Mereka bahkan menciptakan jargon sebutan untuk kedua kubu. Segala jenis nama hewan mamalia, melata, dibawa-bawa. Tapi apa yang terjadi di akhir kontestasi itu?. Keduanya duduk seperti tak pernah merasa bersalah atau punya rasa salah.
Keduanya bersepakat berkoalisi, bukan beroposisi. Keduanya bisa memilih gerbong untuk tempat "kongkow politik", atau istana lengkap dengan "gastrodiplomasinya". Bisa nasi goreng, sebagai sajian makan malam bersama atau makanan tradisional favorit yang disaji dalam jamuan di ruang seminar besar.
Giliran para pendukungnya yang kebingungan, karena sudah terlanjur memposisikan diri, menjadi lumpur dan air. Ada filosofi tradisi yang bilang, "jika bukan air pastilah lumpur", untuk menyebut siapa kita, siapa mereka.
Ketika politik membuat kubu-kubu dan punya jargon masing-masing karena :kebutuhan politik, pada akhirnya semuanya menjadi basi. Seperti sebuah drama setingan. Begitu selesai pengambilan adegan gambar, maka sutradara akan bilang cut!, mereka break dan kehidupan berlalu, dan berlanjut seperti biasa, seperti tak pernah terjadi apa-apa.
Begitulah politik tak pernah bisa diduga. Jadi tak salah jika ada yang mengumpakan politik pemilu itu seperti  jamban umum. Ketika hasrat mendesak dan belum kesampaian, setiap orang akan jadi lawan dan saingan. Tapi jika sudah sampai niatannya, maka semuanya akan baik-baik saja.
Referensi;Â 1,
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H