merdeka.com
Menjadi relawan itu seru, tapi untuk kasus Ekspedisi Indonesia Baru, sebenarnya sangat relatif  penilaiannya. Jika ada yang menganggap sebagai "perbudakan" karena kerja setahun tak berbayar, sebenarnya ada "kompensasi" lain yang non material, yang bisa jadi tak pernah bisa diukur dengan uang yang didapatkan oleh para relawan yang memilih ikut audisinya.
Semuanya sangat subjektif, tentu saja kacamata setiap orang berbeda. Warna " putih" bagi yang menganggap bahwa pendewasaan diri dapat diperoleh dengan mengikuti ajang yang mengasah kemandirian, kekuatan, keyakinan diri, dan kepedulian serta kerjasama itu.
Bagi yang memandangnya sebagai realitas berwarna "hitam", karena situasi kondisi serba sulit pandemi dan krisis ekonomi yang berkepanjangan dalam dua tahun belakangan merubah orientasi kita, "tak ada yang gratis didunia ini".
Gratis dalam konteks kasus Ekspedisi Indonesia Baru, juga tak sepenuhnya "gratis", karena ada "bayaran" pengganti. Saya memandang fenomena ini berdasarkan apa yang pernah saya alami sebagai relawan selama bertahun-tahun lalu.
Seorang Relawan Sejati
Saya punya seorang sahabat, seorang volunteer sejati. Hidupnya dihabiskan dalam setahun, hampir sepenuhnya untuk kerja-kerja sebagai relawan tingkat dunia, sedangkan dua bulan sisanya dihabiskan di kampung halaman, mengobati rindu bertemu ibu yang sangat disayanginya.
Apa kerja-kerjanya?, ia nyaris tak pernah mendapatkan bayaran apapun dari kerja-kerjanya selama sepuluh bulan di seantero dunia. Buku visa ukuran 24 halaman, ludes dengan stempel dari mancanegara, hanya dalam waktu kurang dari dua belas bulan. Termasuk negara-negara Eropa Timur. Uang ia peroleh dari tempat yang tak pernah ia duga, dari teman dan sahabatnya sesama relawan di negara-negara yang berbeda.