Wayang kami gunakan sebagai medium yang kompleks. Apapun tema bisa kami masukkan dalam narasi cerita wayang thiti modifikasi itu, termasuk tentang pembelajaran moral, pembelajaran tentang seks kepada anak-anak, agar anak-anak tidak "gagal paham' terhadap kasus pelecehan seksual yang bisa saja menimpanya. tapi yang umum menjadi fokus kami adalah, menumbuhkan kecintaan terhadap buku!.
Pertunjukkan ini menjadi salah satu favorit kami, dan favorit anak-anak, di ruang baca kami di Car Free Day. Sebenarnya  ada sebuah komunitas menulis di Aceh yang juga menggunakan media televisi tradisional sebagai medium kampanye, tentang konflik di Aceh, yaitu Tivi Eng Eng oleh episentrum Ulhe Kareng.
Wayang Thiti Itu Akulturasi Budaya
Menurut sebuah sumber, Wayang Thithi ternyata mulai dikenal luas di Yogyakarta sejak tahun 1925 hingga 1967. Berarti apa yang saksikan bisa jadi terinspirasi dari sana. Kebetulan saya tidak ingat apakah dalangnya seorang Tiong Hoa atau dalang lokal. Tapi dari wujudnya sudah dimodifikasi menjadi boneka dengan panggung disetting seperti panggung Broadway, dengan rumbai-rumbai dan pilar warna-warni.
Konon istilah thiti muncul karena muasalnya dari suara alat musik yang terbuat dari kayu berlubang, yang digunakan sebagai pengiring setiap pertunjukan wayang kulit China, seperti gamelan.Â
Alat musik itu jika dipukul akan mengeluarkan suara thek-thek-thek atau thik-thik, sehingga kemudian menjadi asal muasal sebutan "wayang Thiti" tersebut.
Mengapa wayang itu awal mulanya saya sebut eksibisi, karena jika belum resmi dijadikan event utama, jadinya cuma percobaan. Termasuk soal tokoh dan alur cerita.Jika wayang  kulit, wayang golek, selalu mengangkat lakon dari dua epos terkenal yakni Ramayana dan Mahabarata. Maka untuk wayang thithi ini lakon atau cerita yang dimainkan adalah mitos dan legenda negeri Tiongkok seperti San Pek Eng Tay, Sam Kok, Thig Jing Nga Ha Ping She, atau cerita dari era Hans Christian Andersen, seperti puteri salju, Cindrella, Pinokio.
Dalam versi yang lebih unik, dalam laporan penelitiannya berjudul "Dari Wayang Potehi ke Wayang Thithi", Ngesti Lestarimenyebutkan, Wayang Thiti, juga disebut "Wayang Potehi",  dimainkan menggunakan kelima jari. Tiga jari tengah mengendalikan kepala, sementara ibu jari dan kelingking mengendalikan tangan wayang. Setiap wayang dapat dimainkan untuk pelbagai karakter, kecuali Bankong, Udi King, dan Sia Kao Kim yang warna wajahnya tak dapat berubah. Pementasan dilakukan di sebuah panggung yang disebut pay low dan berwarna merah.Â
Uniknya, ternyata wayang titi ini adalah buah dari hasil akulturasi budaya China dan Jawa. Modifikasi  tokoh-tokoh dalam lakon wayng thithi inipun juga perpaduan dari dua budaya . Nama -nama para tokoh lakon, negara, kerajaan, dibuat menurut nama-nama aslinya (Hokkian).
Sedangkan istilah-istilah kepangkatan, jabatan, gelar, sebagian besar mempergunakan istilah-istilah Jawa seperti : narendra, pangeran, patih, adipati, bupati, tumenggung, senapati, pandhita, brahmana, radhyan, dyah, abdi, dan prajurit.
Sebenarnya pola dan tata cara pendalangan dalam wayang thithi, mengikuti pola wayang purwa maka baik janturan, suluk maupun kandha, seluruhnya menggunakan idiom-idiom pedalangan jawa.Â
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!