Mohon tunggu...
Hanif Sofyan
Hanif Sofyan Mohon Tunggu... Full Time Blogger - pegiat literasi
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Buku De Atjehers series

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Aku Benci "Layangan Putus", Karena Bikin Perempuan Menjerit Panik

24 Januari 2022   22:22 Diperbarui: 26 Januari 2022   00:09 567
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

CNNindonesia

womenindonesia
womenindonesia
Tentu saja alasannya bukan karena aku tak bisa menerbangkan layang-layang, tapi layang-layang yang satu ini membius semua orang. Dulu aku pikir Kite Runner, karya Khaled Hosseini, menjadi layang-layang paling prestisius menceritakan tentang penderitaan nasib dua karib yang  yang dipisah jarak karena perang di Afghanistan.

Dulu aku juga berpikir, film adalah sebuah pentas semu kehidupan, sehingga ketika anak-anak tak bisa membedakan mana realitas dan mana fantasi, kita sebagai orang dewasa yang memahami dengan haqul yaqin konsep tersebut menganggap anak-anak sebagai pribadi polos seperti tabula rasa-kertas kosong.

Terlepas dari urusan Phobia, beberapa orang dewasa bisa menganggap visual film layaknya dunia nyata, karena sebab "penyakit" phobia, selebihnya, film adalah visual belaka.

Tapi fenomena karya sinema "layangan putus" dengan begitu besar antusiasme respon publik, membuat kita memikirkan ulang tentang cara memandang realitas dan fantasi itu. Mungkin argumen ini berlebihan, tapi media sosial yang mewakili jumlah publik yang terhubung langsung ke tontonan itu, membuktikan sebuah "kebenaran" yang lain.

Memang harus diakui "kekuatan lainnya" adalah bahwa film ini dilatarbelakangi kisah hidup Eka Nur Prasetyawati, atau yang lebih dikenal sebagai Mommy ASF, sang penulis sekaligus "pemeran" dalam dunia nyata yang ditulis dan diadaptasi dalam film. 

Tentang "kekuatiran" yang berlebihan atas penggambaran visual dengan ide yang sangat "kekinian sekali", perselingkuhan, pelakor (terminologi yang satu ini masih bisa diperdebatkan, karena sangat bernilai bias gender. Bagaimana jika laki yang menjadi perebut istri orang-peristor, barangkali?). 

Ternyata pemahaman tentang film sebagai karya visual unsich, bisa diterjemahkan begitu sangat realistis, menjadi potongan kehidupan nyata yang direkam kamera dan dipertontonkan ulang.

Terlepas dari pemainnya yang mumpuni dan sangat ekspresif serta menjiwai peran, tetap saja pilihan tema-isu yang jadi juaranya. "Perselingkuhan", menjadi sebuah phobia bagi keharmonisan sebuah rumah tangga dalam kekinian dunia yang serba datar. 

Dulu dunia datar, Thomas L Friedman-The World is Flat, hanya khayalan, kini perselingkuhanpun bisa dilakukan diruang private, di dalam genggaman, ketika kita sedang bersama pasangan tanpa 'siapapun" diantara mereka.

Dalam ilmu marketing,  film "layangan putus" adalah sebuah branding, ketika ia dilahirkan dan di "paksakan" menjadi sebuah "persepsi", maka branding itu dengan cepat tertangkap logika menjadi sebuah "realitas" yang harus dipercaya layaknya realitas itu sendiri, bukan pura-pura.

Selingkuh Itu Sangat Kekinian

Sinema-sinema K-pop memberi efek paling dramatis, merubah paradigma orang banyak,  ketika menjadi kiblat baru budaya populer. Romantisme, kekerasan keluarga, romantika percintaan, bahkan konflik dalam versi Korea seperti menjadi acuan. Bagaimana sebuah visual sinema di sajikan, dan bagaimana sebuah budaya dinikmati, "nyaris" sebagai realitas, seperti drama the world of the married, salah satunya.

Penonton K-pop akan menangis (bahkan menyiapkan sekotak tisu sebelum menonton drama, walaupun hanya baru mendengar sinopsisnya). Selanjutnya akan "memburu" dan mem-bully tokoh yang dianggap antagonis atas tokoh protagonis yang diidolakan. 

Bahkan dunia bereaksi ketika sejarah "dibelokkan" oleh budaya populer sinema Korea, seperti sedang mengkritisi sejarah sebenarnya. Ini keajaiban, realitas sinema dunia kekinian. Persis seperti apa yang terjadi dan sedang kita rasakan ketika bicara tentang "layangan putus".

Dengan dunia yang semakin tak berbatas, visual juga mengalami distorsi. Orang hampir tak bisa membedakan antara fantasi dengan realitas. Karena isunya begitu, "kekinian sekali", mewakili realitas paling jamak dari kehidupan sosial saat ini.

Ketika gadget menjadi medium sangat personal, sangat individual, bahkan antara kita dengan pasangan, betapapun kita sangat menyayangi dan mencintainya. Seperti halnya Aris dan Kinan. 

Tapi peduli apa publik diluar sana, atau orang ketiga yang paling ditakuti  para "penonton" layangan putus yang begitu meng-obsesi, utamanya para perempuan. Sehingga menjadi sangat protektif dan menjadi posesif, dengan pasangan paska menonton "layangan putus".

Saya benci dengan realitas ini, tapi apa mau dikata. Bahkan, seperti kata seorang sahabat kompasianer, Isur Suryati;  baca disini, nongkrong di warung kopi diikuti, di konfirmasi dengan video call, melamun dicemburui, apalagi senyum-senyum sendiri, bicara lembut di gadget itu hal paling "tabu" dilakukan paska menonton "layangan putus".

Jadi, kisah "selebriti", dalam tanda petik, pemaknaan selebriti ternyata berbalik seperti bumerang,  juga berarti kita sendiri sebagai penonton para selebriti itu. Bayangkan jika dulu kita hanya dikenal pasangan, keluarga dekat atau jauh, para tetangga, atau paling jauh teman sekantor. 

Kini wajah kita ada di ruang media sosial, yang menjangkau antero Indonesia dan dunia. Maka kita sebenarnya juga selebriti tanpa kita sadari ketika memposisikannya di ruang media. Maka di instagram lahir selebgram, bisa jadi ia bukan siapa-siapa sebelumnya, bahkan tak melalui ruang audisi, apalagi seleksi di rung khusus yang pada jaman dahulu konon harus dibayar dengan "kehormatan", entahlah.

Lantas drama-drama selebriti yang dulu hanya kita "nikmati" di ruang entertainment, di media gosip, sekarang juga bisa menghinggapi kita, sang "selebriti dunia realitas", bukan drama dan bukan sinema!.

Jadi phobia itu sekarang sedang menghinggapi para penonton yang obsesinya tak terkendali. Sebuah artikel sahabat kompasianer dengan cemerlang menggambarkan realitas itu. Fenomena yang tak disangka, dan kenapa fenomena "layangan putus" begitu sangat absurd untuk dianggap sebagai sebuah realitas biasa.

Ini adalah bagian dari "retaknya" harmonisasi yang secara perlahan melanda kehidupan kita, karena digitalisasi, karena berubahnya persepsi. Terutama dari kacamata tata nilai "ketimuran" kita.

Apalagi melihat dari sudut  pandang agama jelas memiliki cara memandang atau perspektif yang sangat dogmatis. Pasangan adalah milik pasangan, dan disana berlaku aturan, boleh dan tidak boleh.

Kita Kehilangan Logika?.

Memang harus diakui, "layangan putus" memberikan tontonan yang  menggugah kesadaran, bahkan hingga membuat realitas film menjadi seperti dunia nyata. Terutama karena pilihan sisi temanya, "perselingkuhan" sebagai realitas kekuatiran paling jamak dan rentan terjadi saat ini, ketika kecanggihan teknologi komunikasi begitu mempengaruhi persepsi kita.

Namun di luar dugaan, dari begitu banyak film serupa yang mengambil sisi "perselingkuhan" sebagai tema sentralnya, ternyata "layangan putus" memberi efek paling dramatis, dan nyaris membuat kita seperti kehilangan logika ketika menontonnya, bahwa film itu hanya sebuah "tontonan".

Tapi sekali lagi, pilihan temanya, membuat kenyataan ini menjadi begitu mudah kita terima, karena begitu masifnya kasus perselingkuhan melanda kita. Para selebriti, mempertontonkan kepada kita layaknya skenario, para elite juga tak kalah, konon lagi publik yang luas. Konten "Perselingkuhan" juga bagian dari "kecintaan" media infotainment.

Blundernya selalu dimulai dari model komunikasi yang semakin lama semakin canggih, semakin tidak bisa diukur. Bahkan gejala, permisif atau tidak dari pasangan kita sendiripun, tak bisa dijadikan indikasi. Bisa karena alasan pekerjaan, alasan pertemanan, solidaritas grup, kelompok, semuanya bisa menjadi muasal timbulnya kasus seperti Kinan dan Aris.

Film "layangan putus" mem-blow up isu "perselingkuhan" itu, menggiring persepsi kita dan membangun kesadaran baru tentang bagaimana semestinya kita berkomunikasi dengan baik dan benar, dalam keluarga, dengan pasangan kita.

Jadi kebencian saya sebenarnya karena mengapa fenomena "layangan putus" begitu "menggoda" persepsi menjadi seolah nyata. Jika kita bisa menggunakan medium film meluruskan persepsi menjadi begitu positif, maka kisah dan fenomena "layangan putus" adalah "guru yang baik" untuk kita saat ini.

referensi; 1, 2, 3, 4, 5

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun