Mohon tunggu...
Hanif Sofyan
Hanif Sofyan Mohon Tunggu... Full Time Blogger - pegiat literasi
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Buku De Atjehers series

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Ada Udang di Balik Naiknya Tarif KRL, Apa Sebenarnya Maunya Pemerintah?

27 Januari 2022   17:06 Diperbarui: 27 Januari 2022   21:36 410
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Saya meyakini bahwa pemerintah sebenarnya sedang pusing gegara ikut berpartisipasi dalam Perjanjian Paris (Paris Agrement 2015), karena sejak saat itu, apa-apa yang konsumtif BBM akan dijadikan kambing hitam kegagalan kita mengikuti kesepakatan pengurangan emisi, bahkan sampai akhirnya nol di tahun 2050.

ekonomi bisnis.com
ekonomi bisnis.com
Nah, atas dasar rasa pesimistis dan menjaga kegaduhan agar tidak merembet kemana-mana, pemerintah  akhirnya mengalah dengan memilih opsi zero emisi pada tahun 2060, 10 tahun telat dari kesepakatan awal.

Apakah dibolehkan?. Jelas, jika merujuk, pada kesepakatan artinya sudah melanggar perjanjian. Tapi apa boleh buat, pemerintah sudah menimbang-nimbang banyak perkara yang harus disiapkan. Jadi cukup bermuka badak, sambil mencoba jalan alternatif percepatan menuju 2050 itu. Siapa tahu mineral tanah jarang bisa membantu, sebagai jalan instan?.

Termasuk yang paling sering dan tidak populer adalah mengurangi subsidi bahan bakar. Bensin hilang dipasaran, muncul kebijakan pertalite, sebentar lagi pertalite ke pertamax. Daripada memilih model kebijakan yang  rentan menjadi bahan gunjingan dan demo publik, pemerintah sudah memilih kebijakan menaikkan gas bersubsidi terlebih dulu. 

Bisa jadi pertimbangan yang paling masuk akal adalah, karena para konsumen gas bersubsidi adalah mereka yang minimal kelasnya menengah-ke atas. Artinya ada sedikit dana cadangan, tabungan yang bisa menutupi kenaikan itu. 

Sehingga tidak seribut jika pemerintah menaikkan harga BBM atau mengurangi subsidinya karena "menyenggol" hasrat hidup orang kebanyakan, termasuk yang berada di bawah garis kemiskinan.

Garis besarnya adalah bahwa pemerintah diam-diam sedang menjalankan rencana zero emisi itu secara perlahan dan tidak kentara. Pertimbangan lainnya, karena kebijakan model seperti ini sangat tidak populer, baik secara ekonomi, apalagi sosial dan lebih parah lagi secara politik.

Memangnya ada pemerintah yang sedang mewacanakan presiden bisa naik berkali-kali, justru mengeluarkan kebijakan yang bisa membuat rencana kenaikannya menjadi gatot-gagal total, jelas saja tidak.

Maka kebijakan model naik BBM, adalah salah satu mimpi buruk. Karena jika tidak dilakukan sama saja bisa menggeroti kas negara membayar harga BBM ditingkat dunia yang  terus naik, termasuk gas, sementara sisa kas lain untuk menutupi subsidi agar harga gas lainnya, tetap terjangkau di pasaran. 

Pemerintah harus minum paracetamol untuk menghilangkan nyeri ringan di kepala. Dan baru diinfus intensif jika kenaikan harga sudah menyebabkan demo dan harus diikuti dengan kebijakan penyerta sebagai peredam amarah, yaitu Bantuan Langsung Tunai (BLT), jika mau kekuasaannya dilanjutkan setelah 2024 mendatang.

Kebijakan KRL Salah Langkah?

Lantas bagaimana dengan Kereta Rel Listrik (KRL) kenapa justru harganya naik?. Apakah ini aji mumpung pemerintah?. Ketika ada barang lain naik, dan pemerintah tidak bisa bertindak gegabah menambah atau mengurangi subsidi, karena pertimbangan pilihan kebijakan populer dan tidak populer tadi, maka harus ada yang dikorbankan.

Kali ini yang kena batunya adalah 88 juta para Anker-Anak kereta, pekerja yang hilir mudik, Jakarta dan keluar kota satelit disekitarnya, Jabodetabek yang "dimanfaatkan" ketidakberdayaannya.  

Dari jumlah itu saja belum sepersepuluhnya yang bisa dipenuhi dengan adanya KRL, kurang lebih 9 jutaan. Jadi ibarat kata, jika ada yang tak mau naik KRL karena naik Rp.2000 perak, maka akan ada 80 juta orang lainnya yang akan menggantikan kursi anker itu. Pilih mana?. Pusying, kata anak Jaksel.

Memangnya ada pekerja yang setiap hari mondar-mandir kerja dari luar Jakarta dan sekitarnya mau disuruh mengganti moda transport dengan mobil angkot lain, bawa kendaran sendiri, hanya gara-gara tarif KRL naik dari Rp.3000 ke Rp.5000. 

Pertama, kenaikannya tidak melampui 50 persen.

Kedua, belum ada para pekerja yang bisa beralih ke lain hati, dengan begitu banyak "perhatian" KRL pada nasib mereka pada Anker-Anak Kereta. Layanannya jelas cepat, bebas hambatan, tepat waktu, "murah" walaupun kalau dihitung sebulan kenaikannya Rp.100.000, juga. Cuma karena dicicil perhari dua kali, jadi Rp 4000 jadi tidak terasa.

Jadi kalau dipikir-pikir, mengapa bensin tetap disubsidi, sedangkan KRL "listrik" malah harus menombok kekurangan uang pemerintah, alasannya;

Pertama yang paling logis adalah adanya 88 juta penumpang yang sangat valid dijadikan alasan.

Kedua, alasan politis yang tidak populer, jika pemerintah harus menaikkan harga bensin atau semua jenis gas, kala pendemi belum berlalu dan krisis masih menggantung di langit negeri, sama saja dengan bunuh diri.

Apakah kebijakan itu akan mengganggu rencana kita menuju zero emisi. Menganggu atau tidak, tidak akan ada bedanya, karena ada 80 juta orang mau berkorban mengganti siapa saja yang menolak kenaikan tarif KRL.

Bahkan jika kebijakan itu dinaikan dua tiga kali dalam sebulan, seperti rutinitas check up gula darahpun, orang akan tetap 'ngotot" naik KRL. Daripada dapur rumah tak lagi berasap atau kepala koprol gara-gara mikir pengeluaran BBM.

Jadi dalam kasus kenaikan tarif ini Pemerintah berada di posisi pemenang, jadi jangan heran jika akan ada kenaikan lain yang akan lewat di headline berita kita.

Skenario Lain Belum Manjur

Sebenarnya dalam kerangka pengurangan emisi itu, Indonesia punya banyak alternatif. Pertama; Dari ketersediaan energi atau mineral tanah jarang yang luar biasa. Bahkan kabarnya  di balik lumpur luapan Lapindo, kini tersimpan jutaan kubik material tanah jarang yang akan diburu oleh banyak negara.

grereneration
grereneration

Jadi, bisa diperkirakan dalam waktu cepat, lumpur Lapindo akan disedot secara berebutan oleh perusahaan energi dari banyak negara. Barangkali Pertamina di barisan depan. Perusahaan Bakrie Brothers yang pernah kehilangan uangnya bermilyaran gegara membayar ganti rugi kebocoran, mungkin akan dapat cara instan bikin Break Even Point (BEP) untuk balik modalnya.

Kedua; Belum lagi laut dalam Indonesia, sebagai negara bahari, yang ternyata lautnya menyimpan jutaan kubik material tanah jarang. Selama pengelolaannya tidak membunuh plankton yang dapat memicu masalah baru, naiknya emisi dari laut. Tapi tetap saja butuh pengorbanan besar, termasuk mengorbankan kelestarian lingkungan.

Jangankan emisi dari plankton, olah pertanian, gembala ternak sapi, bahkan buangan gas dari sapi dari peternakan diperkirakan menyumbang sepersekian persen dari emisi karbon.

Ketiga; Solusi lainnya, pola atau skema ekonomi kita tak terbiasa hemat, jadi sirkular ekonomi yang basisnya menggunakan barang daur ulang, menjaga dan merawat alat se-awet mungkin, bukan bagian dari budaya.

Meskipun ban kempes masih bisa ditambal, mesin aus masih bisa dibubut, ban bekas masih bisa ditempel karet, dan kondom bekas masih dijadikan karet pengikat rambut, mobil bekas 4 tahun pakai di Singapura yang sudah "berkarbon" di kirim ke Indonesia sebagai mobil murah.

Tapi bukan itu, peralatan yang material penggunaannya seperti mesin-mesin. Bisa jadi faktor gaptek alias kesenjangan teknologi juga berpengaruh. Bayangkan saja, panel surya yang mahal harganya dijadikan tempat menjemur ikan asin, karena konon katanya bisa membuat ikan asin lebih cepat kering. Baiklah, bahwa logis juga soal mudah keringnya ikan, karena panel itu memang diperuntukkan menyedot tenaga dan diubah jadi energi alternatif terbarukan.

Keempat; Pilihan "Pajak karbon", jelas itu malapetaka jika diterapkan sekarang, kala kita baru bisa bernafas lega dari krisis, dari kenaikan gas bersubsidi  dan kenaikan tarif KRL pula, sementara naiknya UMP 2022 dibarengi kenaikan sembako dan barang lain, jadi nyaris tidak berarti apa-apa.

Maka  beginilah kita saat ini, "ketidakberdayaan" kita menjadi "senjata" pamungkas krisis ekonomi yang dialami pemerintah. Dan bahkan pemerintah bisa sekali mendayung perahu dua tiga pulau terlampui.

Gas naik, elektrifikasi dalam kerangka zero meskipun bisa benar atau tidak, bisa dijalankan dan kekurangan dana akibat kenaikan komoditi gas, minyak ditingkat dunia dan lainnya, bisa "dibarter" dengan kebijakan model "kenaikan tarif KRL".

Kita tunggu bagaimana kebenarannya, seiring bergeraknya realitas saat ini. Karena banyak kejutan yang terjadi selama ini, jadi apa kira-kira kejutan berikutnya dari pemerintah setelah KRL?.

referensi; 1, 2, 3,

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun