Mohon tunggu...
Hanif Sofyan
Hanif Sofyan Mohon Tunggu... Full Time Blogger - pegiat literasi
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Buku De Atjehers series

Selanjutnya

Tutup

Nature

Slum Itu "Duri Dalam Daging" Ibukota

1 Februari 2022   22:46 Diperbarui: 15 Februari 2022   22:06 1075
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Perencanaan kota yang tumpang tindih adalah awal bencana sosial, ekonomi dan ekologis. Urbanisasi yang berlipat terus mendesak Jakarta hingga ke pinggiran kota, apalagi setelah lebaran. Pulang mudik 3 juta orang, arus balik mudik menjadi 4 juta orang, Jakarta tekor sejuta dan bikin Gubernur Anies Baswedan koprol kepala dengan rumitnya masalah.

detik.com
detik.com

Dampak paling nyata, adalah makin masifnya tanah-tanah kosong diambil alih jadi bangunan, diluar batas toleransi yang memaksa pepohonan-vegetasi kalah saing. Memancing lahirnya slum-daerah kumuh baru, terutama di pinggiran bantaran sungai, rel kereta api dan tanah kosong (tak bertuan) milik pribadi atau negara. Tanah-tanah itu menjadi ruang "pertarungan" pemerintah paling rumit.

Kawasan slum adalah sebuah kawasan kumuh dengan tingkat kepadatan populasi tinggi di sebuah kota yang umumnya dihuni oleh masyarakat miskin 

metro tempo.co
metro tempo.co
Siapa gubernur Jakarta yang berani menggusur slum-daerah kumuh, semudah membalik telapak tangan, seperti sedang main Hom-pim-pah, meskipun pemerintah punya kuasa melakukan kebijakan itu demi kota yang lebih baik. Jelas saja kebijakan itu "berbahaya" secara politik, apalagi jelang Pemilu 2024.

Kompleksitas itu tambah parah dengan masalah ruang publik, yang nyaris tak punya solusi,  seperti urusan drainase bercampur jaringan kabel listrik, telepon  sehingga air hujan tidak bisa masuk saluran drainase dan air menggenang di jalan. Genangan dalam jumlah besar dan lama menyebabkan kerusakan badan jalan dan ancaman baru masalah transportasi-kecelakaan.

Perbaikan jalan secara berkala, terutama di Jalur Pantura, setiap lebaran atau akhir tahun karena sebab pelanggaran tonase kendaraan bermuatan barang distribusi antar kota, serta banjir dadakan, solusinya sejauh ini masih "tambal sulam". Perbaiki jalan dulu, atasi banjir belakangan.

Sejak jaman Gubernur Ali Sadikin, Jakarta sebagai ibukota memang digeber pembangunannya, orientasi melebarkan kota sering bertabrakan dengan target pembangunan ibukota dalam jangka panjang. Pada akhirnya Jakarta berada dalam kondisi seperti sekarang.

Ada yang menyebut Jakarta, sebagai empang raksasa. Bahkan tumpang tindih alih guna lahan, menjadi klaster permukiman baru dari daerah areal serapan, pengalir limpasan air permukaan juga diabaikan.

Banjir dadakan karena rob atau musim penghujan, selain menimbulkan banjir, sekaligus menghilangkan partikel, menyebabkan pendangkalan. Dampak ikutan lainnya, penebangan pohon menurunkan kandungan air tanah yang mengurangi daya dukung tanah. 

Peningkatan erosi tanah dipercepat dengan semakin kecilnya pori-pori permukaan tanah karena partikel-partikel tanah yang terbentuk langsung oleh air hujan menyumbat pori-pori. 

Selanjutnya, penurunan kapasitas serapan-infiltrasi tanah berpengaruh sangat kuat tehadap penurunan kandungan air tanah. Inilah fakta fenomena Jakarta yang kekurangan air bersih, tapi berlimpah air banjir.

Kota  dan kawasan perkotaan adalah lingkungan yang rumit, dan kerumitan itu bukti nyata, dan alasan mengapa banyak arsitek gagal mendesain dengan baik bangunan-bangunan dalam lingkungan perkotaan, karena kurang memperhatikan aspek perilaku, lingkungan morfologi ruang perkotaan dan minimnya pengetahuan tentang ekologi kota.

Misalnya, jika sebuah kota berbentuk cekungan, yang tingginya dibawah permukaan laut, secara ekologi harus mempertimbangkan banyak aspek, soal drainase dan solusi banjir, tapi realisasinya, para arsitek lebih berkutat pada bentuknya, estetis, nilai arsitektural daripada ancaman ekologi jangka panjang.

Sehingga perumahan di Jakarta  lebih mirip benteng melawan banjir, daripada sebagai penjaga kota dari banjir, bahkan dengan mengorbankan kawasan sekitar kota lainnya. Kegagalan itu diperparah dengan tata kelola perizinan yang meskipun dilengkapi Amdal dan Andal, namun bersifat formalitas prosedural.

Memancing Slum dan Permukiman Kumuh

Di tahun 1955, proyek perumahan Pruitt Igoe di St.louis Amerika Serikat, yang katanya mendapat penghargaan oleh American Association of Architechs sebagai proyek modern yang memenuhi semua kriteria gerakan modernisme  ala Le Corbusier dan koleganya, tapi pada tahun 1972, kompleks itu justru diledakkan. 

Padahal umurnya belum kadaluarsa, baru berusia 17 tahun. Apa alasannya?. Sebab komplek itu sudah berubah menjadi area slum, dengan banyak vandalisme, dan lingkungan  kriminal, yang memusingkan.

Sebenarnya, dalam sebuah kota dan kawasan yang rumit, tidak ada resep atau teori yang bisa menjamin, bagaimana sebuah kawasan perkotaan seharusnya dirancang. Bahkan jika rancangannya menyesuaikan dengan mengurangi parameter ideal atau salah paham soal kriteria.

Tapi sebuah perencanaan dapat meminimalisir sebuah rancangan kota, agar lebih terarah daripada tanpa perencanaan sama sekali. Tantangannya adalah  semakin modern di era post-modern dan post industrial, para arsitek dan perancang kota harus menemukan solusi terbaik dan tepat secara arsitektural pada kota-kota moden saat ini.

Polusi, sistem drainase, waste system dari industri dan pabrikasi adalah tambahan "pekerjaan rumah" bagi para arsitek kota untuk ber-imajinasi lebih cerdas membangun kota yang lestari-sebuah green city.

Perhatikan dalam kasus rumah susun di perkotaan, pada awalnya rumah susun dijadikan solusi bagi minimnya arel untuk bangunan. Pertimbangan itu menciptakan gagasan sebuah rumah susun, bertingkat  banyak.

Namun dalam kenyataannya, pembangunan rumah susun dan pasar di Indonesia, tingkat penggunaannya  hanya pada lantai 3, sedangkan lantai 4 keatas jarang digunakan karena masalah transportasi vertikal hanya  berupa tangga. Sehingga solusi ketersediaan rumah murah, bagi kelompok urban dan kelompok ekonomi bawah-menengah, berubah menjadi malapetakan baru.

Rumah susun maupun pasar yang umumnya diperuntukan bagi kelas menengah bawah, tidak dapat menyediakan lift. Sehingga karena faktor kelelahan, hanya bangunan lantai 3 yang digunakan. Selebihnya, menjadi bangunan kosong, yang dapat menjadi pemicu sebagai tempat  vandalisme, yang bisa digunakan untuk  tindak  kejahatan. 

Desain tersebut dianggap gagal, karena tidak memprediksikan aspek perilaku pengguna bangunan yang ditinjau melalui Evaluasi Purna Huni (EPH) atau Post Occupacy Evaluation (POE).

Apabila tidak ada solusi justru menjadi masalah bagi penghuni dibawahnya. Maka kebijakan yang ditempuh, seperti gagasan sekarang adalah menyediakan rumah murah, dengan konsekuensi membuat Jakarta bisa terimbas-peluberan kota  (sprawl city) yang masif. Jakarta berpeluang bernasib seperti Calcutta di India, kota terpadat, dan penuh polusi, seperti digambarkan dalam Joy City-Dominique Lapierre.

Konurbasi dan Klaster Baru-Slum Jakarta

Rumitnya masalah Jakarta lainnya, adalah perkembangan kota yang tidak terarah, dan cenderung membentuk konurbasi antar kota inti dengan kota-kota sekitarnya. (konurbasi;wilayah terdiri dari sejumlah kota, kota besar, dan daerah perkotaan lainnya, melalui pertumbuhan populasi dan ekspansi fisik, telah bergabung membentuk satu daerah perkotaan yang berkelanjutan atau kawasan industri yang dikembangkan.) 

Dalam konteks konurbasi Jakarta saat ini ditandai dengan ciri, munculnya 9 metropolitan dengan penduduk diatas  1 juta jiwa. (Jakarta, Surabaya, Bandung, Medan, Bekasi, Tangerang, Semarang, Palembang Dan Makasar). Serta 9 Kota besar (Bandar Lampung, malang, Padang, Samarinda, Pekanbaru, Banjarmasin, , Solo, Jogjakarta dan Denpasar).(Hestin;2011).

Daerah pinggiran yang berdekatan dengan metropolitan dan Kota Besar baru akan menerima dampak positif dan negatif sekaligus, tergantung bagaimana mereka meresponnya dengan kebijakan daerah masing-masing. 

Kasus yang sama akan terjadi terhadap rencana kepindahan ibukota kita. Saat ini di daerah-daerah tersebut mulai muncul gejala, peluberan kota baik di inti maupun ke area urban atau pinggiran (urban fringe), pembangunan tidak terkendali dan sulit dikontrol (urban sprawl), karena spekulasi-spekulasi kelahiran ibukota baru.

Setiap perkembangan dan pertumbuhan kota baru, ibarat "lampu" akan didatangi ribuan anai-anai, meskipun mereka akan mati ketika berada di dekat lampu, tapi arus 'urbanisasi dan migrasi' tidak akan terbendung. Fenomena ini memancing lahirnya slum dan daerah kumuh baru, jika sejak awal tidak diikuti kebijakan 'super ketat" dan pengawasan yang terus menerus. Pemerintah dipaksa bekerja keras, sebelum semuanya terlambat dan menjadi blunder kota yang bikin sakit kepala.

Konurbasi akan menimbulkan masalah baru yang kompleks. Kemiskinan perkotaan, pelayanan sarana dan prasarana yang terbatas, kemacetan lalu lintas, dan pencemaran lingkungan. Pembangunan kota yang acak (sprawl development) adalah penyakit kambuhan yang datang ketika dipicu spekulasi-spekulasi bernilai ekonomis.

Akibatnya seperti sebuah imbas masalah zonasi, ada daerah yang tumbuh dengan begitu cepat, namun ada yang lambat dan cenderung stagnan.

Begitulah kota berdinamika, spekulasi-spekulasi motif ekonomi, bisa merusak area urban fringe, memicu peluberan kota yang tidak terkendali, dan berakhir menjadi sarang slum-daerah kumuh baru. Pak Anies, atau siapapun gubernur Jakarta kelak, inilah PR besar Jakarta yang tak pernah selesai.

referensi: 1,2

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun