Mohon tunggu...
Hanif Sofyan
Hanif Sofyan Mohon Tunggu... Full Time Blogger - pegiat literasi
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Buku De Atjehers series

Selanjutnya

Tutup

Film Pilihan

Kisah Guru yang "Terlempar" Ke Dunia Sunyi, Tanpa Hape

1 Maret 2022   00:49 Diperbarui: 11 Maret 2022   23:17 339
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

https://www.oaff.jp/

Sejak mengenal film Little House on the Prairie (1974-1983), gunung, angin, lembah selalu punya romantisme untuk menceritakan tentang sisi hidup manusia seperti kita.

Saya sepakat dengan Peter Goldwyn, presiden Samuel Goldwyn Films, bahwa Pawo Choyning Dorji melalui 'Lunana: A Yak in The Classroom', telah membuat film berdurasi 109 menit ini bikin penasaran.

Pawo seperti, mencoba menarik benang merah, tentang kekuatan apa yang menghubungkan kita dengan begitu banyak hati, sehingga yakin bisa terhubung dengan pemirsa. Menikmati film Lunana,  seperti menghirup udara segar selama balutan masa-masa gelap pandemi yang tidak menentu ini.

Dan, seperti kisah Little House on the Prairie, karya Laura Ingalls Wilder, yang mewakili suasana desa pertanian di Walnut Grove, Minnesota, pada tahun 1870-1880 an.  Dengan pemeran utama Melissa Gilbert, Michael Landon, Karen Grassle, Rachel Lindsay Greenbush, sebagai bintang bersinarnya,. Lunana juga hadir mewakili sebuah sisi kehidupan alam, sunyi, jauh dari keramaian, nun jauh di gletser.

easyreaderNews
easyreaderNews
Ruang itu seperti tertingggal dari peradaban. Persis seperti narasi Dorji, guru yang kecewa karena tiba-tiba terlempar dari dunia modernnya.

Menjadi guru di sebuah sekolah paling terpencil di dunia asing, terputus dari kehidupan modern jauh di dalam gletser Himalaya. Di ruang kelas tanpa listrik, bahkan tanpa papan tulis, dia mendapati dirinya hanya memiliki Yak dan lagu yang bergema di pegunungan.

Pastilah pesona itu yang membuat Samuel Goldwyn Films, rela membeli hak Amerika Utara atas drama Bhutan karya Pawo Choyning Dorji, salah satu dari 15 film terpilih untuk perlombaan film fitur internasional Oscar.

Sisi itu begitu menyentuh, bagaimaan pertarungan antara manusia sekarang dan manusia era dulu yang diwakili oleh mereka yang tinggal di gletser sunyi di Bhutan.

Pesan Dari Dua Dunia

Film ini seperti mencari jawaban atas pertanyaan, apakah teknologi telah begitu jauh masuk dalam kehidupan, sehingga kita tak bisa jauh darinya?.

Film ini sebenarnya telah lebih dulu punya daya tarik yang luar biasa. Bahkan telah lebih awal tayang perdana melalui Butik Film yang berbasis di Berlin, di BFI London Film Festival pada 2019 dan memenangkan penghargaan penonton di Festival Film Palm Springs tahun 2020.

Film yang mendapat pujian kritis ini adalah entri Oscar kedua dari Bhutan, sebuah negara yang terkurung daratan di Asia Selatan. Pengajuan Oscar Bhutan resmi pertama adalah pada tahun 1999 dengan "The Cup" karya Khyentse Norbu, sebuah drama berbahasa Tibet, jadi ini bukan debut pertama film-film karya sineas Bhutan di kancah besar dunia.

Sehingga cukup membuat iri para sineas dari banyak negara. Karena dari gletser yang jauh dapat bersaing di ruang bergengsi Oscar.

Memang lokus Bhutan, dengan begitu banyak cerita tersembunyi yang menggoda adalah sebuah ide, gagasan yang tinggal di olah oleh talenta yang luar biasa, bisa lahir sebagai sebuah karya sinema unggulan.

Romantisme kehidupan sederhana, gunung, para penggembala, Yak, padang rumput tetap menjadi impian banyak orang dalam hinggar binggar keriuhan kota yang penuh polutan.

Jadi ketika di awal film, kita disuguhi eksotisme daratan Bhutan, semua mata langsung tertuju kesana, dan bertanya-tanya, apa gerangan cerita yang sepadan dengan eksotisme alam itu.

Kisahnya Bermula Dari Guru Muda

Hendak mengikuti aras impiannya, ber-emigrasi ke Australia, sang guru muda malah menemukan dirinya ditugaskan ke sebuah sekolah di desa paling terpencil di Bhutan Utara di mana tidak ada air mengalir dan listrik.

Impian terbesarnya bukan disana, jadi setiap kali pikirannya hanya kapan ia harus sesegera mungkin menjauh dari "dunia asing-terisolir". Sejauh mata memandang hanya deretan gunung, gembala Yak, dan dingin gletser.

Seiring menguatnya keinginan untuk pergi, ikatan-ikatan batin yang mulai tumbuh, semakin tak bisa diretas. Hubungan guru dengan anak-anak lokal yang meyakinkan dia untuk tinggal sebelum kondisi musim dingin yang benar-benar keras melanda.

Seperti sebuah alur yang dapat ditebak, tapi film ini berhasil menyisakan rasa penasaran. Tentu saja faktor penokohan para pemain, suasana landskap Bhutan dengan gunung-gunung tinggi menyentuh awan.

Sulit untuk menjelaskan keindahan itu, bagi yang pertama melihat, tapi tentu saja tidak bagi sang guru yang justru merasa "terpenjara", dalam ruang dan waktu yang asing. Padahal orang seperti Steve Jobs, dedengkot Apple Inc, pernah begitu jatuh cinta dengan deretan sunyi gunung.

Bayangkan saja, bagi seseorang dengan candu informasi, kecepatan berita dan ukuran-ukuran yang tak terbayangkan, jika harus hidup tanpa gadget.

Dalam utopia yang dikiranya mimpi, ia menemui pengalaman mengharukan. Ketika ia pada akhirnya justru mendapat hiburan-hiburan lain yang jauh dari impiannya.

Film ini diambil di lokasi di salah satu pemukiman manusia paling terpencil di dunia dan produksinya harus bergantung sepenuhnya pada baterai surya. 

Sebagian besar aktor Sherab Dorji, Ugyen Norbu Lhendup, Kelden Lhamo Gurung, Pem Zam, Sangay Lham dan
Chimi Dem,
adalah penggembala Yak lokal yang belum pernah melihat dunia di luar desa mereka.

Bukankah ini sungguh menakjubkan!. Filmnya melanglang buana, sementara para bintang yang harus dielu-elukan karena kepopularitasan dan aktingnya, justru tak mengenal dunia lain di luar gunung-gunung tinggi yang menyentuh awan dan sejengkal dari pusat matahari

Sutradara Choyning Dorji berkata, "dengan 'Lunana: A Yak in the Classroom,' saya hanya ingin berbagi cerita yang berbeda secara budaya, geografis, dan bahasa dari seluruh dunia. Tetapi sebuah cerita yang menyentuh nilai kemanusiaan universal untuk mencoba mencari tahu di mana kita berada sebenarnya."

"Saya pikir selama pandemi ini, ketika kita sangat menderita karena penyakit, perpisahan, dan kecemasan, merayakan nilai-nilai yang menyatukan kita bersama karena kemanusiaan sangat membantu kita,".

Kita tunggu saja tanggal mainnya, apakah 'Lunana: A Yak in the Classroom, bakal naik kelas, ke podium penerima penghargaan Oscar tahun 2022 kali ini.

Kebanggan ini, akan mewakili para sineas Asia, yang karya-karyanya semakin dinikmati dan didengar pesan-pesan universalnya.

referensi; 1, 2

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun