Sudah dilarang jangan berhutang dengan Surat Utang Negara (SUN) oleh Bank Dunia, Pemerintah justru mengakalinya dengan membuat kebijakan baru, pencairan Jaminan Hari Tua (JHT) saat usia pensiun 56 tahun.Â
Akibatnya isu ini menjadi "bola panas" dan memancing polemik. Dalam posisi tidak ada pilihan lain, Pemerintah akhirnya kembali pada aturan semula.Â
Ternyata masih saja Pemerintah bermain-main dengan model kebijakan "test the water". Jika publik tidak kritis dan ngotot, barangkali rencana Pemerintah akan berjalan mulus. Sekalipun kebijakan itu ditujukan untuk membereskan urusan negara, caranya yang manipulatif menunjukkan Pemerintah belum dewasa dalam urusan kebijakan publik. Cobalah untuk menjadi Pemerintah yang bersih.Â
Kuatirnya model tata kelola kebijakan seperti ini sudah biasa dilakukan, sehingga publik hilang percaya atas kredibilitas Pemerintahnya sendiri. Jelas saja ini adalah preseden buruk oleh Pemerintah.
Ada Udang Di Balik Batu Kebijakan publik
Berita ini menjadi menyakitkan bagi publik yang luas, bukan hanya para buruh. Transparansi kebijakan masih menjadi "hantu blau" dalam kebijakan publik kita.
Sebelumnya yang menjadi alasan utama pemerintah adalah pernyataan Menaker bahwa, manfaat JHT seharusnya tidak digunakan pada masa hari tua sebelum waktunya tiba.
Menurut Menaker, tujuan JHT untuk menjamin adanya uang tunai di hari tua. Klaim JHT diambil sebagai persiapan memasuki pensiun dengan batasan minimal masa kepesertaan 10 tahun.
Nilai yang diklaim yaitu 30% untuk perumahan, dan 10% untuk keperluan lainnya. Pertimbangan paling logis, adalah komitmen pemerintah memberikan perlindungan terhadap kehidupan peserta.
Kebijakan ini dikaitkan dengan skema perlindungan, yang akan mengcover beberapa kondisi, seperti adanya hak atas uang pesangon, uang penghargaan masa kerja, dan uang penggantian hak.
Selain itu peserta juga akan mendapatkan manfaat JKP di mana juga terdapat manfaat uang tunai dengan jumlah tertentu disamping adanya akses informasi pasar kerja dan pelatihan kerja