Mohon tunggu...
Hanif Sofyan
Hanif Sofyan Mohon Tunggu... Full Time Blogger - pegiat literasi
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Buku De Atjehers series

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Akibat Telat Recovery, Perang Harga Bimoli Sampai Minyak Curah Berkecamuk

19 Februari 2022   03:43 Diperbarui: 19 Februari 2022   09:30 650
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Di tengah melambungnya harga minyak goreng, belakangan justru mencuat nama mendiang Eka Tjipta Widjaja di berbagai media. Tidak lain karena sebagai pemilik perusahaan minyak goreng besar, namanya tak bisa dilepaskan dari Bimoli, dan Sinar Mas,sejak pertama kali dikenal masyarakat Indonesia pada tahun 1968. 

Sejak muncul sebagai sebuah ulasan menarik di Quora, 21 Desember 2020, Bimoli tiba-tiba menjadi sorotan. Sebelumnya tak banyak orang tahu, bahwa ternyata merek Bimoli bukan sembarang nama-tapi sebuah singkatan dari "Bitung Manado Oil Ltd". Informasi ini diungkap pertama kali oleh Dewan Pakar Peranakan Tionghoa, Azmi Abubakar. Kisahnya di ulik lagi ditengah naiknya komoditas harga minyak goreng.

Tak hanya minyak bermerek besar, bahkan minyak curah yang selama ini menjadi komoditas andalan masyarakat kelas bawah, juga ikut terdongkrak naik. Apakah akibat pandemi Covid-19, kenaikan harga CPO dunia, atau justru karena kebijakan yang salah dari pemerintah?.

Faktor Eksternal yang mendesak 

Ternyata kenaikan harga minyak goreng selama pandemi Covid-19, selain karena produksi CPO menurun drastis, juga disebabkan gangguan logistik akibat banyaknya kebijakan pembatasan.

Kebutuhan minyak goreng nasional sebesar 5,06 juta ton per tahun, sedangkan produksinya bisa mencapai 8,02 juta ton. Anehnya meski berimbang stok dan permintaan, tapi harga terus melambung. 

Ketika tingginya angka permintaan, sedangkan jumlah produksi kurang selama pandemi, beberapa negara sudah bersiap untuk recovery dengan menambah stok yang banyak. Akibatnya, permintaan naik tajam sedangkan produksi tidak bisa mengikuti kecepatan tersebut.

Kita termasuk yang ketinggalan menyiapkan recovery itu. Faktor utama ketidaksiapan, karena daya beli masyarakat juga belum pulih. Sehingga produksi juga tak dipaksakan.

Jika sekarang mengejar ketertinggalan untuk menambah stok, dengan mengandalkan substitusi dari bahan selain sawit, seperti biji bunga matahari dan kedelai yang harganya selangit, justru bisa bikin harga minyak goreng makin runyam. 

Ketiga komoditas ini harus menjaga gap harga karena bisa berefek buruk terhadap permintaan minyak nabati itu sendiri. Jadi kenaikan harga CPO- minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO), karena produksi yang cenderung flat di tahun ini, tidak bisa dijadikan kambing hitam satu-satunya.

Satu catatan penting, meski Indonesia penghasil sawit terbesar di dunia, tapi harga ditentukan oleh mekanisme pasar dunia. jadi ketika terjadi kenaikan harga CPO internasional, maka harga dalam negeri juga ikut terkerek. 

Kenaikan CPO di pasar dunia terutama disebabkan menipisnya pasokan. Dua negara penghasil CPO terbesar dunia, Indonesia dan Malaysia, tengah mengalami penurunan produksi. Faktor lain kenaikan harga minyak goreng dalam negeri, ternyata juga disebabkan karena sebagian besar industri hilir CPO masih belum terintegrasi dengan kebun sawit.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun