Salah satu caranya adalah dengan "mengerem" kecepatan itu melalui cara sederhana, seperti menyingkat narasi panjang, menjadi format akronim, seperti FOMO, JOMO, atau kata which is, basically, literally, prefer, even, at least. Mereka mencampur aduk bahasa Indonesia dan bahasa Inggris  yang umum, seperti; "Mostly yang nanya tuh literally semua orang, like teman gue yang udah married".Â
Kahadiran fenomena bahasa slang bagi anak Jaksel, selain agar tetap bisa eksis, mereka juga menawarkan sebuah identitas baru. Meskipun jika muncul pertanyaan darimana dimulai eskalasi kata slang itu berkembang hingga dikenal oleh banyak kalangan, tidak ada yang dengan tepat menyebut sumbernya, karena berkembang seiring dengan meluasnya penggunaan bahasa asing-utamanya bahasa Inggris di medsos.
Istilah bahasa Jaksel sendiri, digunakan, karena banyak anak muda yang tinggal di sekitar kawasan Jakarta Selatan (Jaksel), seringkali bicara dengan mengombinasikan bahasa Indonesia dan bahasa Inggris dalam kesehariannya.
Seperti pertanyaan seorang kompasianer asal Jaksel, Â yang justru bertanya, jika bahasa itu dari Jaksel, lantas Jaksel sebelah mana?. Bisa jadi perkembangan itu bermula dari ruang sosial media.Â
Dalam bahasa-bahasa komunikasi yang intens diantara kelompok-kelompok yang ada, maksudnya generasi milenial dan sesamanya. Mereka kemudian melahirkan sendiri frasa atau istilah untuk memudahkan komunikasi mereka.Â
Etika Yang Terkikis
Bagaimanapun terlepas dari untung rugi soal pertentangan dengan dampak terhadap eksistensi bahasa nasional, orang sebenarnya menyimpan kekuatiran lain. Terutama soal etika kesopanan.
Jika penggunaan ragam bahasa slang itu digunakan dikalangan terbatas yang eksklusif, mungkin tidak akan menjadi persoalan, justru menjadi fenomena baru, seperti getok tular, bahasa baru dengan cepat digunakan oleh banyak orang.
Bayangkan saja jika anak-anak kita menggunakan istilah tersebut disekolah. Seperti bahasa alay atau slang yang lahir sebelumnya. Dalam sebuah diskusi, misalnya anak-anak berdebat, kemudian mereka menyampaikan argumentasi mereka dengan memulainya dengan muatan diskusi; "Begini Bu, "secara", Â kami mengusulkan gagasan ini dengan mencerdasi banyak sumber bacaan jadi kami tidak hanya "omdo", tapi berbasis fakta.Â
Atau anak sekolah nyeletuk kepada gurunya, dengan bahasa slang Jaksel, "Ah ibu guru FOMO, tenang, JOMO aja Bu"!. Bagi para guru yang eksistensi tidak ketinggalan, mungkin akan asyik-asyik saja. Barangkali akan berkomentar, Anjay, saya kira anak-anak cuma asbun, ternyata punya bacaan juga. Apa kata dunia?. Seolah sopan santun tercerabut dari akar budaya ketimuran kita.
Celetukan anak-anak kita ketika menjawab pertanyaan kita di rumah saja, kadang-kadang membuat kening kita berkerut dan harus meminta penjelasan, maksudnya apa?. Misalnya, ketika diberi sesuatu anak-anak menjawab singkat, "MKS-ya".Â