Sejak mengenal film Little House on the Prairie (1974-1983), gunung, angin, lembah selalu punya romantisme untuk menceritakan tentang sisi hidup manusia seperti kita.
Saya sepakat dengan Peter Goldwyn, presiden Samuel Goldwyn Films, bahwa Pawo Choyning Dorji melalui 'Lunana: A Yak in The Classroom', telah membuat film berdurasi 109 menit ini bikin penasaran.
Pawo seperti, mencoba menarik benang merah, tentang kekuatan apa yang menghubungkan kita dengan begitu banyak hati, sehingga yakin bisa terhubung dengan pemirsa. Menikmati film Lunana, seperti menghirup udara segar selama balutan masa-masa gelap pandemi yang tidak menentu ini.
Dan, seperti kisah Little House on the Prairie, karya Laura Ingalls Wilder, yang mewakili suasana desa pertanian di Walnut Grove, Minnesota, pada tahun 1870-1880 an. Â Dengan pemeran utama Melissa Gilbert, Michael Landon, Karen Grassle, Rachel Lindsay Greenbush, sebagai bintang bersinarnya,. Lunana juga hadir mewakili sebuah sisi kehidupan alam, sunyi, jauh dari keramaian, nun jauh di gletser.
Menjadi guru di sebuah sekolah paling terpencil di dunia asing, terputus dari kehidupan modern jauh di dalam gletser Himalaya. Di ruang kelas tanpa listrik, bahkan tanpa papan tulis, dia mendapati dirinya hanya memiliki Yak dan lagu yang bergema di pegunungan.
Pastilah pesona itu yang membuat Samuel Goldwyn Films, rela membeli hak Amerika Utara atas drama Bhutan karya Pawo Choyning Dorji, salah satu dari 15 film terpilih untuk perlombaan film fitur internasional Oscar.
Sisi itu begitu menyentuh, bagaimaan pertarungan antara manusia sekarang dan manusia era dulu yang diwakili oleh mereka yang tinggal di gletser sunyi di Bhutan.
Pesan Dari Dua Dunia
Film ini seperti mencari jawaban atas pertanyaan, apakah teknologi telah begitu jauh masuk dalam kehidupan, sehingga kita tak bisa jauh darinya?.
Film ini sebenarnya telah lebih dulu punya daya tarik yang luar biasa. Bahkan telah lebih awal tayang perdana melalui Butik Film yang berbasis di Berlin, di BFI London Film Festival pada 2019 dan memenangkan penghargaan penonton di Festival Film Palm Springs tahun 2020.
Film yang mendapat pujian kritis ini adalah entri Oscar kedua dari Bhutan, sebuah negara yang terkurung daratan di Asia Selatan. Pengajuan Oscar Bhutan resmi pertama adalah pada tahun 1999 dengan "The Cup" karya Khyentse Norbu, sebuah drama berbahasa Tibet, jadi ini bukan debut pertama film-film karya sineas Bhutan di kancah besar dunia.