Mohon tunggu...
Hanif Sofyan
Hanif Sofyan Mohon Tunggu... Full Time Blogger - pegiat literasi
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Buku De Atjehers series

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Demo Buruh 2022, Saatnya Pemerintah Berpihak Pada Buruh

16 Januari 2022   21:44 Diperbarui: 18 Januari 2022   20:52 398
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kedelapan;  Hari libur menjadi kebutuhan penting bagi para buruh, namun dalam Pasal 79 ayat (2) huruf (b) mengatur, para pekerja wajib diberikan waktu istirahat mingguan satu hari untuk enam hari kerja dalam satu pekan. Selain itu, Pasal ini juga menghapus kewajiban perusahaan untuk memberikan istirahat panjang dua bulan kepada pekerja yang telah berbakti selama enam tahun berturut-turut dan berlaku tiap kelipatan masa kerja enam tahun. 

Pasal 79 ayat (3) hanya mengatur pemberian cuti tahunan paling sedikit 12 hari kerja setelah pekerja/buruh bekerja selama 12 bulan penuh. Pasal 79 Ayat (4) menyatakan, pelaksanaan cuti tahunan diatur dalam perjanjian kerja antar pihak yang melakukan kesepakatan kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama. Kemudian Pasal 79 ayat (5) menyebut, perusahaan tertentu dapat memberikan istirahat panjang yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.

Kontroversi yang belum  berhenti

Sejak disahkan DPR dan Diteken Jokowi Melalui rapat paripurna Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada 5 Oktober 2020, UU Cipta Kerja resmi disahkan. Omnibus UU Cipta Kerja resmi diundangkan pada 2 November 2020 dengan jumlah halaman final 1.187 lembar. 

Hingga kini muatan dalam pasal yang "disengketakan" antara para buruh, pengusaha dan pemerintah itu belum menemukan titik temu yang "berkeadilan".

Contoh yang aktual, dalam penetapan UMP DKI Jakarta terbaru 2022 kemarin, para pengusaha mempertimbangkan kenaikan UMP atas dasar kondisi pandemi, padahal dalam perkembangannya, ekonomi sudah mulai menunjukkan tingkat perubahan terutama setelah terbukanya sekat-sekat dalam pembatasan selama pandemi.

Bagi para pekerja kondisi ini dianggap tidak adil, apalagi kenaikan UMP seperti di DKI Jakarta, sebesar 5 persen kemudian juga diikuti dengan kenaikan harga-harga sembako dan barang lainnya, termasuk gas non subsidi. 

Kenaikan UMP itu kemudian menjadi seperti tak berarti apa-apa. Karena kenaikan UMP pada akhirnya hanya untuk menambal sulam kenaikan harga barang kebutuhan sehari-hari.

Jadi jika ketidakadilan itu masih memihak pada para pengusaha, dan pemerintah, sekalipun dimaksudkan untuk tujuan-tujuan, melawan tindak koruptif, solusi satu pintu, serta meninggalkan para buruh dibelakang bisa jadi demo-demo itu akan terus berulang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun