Mohon tunggu...
Hanif Sofyan
Hanif Sofyan Mohon Tunggu... Full Time Blogger - pegiat literasi
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Buku De Atjehers series

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Mengapa Keluarga Kaya Bisa Kena Stunting?

31 Januari 2022   20:30 Diperbarui: 2 Februari 2022   12:58 390
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

klikdokter

popmama.com
popmama.com

Anak-anak bertubuh kurus kering , stunting dan wasting (penurunan berat badan yang drastis) di posyandu-posyandu di Indonesia, menunjukkan fakta stunting masih menjadi ganjalan kita mempersiapkan generasi kuat. 

Stunting tidak bisa dianggap remeh karena bukan hanya soal kekurangan gizinya, tapi juga gangguan pada pertumbuhan otaknya. Ini fakta paling fatal dari stunting.

Stunting dipahami secara sederhana sebagai kondisi gagal pertumbuhan tubuh dan otak pada anak akibat kekurangan gizi.

Salah paham tentang Stunting, dan Makanan Bergizi

Sebenarnya kita merasa aneh juga, jika Indonesia yang gemah ripah loh jinawi, mengapa bisa tinggi kasus stuntingnya. Sebagai negara agraris, kebutuhan pangan seharusnya sudah terpenuhi tanpa harus impor. Berbeda dengan negara-negara dengan lahan pertanian terbatas.

Seperti lagu Koes Plus, "Tanah kita, tanah surga, tongkat kayu dan batu jadi tanaman". Umbi-umbian juga punya kandungan gizi, protein dan vitamin yang tinggi dan mudah tumbuh di negeri kita, bahkan menjadi salah satu makanan pokok.

Lantas mengapa stunting tinggi kasusnya?. Apakah karena sekedar kurang jumlah asupan makanan?.

goodoctor
goodoctor

Jangan salah, stunting pada anak atau pertumbuhan tidak maksimal akibat gizi buruk, tidak hanya terjadi pada keluarga miskin. Anak yang dibesarkan berkecukupan pun tak bebas risiko. Alasannya cukup logis, asupan gizi tidak sampai kepada anak, salah satunya karena kurangnya perhatian orang tua.

Jadi tak sepenuhnya benar kalau masih ada yang berpikir stunting hanya disebabkan karena kurang makan. Bahkan keluarga modern pun yang bisa menyediakan makan sepuluh kali sehari, bisa menjadi korban stunting.

Mengapa?. Salah satu sebabnya adalah, banyak keluarga modern karena begitu sibuknya menyerahkan pengasuhan anak kepada pekerja rumah tangga tanpa memperhatikan asupan gizi anak.

Para pembantu, bisa saja menjaga jadwal makan anak, tahu takaran makanan per hari, tapi urusan gizi, tunggu dulu. Asal anak majikan mau makan, kenyang, kalau perlu, jika rewel, cukup dijejali dengan mie instan, beres!.

Pemicu stunting lainnya, karena buruknya sanitasi yang membuat anak cacingan, sehingga asupan gizi tidak sampai tubuh. 

Berikutnya yang tak kalah penting, karena sebab infeksi. Semakin demam, maka gizi di dalam tubuh anak semakin berkurang, ditambah lagi anak sulit makan selama sakit. Jalan keluarnya, keluarga harus lebih peduli dan mengubah pola perilaku pengasuhan anak, kampanye gaya hidup sehat dan imunisasi.

Gara-gara tiga masalah pemicu stunting tadi, bisa menimbulkan kerugian ekonomi 30-40 miliar dolar AS untuk biaya pengobatan, anggaran seperti BPJS Kesehatan bisa jebol kalau harus menutup biaya mengurus stunting saja.

Faktanya, berdasarkan data statistik tahun 2000 dan 2018, meskipun ada penurunan kasus stunting di Asia Tenggara, sebesar 31 persen, kasus stunting dan wasting masih banyak terjadi di kawasan Asia Pasifik. Ada sekitar 77,2 juta balita menderita stunting dan 32,5 juta balita menderita wasting. Khususnya di Asia Tenggara, 8,7% balita menderita wasting (2018).

Jadi tantangan dan kerja-kerja keras kita masih terus berlanjut, sekalipun telah terjadi penurunan kasus. Pemicu lainnya, bisa disebabkan karena kejadian pandemi yang tidak terduga, sejak 2019 hingga sekarang.

Anak Stunting Berpenghasilan Lebih Minimal 

Ada fakta mengejutkan tentang stunting,bahwa ternyata, studi oleh Grantham-McGregor pada 2017 menjelaskan, bahwa anak yang mengalami stunting berpotensi memiliki penghasilan lebih rendah 20% dibandingkan anak yang tumbuh optimal.

Sementara, dampaknya bagi negara menurut UNICEF, PDB turun 3%. Masalah gizi buruk ini menjadi lingkaran yang saling berkait seperti kesejahteraan masyarakat, peluang pekerjaan, rendahnya pendidikan, dan daya saing.

Indonesia masih menempati peringkat kelima negara stunting tinggi pada anak karena tiga hal diatas, sehingga program penurunan stunting menargetkan, angka prevalensi pada anak usia di bawah dua tahun, dari 37% pada 2013 menjadi 28% pada 2019. Salah satunya, dengan kampanye 1.000 hari pertama kehidupan, yang dimulai sejak masih janin hingga usia dua tahun.

Sebenarnya perbedaan indikator juga menjadi sebab, mengapa masalah stunting beda fokus penanganannya di 47 negara, termasuk Indonesia. Indikator stunting di Indonesia masih mengacu pada ukuran berat badan berbanding dengan usia.

Sedangkan PBB menggunakan acuan SUN (Scalling Up Nutrition) yang dihitung saat masih janin dalam kandungan ibu. Jadi periode penanganannya menjadi berbeda. Mengapa dengan skala SUN, begitu sel otak terganggu karena kekurangan gizi, maka potensi sumber daya manusia itu akan selamanya mengalami kekurangan.

Menurut PBB, yang patut diwaspadai bukanlah persoalan berat badan, akan tetapi pertumbuhan sel otak yang berpengaruh terhadap kecerdasan anak, serta mempercepat munculnya penyakit-penyakit degeneratif seperti diabetes, jantung, stroke, yang bisa dipicu sejak anak dalam kandungan. Sehingga hanya melihat berat badan saja tidak menjadi pengukur yang benar.

Development Intiative (2018) menyebutkan bahwa Indonesia merupakan salah satu dari 88% negara di dunia yang dihadapkan dengan beban serius setidaknya dua masalah gizi, stunting dan obesitas.

Permasalahan pembangunan sumber daya manusia dapat menimbulkan ancaman baru terhadap sistem kesehatan, pertumbuhan ekonomi, dan kesejahteraan masyarakat di masa yang akan datang.

Dalam sebuah artikel pada jurnal medis The Lancet, tim ahli menunjukkan hasil estimasi pemodelan komputer tentang pasokan makanan di 118 negara miskin dan berpenghasilan menengah.

Hasilnya, mereka menemukan bahwa wasting akibat kekurangan gizi tingkat sedang hingga berat untuk anak di bawah usia lima tahun akan meningkat 14,3% atau setara dengan 6,7 juta kasus tambahan.

Wasting terjadi ketika tubuh kekurangan gizi akut sehingga otot dan lemak dalam tubuh mulai berkurang dengan cepat.

Perserikatan bangsa-bangsa (PBB) dalam ICN2 (2014) menegaskan bahwa tujuan pembangunan berkelanjutan (TPB) dapat diarahkan kepada tindakan dan akuntabilitas untuk dapat menangani penyebab langsung dan tidak langsung dari segala bentuk masalah gizi.

Kekuatiran PBB tersebut beralasan karena rekomendasi hasil penelitian The Lancet adalah; "Kekurangan nutrisi pada balita di fase awal kehidupan akibat dampak mendalam pandemi Covid-19 dapat menciptakan konsekuensi antar-generasi untuk pertumbuhan dan perkembangan anak dan dampak seumur hidup pada pendidikan, risiko penyakit kronis dan pembentukan manusia secara keseluruhan".

Apakah Pemerintah Terlambat?

Mau tidak mau Indonesia sebagai salah satu lima besar negara dengan prevalensi stunting tinggi juga ketar-ketir. Pemerintah merasa telah serius menangani masalah stunting ini, bahkan secara  khusus, Kementerian Kesehatan Republik Indonesia menggelar forum bertajuk "Food Security, Nutrition, and Health: Harnessing Multi-sectoral Partnerships for the Post-2015 Development Agenda.

Apa fokusnya?, mencari kaitan antara peningkatan status gizi dengan tingkat kesejahteraan masyarakat dan menentukan peran tiap pemangku kepentingan dalam meningkatkan ketahanan pangan dan nutrisi.

Apa hasilnya?. Sektor ekonomi bisa saja terus tumbuh, tapi tidak berbanding lurus dengan kasus stunting, yang terus menjadi hantu. Gizi kurang masih menjadi masalah besar kesehatan masyarakat di abad ke-21 ini. Data WHO mencatat bahwa terdapat 162 juta balita penderita stunting di seluruh dunia, dimana 56% berasal dari Asia. Indonesia bahkan termasuk dalam lima besar negara dengan prevalensi stunting tertinggi di Asia-Afrika.

Prevalensi tinggi itu disebabkan karena masih terjadi salah paham dalam memahami "apa itu makanan yang bergizi" sebagai makanan mahal. jadi kampanyenya juga harus meluruskan salah persepsi itu, dan memastikan dengan pemahaman yang benar, bahwa bahan makanan yang bergizi bisa dijangkau semua kalangan.

Jadi gembar-gembor ketahanan pangan dan nutrisi yang bombastis, bukan sekedar soal jumlah bahan makanan yang tersedia, tapi juga kandungan gizi di dalamnya. Jadi memperhatikan ketahanan pangan artinya mengubah pola pikir definsi hidup yang sehat dan seimbang". Bukan makan makanan mahal agar terpenuhi cakupan gizi.

Apa langkah kongkrit dan paling logis mengatasi problem itu?. Keterlibatan para pihak, institusi pemerintah, sektor swasta, akademisi, dan organisasi masyarakat sipil dalam program Rencana Aksi Pangan dan Nutrisi Nasional harus  menjadi komitmen utama. Dan itu artinya integrasi yang baik antar program, keleluasaan dalam penganggaran, dan kekuatan kelembagaan untuk mencapai ketahanan pangan dan mempercepat perbaikan nutrisi dibawah Peraturan Presiden no. 42 /2013 tentang Gerakan Nasional Percepatan Perbaikan Gizi. Kebijakan ini menekankan konsep mengenai betapa pentingnya 1000 hari pertama kehidupan bagi seseorang.

Jadi dibutuhkan keseriusan total, tidak lagi menganggap solusi stunting hanya sebagai agenda business-as-usual.

Tantangan Baru Stunting selama pandemi

Kondisi termutakhir selama pandemi, memicu masalah baru. Krisis sosial dan ekonomi akibat pandemi virus corona berpotensi menyebabkan hampir tujuh juta anak mengalami stunting akibat kekurangan gizi.

Fakta ini menambah panjang masalah, karena sebelum pandemi, diperkirakan sudah ada 47 juta balita yang mengalami penurunan berat badan dengan cepat (wasting) di tingkat sedang hingga parah yang sebagian besar tinggal di Afrika sub-Sahara dan Asia Tenggara.

Apa kaitan pandemi dan stunting?. Pengetatan kondisi pandemi atau lockdown, menganggu ekonomi dan terganggunya rute bantuan vital dalam perdagangan internasional. Akibatnya seperti menjadi kekuatiran PBB, pendemi menciptakan "efek antar generasi" pada kesehatan jutaan manusia.

Sehingga kerja-kerja mengatasi stunting menghadapi kendala yang serius. Sehingga fakta bertambahnya stunting selama pandemi menjadi agenda yang harus menjadi fokus pemerintah. Kebijakan tidak hanya soal bantuan ekonomi bagi kelompok rentan, namun juga aksi nyata yang difokuskan pada kesehatan anak-anak akibat efek pendemi secara ekonomi.

Rumus, kurus bukan berarti sakit, dan gemuk bukan berarti sehat, bisa jadi benar jika kita memahami dengan benar tentang kesehatan anak-anak.

Pemahaman yang keliru tentang makanan bergizi, kesehatan anak, imunisasi, penyakit infeksi dan sanitasi buruk menyebabkan jutaan anak menjadi "tumbal", kemiskinan dan minimnya perhatian kita terhadap anak-anak. Stunting dan wasting adalah  bukti nyata bahwa ketimpangan sosial, kebijakan pembangunan kita masih belum sepenuhnya merata dan menyentuh semua kalangan.

referensi; 1,2,3,4,5

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun