lapresse.co
Sekitar tahun 1978, di sebuah pasar, saya menemukan sebuah pertunjukkan yang disebut orang ramai dengan 'wayang Thiti atau Titi". Pertunjukkan itu hanya saya nikmati sekali saja, untuk pertama dan terakhir kalinya. Awalnya saya pikir ini hanya semacam pertunjukkan wayang eksibisi.Â
Kurang lebih karena panggungnya mengikuti model wayang pada umumnya, ada dalang atau pemain wayangnya. Tapi sebenarnya wayang  thiti ini berbeda dari wayang kebanyakan, karena menggunakan boneka sebagai wayangnya.
Bahkan yang saya saksikan waktu itu, "dalang" menggunakan boneka yang direkat dengan magnet besar di kakinya, sehingga boneka wayang itu bergerak gesit tanpa takut jatuh atau terlempar ke arah penonton, ketika dalang memainkannya, meskipun panggungnya terbuka.
Jadi tidak ada layar, tidak ada lampu, karena tidak perlu melihat wayang dalam bentuk bayangan. Sebenarnya wayang titi ini miniatur dari wayang golek, hanya saja boneka yang digunakannya benar-benar mirip bentuk manusia, yang terbuat dari kain, seperti tokoh putri dan pangeran.
Wayang ini kemudian kami adopsi menjadi sebuah pertunjukkan bagi anak-anak ketika kami mulai merintis sebuah lembaga donasi buku. Ide adopsi itu karena wayang ini begitu unik menjadi media mendekatkan anak dengan banyak hal, termasuk buku.Â
Wayang ini kami modifikasi ceritanya menjadi cerita fabel, cerita puteri salju, bahkan cerita Monster inc, yang kisahnya sangat menginspirasi. Memotivasi kita untuk menyadari bahwa, ada "kekeliruan", kita ketika menyangka "ketakutan" adalah sumber energi. Justru tertawa gembira adalah energi yang jauh berlipat ganda dari  sebuah "ketakutan, dan rasa takut".
Kami menggunakan stik kayu yang kami rekatkan ke benda yang kami sebut "wayang", berupa gambar tanpa dimensi, sebagai pengganti magnet dan gabus sebagai alas panggungnya.