Mohon tunggu...
Hanif Sofyan
Hanif Sofyan Mohon Tunggu... Full Time Blogger - pegiat literasi
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Buku De Atjehers series

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Cinta Laura dan Sulitnya Memahami "Rasa Bahasa"

26 Januari 2022   09:55 Diperbarui: 27 Januari 2022   00:05 374
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Membaca tulisan sahabat kompasianer Jepe tentang "Nusantara; Negeri Para Pembela Kebetulan?", baca disini, saya jadi teringat sebuah penelitian tentang sistem pemograman bahasa, dengan metode Stemmer.

Stemmer merupakan aplikasi pemotongan imbuhan pada kata berimbuhan yang dijalankan dengan algoritme tertentu. Algoritme yang pertama dikembangkan oleh Martin Porter, yang mengolah pemotongan imbuhan dalam bahasa Inggris. 

Intinya agar bisa memudahkan pemahaman tentang bahasa, melalui pemahaman setiap kata. memang bahasa bukan hanya soal kata, ejaan, tapi juga tentang rasa bahasa, sebagai "rohnya" sebuah bahasa. Dibutuhkan kemampuan kita dalam menghayati sebuah pemaknaan bahasa. Tentang tepat atau tidak, sopan atau tidak sopan, semuanya tentang estetik, dan pembiasaan.

Saya meyakini, penggunaan "kebetulan" dan "kebenaran" bisa salah digunakan para pembelajar pemula, termasuk bule-bule yang bahasa Indonesianya masih seperti Cinta Laura. Jadi bisa saja seorang bule akan berkata, "bagaimanapun kita harus membela "kebetulan" yang memang harus kita bela". Padahal maksudnya "kebenaran". Mungkin Cinta Laura sendiri juga mengalami kesulitan yang sama pada awalnya. 

Saya bayangkan, jika ada bule di beri 3 kombinasi kata; "Budi-gunung- daki", lalu diminta membuat kalimat dengan ketiga kata itu, dan dibolehkan menggunakan awalan atau akhiran, bisa jadi variasinya akan muncul tiga kemungkinan;

Pertama; "Budi Mendaki Gunung".

Kedua; "Gunung Didaki Budi" dan

Ketiga; "Daki Budi Menggunung!".

Bagi penutur bahasa Indonesia sebagai bahasa "ibu", kalimat ketiga bisa saja dianggap serius oleh para bule, tetapi menjadi lelucon bagi kita, karena "rasa bahasanya".

brainacademy.com
brainacademy.com
Bagi kita yang punya "rasa bahasa", lebih tepatnya, bahasa itu ada rasanya: ia dapat dirasakan, harus dirasakan, dan ingin membuat para penuturnya merasakannya. Dengan kata lain, bahasa  berkomunikasi tidak hanya melalui kaidah-kaidah bahasa tersebut, tetapi juga melalui rasa.

Jika rekan dari Malaysia di pusat perbelanjaan berseru antusias "Hei!, ada barang percuma!".  Kita lantas melihat kanan-kiri, takut ada yang mendengar,  takut pemilik tokonya tersinggung gara-gara ucapan "percuma"teman tadi, karena beda kata dan maksudnya, terlebih "rasa bahasanya" juga beda.  Padahal maksud sebenarnya, "barang gratisan!", bukan "barang yang tidak ada gunanya". Itu baru satu saja contoh rasa bahasa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun