Setiap akhir bulan ada rutinitas baru di kompasiana, melongok ikonik K-reward di pojok kanan atas dari ruang Beranda Menulis. Mungkin benar seperti kata sahabat kompasianer, Mbak Fatmi Sunarya, K-Rewards Februari 2022 yang Membingungkan, yang semangatnya tidak pernah patah walau sering patah hati.
Bagi kompasianer yang sudah memenuhi S&K yang berlaku, otomatis saldo GoPay bertambah di akhir bulan, setelah akumulasi view "dikunci" admin. Persis seperti acara live music X FACTOR Indonesia, ketika live voting-nya ada saatnya di buka dan ditutup.
Mungkin benar, bagi penulis idealis, K-Rewards bukanlah tujuan. Yang penting happy menulis dan bahagia berbagi. Tapi mungkin juga benar, kalau ada penulis kalau belum dapat K-Rewards berasa belum ideal.
Menulis karena K-reward?
Sejatinya menulis, memang bagian kegembiraan dan passion, lebih dalam dari itu demi idealisme. Apalagi kalau ruangya model Kompasiana. Tapi ketika "digugah" sisi komersil-nya, bagi sebagian orang jadi "penyakit".Â
Mestinya justru menjadi pelecut semangat, karena sejatinya ini juga bagian pembelajaran dan silaturahim para kompasianer. Biar saling belajar menutup kekurangan.Â
Baca ARTIKEL MENARIK LAINNYA-
- Blogwalkinglah Kamu Agar di Blogwalking Kompasianer Lain
- Idik Sulaiman, Antara Gap Sosial dan Sense of egality Berseragam
- Susahnya Jika Harus Memilih, Punya Anak Pintar, Atau Anak Bahagia
Bagaimanapun, Artikel Utama, feature article, tetap saja berkontribusi untuk mendongkrak view, meskipun basis penilaian telah difokuskan pada artikel yang diunggah, tidak peduli mau jadi AP (Artikel Pilihan), AU (Artikel Utama), Feature, Trend Minggu Ini. Terutama karena basis nilai yang ditetapkan admin saat ini adalah besaran view per bulannya. Â Artinya, besaran view, sama dengan besaran k-reward
Bukan Media Komersil, writer's block dan Agrafia
Menulis opini 800 kata di media lokal saja, masih dapat kiriman 100.000. Apalagi di Kompas. Tapi kompasiana memang bukan media seperti itu. Sejak awal dibangun, bahkan tak ada embel-embel K-reward. Asli cuma ruang menulis.
Sedikit yang beruntung, seperti kompasianer awal, Pak Kusmayanto Kadiman yang bukunya diterbitkan Gramedia-Tanpa Gaptek dan Gupsos. Hampir seluruh isi buku adalah kumpulan 68 opininya di ruang kompasiana. Tapi sejak jadi rektor ITB, aktifitasnya di kompasiana pasif.
Tapi kalau "K-reward model template", seperti kasusnya Mbak Fatmi, mungkin Admin harus kasih penjelasan biar semuanya jelas. Siapa tahu ini sekedar sebuah "keajaiban", di bulan yang sama, jumlah view dan K-rewardnya bisa persis sama dengan tahun sebelumnya (2021-2022). Atau sebuah "human error", salah mengoperasikan sistem.
K-reward bagi sebagian kompasianer, bisa menjadi penyebab turunnya gairah menulis, tapi sebaliknya juga menjadi motivator!. Tapi bagi sebagian lain, apatis saja, mau ada atau tidak ada k-reward. Kalau sampai berhalangan menulis rutin harian, biasanya karena ada kesibukan lain di kantoran, atau lagi banyak proyek.
Tapi bisa jadi ada yang kena gejala  writer's block?. Momen tersulit yang membuat kompasianer bisa saja menyerah untuk menulis. Edmund Bergler merupakan orang yang pertama kali memperkenalkan istilah writer's block. Psikoanalisis ini menyebutnya sebagai "a neurotic inhibiton of productivity in creative writers".
Bergler pertama kali menciptakan istilah tersebut di New York City, Amerika Serikat  pada 1947 silam melalui bukunya yang berjudul 'The Writer and Psychoanalysis'.
Menurutnya, writer's block adalah salah satu dari banyaknya manifestasi "masokisme psikis" atau sabotase diri, yang merupakan keinginan bawah sadar untuk mengalahkan kesadaran seseorang dan untuk menikmati kekalahan yang dibangun sendiri.
Beruntung kompasianer senior Pak Tjip, sudah menawarkan kiatnya bisa konsisten menulis setiap hari selama bertahun-tahun tanpa jeda. Rahasinya, dengan 3 stok artikel. Jadi kalau lagi meles-les, gunakan stok, besoknya tabung lagi. Patut di gugu dan ditiru lho kiatnya.
Lebih dari itu, bukan tidak mungkin ada kompasianer yang stress berat!. Tunggu dulu, tapi apa bisa stress K-reward, sampai bisa bikin kompasianer sampai kena Agrafia?. Gara-gara stres mikir opini 30 kali sebulan karena rajin nulis, tapi view dan K-reward-nya jeblok?. Apalagi kalau sampai bawa ukuran harga media komersil per opini.
Tapi kompasianer tak usah kuatir berlebihan, karena agrafia, sebenarnya jenis penyakit. Sekilas, hilangnya kemampuan menulis ini hampir mirip dengan afasia dan alexia.
Tapi pengertiannya, afasia sendiri sebenarnya lebih pada hilangnya kemampuan berbicara. Sementara alexia adalah hilangnya kemampuan mengenai kata-kata yang pernah dibaca. Kadang kondisi ini disebut juga dengan buta kata.
Agrafia adalah hilangnya kemampuan berkomunikasi lewat tulisan akibat kerusakan otak. Menulis membutuhkan banyak keterampilan terpisah. Pertama, otak harus memproses bahasa, alias mengubah pikiran atau ide yang ada di otak jadi susunan kata-kata.
Kedua, kita harus memilih huruf yang tepat untuk menuliskan kata-kata tersebut. Ketiga, menuangkan susunan kata-kata menjadi tulisan tangan. Semua kemampuan yang terpisah ini, terintegrasi menjadi satu ketika menulis.
Lagipula, Agrafia merupakan kondisi yang umum terjadi, terutama pada orang yang mengalami cedera otak atau gangguan pada otak. Lansia lebih mungkin mengalami kondisi ini ketimbang orang dewasa muda. Jadi yang muda dan merasa muda tapi sehat dan enerjik.
Jenis ini mengacu pada hilangnya kemampuan menulis yang berasal dari disfungsinya otak yang mengatur bahasa, visual, atau pusat motorik otak.
Kebiasaan, mengalami kesalahan ejaan atau bermasalah dalam perihal sintaksis (frasa, klausa, atau kalimat), apalagi sampai tidak bisa menuliskan kata-kata yang sebelumnya dipahami, konon kata para pakar dunia medis itu pertanda Agrafia. Siapa tahu cedera otaknya gara-gara stres mikir k-reward yang susah naik!.
Ruang Belajar dan Pribadi Pembelajar
Mungkin yang bisa bikin hati tenang, adalah memposisikan diri sebagai "pribadi pembelajar", seperti kata Andreas Harefa.
Belajar, menulis dengan baik. Belajar dari para juara kompasianer tahunan, dari para senior yang produktif. Bagaimana membangun opini yang bisa menggugah kompasianer lain. Tak melulu soal konten, tapi soal pilihan judul, pemanfaatan data tulisan, aktualitas (biasanya ini sudah dibantu admin dengan kehadiran Topil alias Topik Pilihan), termasuk foto atau ilustrasi pendukung artikel.
Tak bisa dilupakan soal "silaturahim" alias Blogwalking, alias mencermati tulisan kompasianer lain. Mengapresiasi dengan vote atau dengan komentar. Atau kalau berkenan follow akunnya.
Jadi tetaplah menulis, dan biarkan blogwalking dan mesin K-admin yang menghitung k-reward. Kebanyakan dipikir malah bikin pusing. Setiap terbit k-reward, setelah itu ikutan pula Agrafia mengganggu otak sehat kita. Alamat buruk jadinya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H