarkan data Organization of Economic Co-operation and Development (OECD) Revenue Statistic, bahwa 37 negara telah menaikkan tarif PPN dalam satu dekade terakhir. Indonesia tercatat sebagai salah satu negara dengan tarif PPN terendah di dunia, sehingga kenaikan tarif dapat menjadi alternatif.
Kedua;Â kenaikan tarif PPN itu merupakan amanat Undang-Undang Nomor 7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) yang sejalan dengan target konsolidasi APBN, yakni defisit di bawah tiga persen pada 2023.
Ketiga; memilih menggunakan mekanisme reduced rate yang lebih tepat sasaran daripada menunda kenaikan PPN, dengan menggunakan mekanisme pengurangan tarif PPN bagi komoditas tertentu, seperti listrik dan BBM untuk mencegah kenaikan harga.
Hanya saja kesiapan pemerintah untuk percepatan pemulihan ekonomi, dengan meningkatkan pertumbuhan ekonomi berkelanjutan, mereformasi aturan ekonomi, konsolidasi dan perluasan basis penerimaan dari pajak, berbenturan dengan kondisi ekonomi yang belum kondusif dan masih tertatih.Â
Apalagi jika multiple effect-nya, katanya juga diupayakan agar masyarakat patuh bayar pajak, pajak berkeadilan dan berkepastian hukum. Realitasnya urusan pajak belum didukung literasi yang baik.
Ada baiknya kita tak berasumsi negatif dulu, lantas, apa sebenarnya itikad dibalik kebijakan itu?. Diantara banyak polemik, agaknya yang paling logis, tetap soal pemulihan ekonomi. Tapi mengapa kebijakannya seperti terkesan dipaksakan?.
Seperti halnya BPJS-JHT, Kenaikan gas non subsidi, BPJS Kesehatan one for all, sedangkan yang berpihak pada rakyat cuma baru sekali, kenaikan UMP 2022.
Apakah kenaikan PPN menjadi 11 persen, sudah mewakili keprihatinan krisis ekonomi. Apakah dapat dinilai layak?.Â