Mohon tunggu...
Hanif Sofyan
Hanif Sofyan Mohon Tunggu... Full Time Blogger - pegiat literasi
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Buku De Atjehers series

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Bahasa Gaul Anak Jaksel, Buat Apa Dipermudah Kalau Bisa Dipersulit!

15 Januari 2022   21:26 Diperbarui: 25 Januari 2022   10:24 1011
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

reddit

kaskus.com
kaskus.com

Orang biasa menyebut fenomena bahasa gaul anak muda yang muncul dalam keseharian kita sebagai bahasa slang, bahasa alay, bahkan prokem. 

Ketika fenomena bahasa slang, Jaksel mencuat menjadi pemberitaan yang hangat di semua kalangan, sebagian orang mempersoalkan kaitan bahasa dengan kekuatiran soal eksistensi bahasa Indonesia sebagai bahasa negara yang akan tergerus atau terkikis. Sebagian orang justru berpikir bahwa fenomena itu ikut memperkaya khasanah kebudayaan bahasa yang terus berkembang mengikuti perkembangan zaman. Keduanya bisa jadi benar, tergantung sudut pandang atau  perspektifnya.

Dulu ketika bahasa slang jalanan muncul dan dikenal luas di tahun 1970-an, sebagai bahasa "Prokem", berasal dari kata "preman" dan imbuhan "ok", orang dengan segera terbelah kedalam dua barisan. 

Apalagi bahasa itu muncul dari kalangan "preman" di jalanan. Bagaimanapun daya tarik bahasa-bahasa baru sebagai wujud ekspresi kelompok itu memiliki pengaruh sangat kuat. 

Kita saja, hingga sekarang tak asing dengan istilah "Bokap" dan "nyokap", untuk menyebut padanan kata "bapak" dan "ibu atau nyonya"- kata dasar itu memiliki tambahan "ok". Bentuknya menjadi format yang kita kenal itu.

Kini fenomena itu kembali terulang dan, lagi-lagi berasal dari Jakarta. Bahwa Jakarta sebagai ibukota ternyata bukan hanya sebagai pusat negara, tapi juga episentrum tempat kelahiran-kelahiran budaya baru. 

Terlepas dari setuju atau tidak setuju, fenomena itu bergerak secara masif dan menjangkiti seluruh tanah air. Kini kita sudah mulai terbiasa dengan istilah FOMO, dan sederet kata atau frasa kata baru yang mewakili sebuah pesan dari komunitas atau kelompok. 

Bahkan jika kita merasa ketinggalan, kita justru yang mengalah untuk mencari infonya, bukan justru marah atas kehadiran istilah "aneh" baru tersebut. Setidaknya laku kita ini, menunjukkan budaya permisif kita yang mulai terbiasa setiap kali kita menemukan fenomena budaya baru. Bahkan tidak sedikit yang menyambutnya dengan suka cita dengan rasa ingin tahu yang besar.

Begitupun polemik tetap muncul atas kemunculan fenomena ini. Meskipun bukan sesuatu ayng asing dalam ilmu bahasa, dengan sebutan pencampuran bahasa seperti ini sebagai "campur kode atau code mixing". Sederhananya dipahami sebagai, penggunaan satuan bahasa dari satu bahasa ke bahasa lain untuk memperluas gaya bahasa atau ragam bahasa, di dalamnya termasuk pemakaian kata, klausa, idiom, sapaan, dan lainnya.

Sebgaian kalangan justru mencibir gaya berbahasa anak Jaksel, sebagai melecehkan bahasa negara dan tak mencerminkan nasionalisme. Penggunaan bahasa campuran semacam ini, menandakan kusutnya pikiran si penutur bahasa dan ketidakmampuan dalam menyusun kalimat. Benarkah?. Pertanyaan krusial berikutnya mengapa muncul fenomena tersebut?.

Bahasa Jaksel Muncul Sekedar Tren atau Ketidakstabilan

Apa pendapat kita jika  diberi penjelasan oleh anak Jaksel sebagai berikut;  "Keminggris" atau bahasa Jaksel is Bahasa Indonesia yang usually digunakan sama anak-anak yang tinggal dan beraktifitas di Jaksel. Literally bahasa Jaksel adalah simbol sosial dikalangan anak-anak sekolah, anak kuliahan dan pekerja which is ngantor didaerah Jaksel, yah semacam bahasa gaul lah di Jaksel, either bahasa. Bagi awam jelas ini "ancaman", dalam memahami maksudnya.

Apakah ini sebuah trens atau cara berpikir yang salah dan aneh?. Lantas mengapa fenomena ini muncul juga. Sebut saja, ini adalah wujud ekspresi identitas. Mereka sedang menyampaikan "pesan" pada khalayak, kelompok di luar generasi mereka tentang sebuah eksistensi, bahwa inilah mereka. Mereka menyadari, identitas bahasa baru ini sebagai bagian dari dinamika mereka. Meskipun mungkin dianggap sebagai sebuah cara berpikir yang aneh. Pernah dengar pameo, "jika mudah untuk apa dipersulit?".

Jelas ada "rasa bahasa" yang hilang dalam frasa baru yang terasa sangat kaku, dalam format akronim, meskipun ternyata kata baru itu bisa mewakili sebuah kompleksitas penjelasan situasi dan kondisi dengan begitu sederhananya. 

Satu contoh, kata JOMO (Joy of Missing Out), acap dianggap sebagai cara terbaik untuk mengatasi FOMO, yaitu dengan meninggalkan internet dan acuh tak acuh terhadap tren. FOMO akronim dari fear of missing out, merupakan perasaan cemas yang timbul karena sesuatu yang menarik dan menyenangkan sedang terjadi, sering disebabkan karena unggahan di media sosial. 

Dengan begitu panjang penjelasan, namun cukup hanya diucapkan atau diwakili kata "FOMO". Sekali lagi, ini menjadi salah satu bukti bahwa anak-anak milenial salah satu cirinya adalah keterhubungan dengan akses informasi, yang sangat disruptif, bergerak sangat cepat disertai perubahan yang cepat.

Mereka tak pernah mau ketinggalan, apalagi gadget berada di tangan mereka nyaris 24 jam, hanya saat tidur atau ketiduran saja mereka putus informasi. 

Bahkan jika mereka menggunakan fasilitas media sosial yang intens dalam komunikasi mereka, mereka akan mendapatkan up date informasi bahkan ketika mereka tengah tidur pulas dan bermimpi indah. 

Dengan jenaka ada yang bilang, sebelum tidur harus menyiapkan gadget tidak jauh-jauh dari mereka, agar dalam mimpi pun mereka bisa eksis.

Bahkan dalam jutaan informasi yang bersliweran dengan cepat di ruang sosial media, anak-anak milenial tetap dapat menemukan cara mengaktualkan identitas dan eksistensinya. 

Salah satu caranya adalah dengan "mengerem" kecepatan itu melalui cara sederhana, seperti menyingkat narasi panjang, menjadi format akronim, seperti FOMO, JOMO, atau kata which is, basically, literally, prefer, even, at least. Mereka mencampur aduk bahasa Indonesia dan bahasa Inggris  yang umum, seperti; "Mostly yang nanya tuh literally semua orang, like teman gue yang udah married". 

Kahadiran fenomena bahasa slang bagi anak Jaksel, selain agar tetap bisa eksis, mereka juga menawarkan sebuah identitas baru. Meskipun jika muncul pertanyaan darimana dimulai eskalasi kata slang itu berkembang hingga dikenal oleh banyak kalangan, tidak ada yang dengan tepat menyebut sumbernya, karena berkembang seiring dengan meluasnya penggunaan bahasa asing-utamanya bahasa Inggris di medsos.

Istilah bahasa Jaksel sendiri, digunakan, karena banyak anak muda yang tinggal di sekitar kawasan Jakarta Selatan (Jaksel), seringkali bicara dengan mengombinasikan bahasa Indonesia dan bahasa Inggris dalam kesehariannya.

Seperti pertanyaan seorang kompasianer asal Jaksel,  yang justru bertanya, jika bahasa itu dari Jaksel, lantas Jaksel sebelah mana?. Bisa jadi perkembangan itu bermula dari ruang sosial media. 

Dalam bahasa-bahasa komunikasi yang intens diantara kelompok-kelompok yang ada, maksudnya generasi milenial dan sesamanya. Mereka kemudian melahirkan sendiri frasa atau istilah untuk memudahkan komunikasi mereka. 

Etika Yang Terkikis

Bagaimanapun terlepas dari untung rugi soal pertentangan dengan dampak terhadap eksistensi bahasa nasional, orang sebenarnya menyimpan kekuatiran lain. Terutama soal etika kesopanan.

Jika penggunaan ragam bahasa slang itu digunakan dikalangan terbatas yang eksklusif, mungkin tidak akan menjadi persoalan, justru menjadi fenomena baru, seperti getok tular, bahasa baru dengan cepat digunakan oleh banyak orang.

Bayangkan saja jika anak-anak kita menggunakan istilah tersebut disekolah. Seperti bahasa alay atau slang yang lahir sebelumnya. Dalam sebuah diskusi, misalnya anak-anak berdebat, kemudian mereka menyampaikan argumentasi mereka dengan memulainya dengan muatan diskusi; "Begini Bu, "secara",  kami mengusulkan gagasan ini dengan mencerdasi banyak sumber bacaan jadi kami tidak hanya "omdo", tapi berbasis fakta. 

Atau anak sekolah nyeletuk kepada gurunya, dengan bahasa slang Jaksel, "Ah ibu guru FOMO, tenang, JOMO aja Bu"!. Bagi para guru yang eksistensi tidak ketinggalan, mungkin akan asyik-asyik saja. Barangkali akan berkomentar, Anjay, saya kira anak-anak cuma asbun, ternyata punya bacaan juga. Apa kata dunia?. Seolah sopan santun tercerabut dari akar budaya ketimuran kita.

Celetukan anak-anak kita ketika menjawab pertanyaan kita di rumah saja, kadang-kadang membuat kening kita berkerut dan harus meminta penjelasan, maksudnya apa?. Misalnya, ketika diberi sesuatu anak-anak menjawab singkat, "MKS-ya". 

Padahal maksudnya tidak lain dari "terima kasih ya". "Atau ayah FOMO sih", dari satu sisi, penggunaan singkatan itu menyiratkan kesan cuek, menganggap lawan bicara sebagai teman sebaya. 

Bagi kalangan milenial, hal itu sah-sah saja, bahkan menunjukkkan bahwa mereka ada dalam sebuah kelompok, generasi yang sama. Sebaliknya jika kita tidak menggunakan pakem atau langgam bahasa baru mereka, kita justru dianggap kuper-cupu alias kurang gaul.

Dalam situasi dan kondisi seperti ini kita sebagai generasi di atasnya, bisa sebagai orang tua, orang lain yang lebih tua, merasa perubahan itu punya minimal dua implikasi yang umum;

Pertama, menurunnya nilai etis, utamanya soal cara berkomunikasi mengikuti trend tapi efeknya buruk dalam budaya ketimuran kita, sebut saja tidak mencerminkan "nasionalisme" kita;

Kedua,  menurunnya keterampilan berbahasa secara formal dan pesan yang dibicarakan tidak tersampaikan. Karena model komunikasi yang dikenal dengan code mixing atau campur kode (linguistik), bicara setengah bahasa Indonesia dan setengah bahasa Inggris seperti itu, justru menyulitkan dalam komunikasi.

Kata FOMO akan lebih diingat anak-anak dalam menjelaskan tentang situasi dan kondisi ketakutan karena ketinggalan informasi di media sosial, hanya cukup dengan empat konsonan FOMO- fear of missing out. 

Mereka akan membandingkan dengan tradisi pengucapan yang baku dan standar dalam bahasa ibunya (bahasa nasional) yang dikenal sebelumnya, maupun penggunaan bahasa Inggris yang umum dengan aturan tensesnya.

Apa yang kita bayangkan ketika mendengar dialog gaya bahasa Jaksel, kurang lebih- "probably gue tuh yang kek confuse gimana ya, yang kek skeptical gitu gak sih, ya which gue masih enter sandman gitu sama info itu." 

Atau yang lebih lunak sedikit, "saya kuatir jika tidak mengikuti perkembangan informasi yang cepat berubah, nanti ketinggalan  informasi", atau "saya takut kalau nggak up date informasi nanti kudet, orang sudah kemana kita sedang dimana".  Kata kalimat panjang itu "dirubah", hanya dalam satu desah nafas- dengan frasa atau akta FOMO, dan semua orang tahu maksudnya. Ajaib bukan?.

referensi ; 1, 2, 3

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun