Mohon tunggu...
Hanif Sofyan
Hanif Sofyan Mohon Tunggu... Full Time Blogger - pegiat literasi
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Buku De Atjehers series

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Gadget, Superkonduktor, Hingga Artileri Perang Butuh Tanah Jarang

6 Januari 2022   15:03 Diperbarui: 13 Januari 2022   23:57 449
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kebijakan itu pada dasarnya akan membuat penggunaan energi yang berasal dari bahan bakar fosil akan semakin mahal, sehingga mendorong industri dan masyarakat beralih pada energi terbarukan yang tak menghasilkan emisi karbon.

Bagi Indonesia pilihan transisi energi menjadi sebuah alternatif yang sulit untuk diabaikan. Seperti dirilis Business Times, pada tahun 2006 produksi minyak mentah Indonesia menembus titik terendah selama 35 tahun. 

Indonesia berada pada posisi dilematis, karena tetap menjadi anggota OPEC, dan keharusan membayar US$2 juta biaya keanggotaan tahunan,  namun sejak tahun 2002 tak lagi mampu memenuhi kuota produksi. 

Bahkan berbalik dari eksportir menjadi net importir migas sejak 2006, justru ketika harga minyak berada di tingkat harga tertinggi sepanjang sejarah. (thetalks.id)

Menurut Michael Backman dalam bukunya yang provokatif, Asia Future Shocks, biang keladi masalah migas Indonesia adalah tingginya konsumsi minyak domestik karena besarnya subsidi pemerintah dalam harga eceran bensin dan mitan, yang kebijakannya selalu memicu gejolak  sosial-ekonomi-politiknya.

Proses transisi itu juga mahal harganya, karena transisi dari ekonomi coklat (yang bergantung pada bahan bakar fosil) menuju ekonomi hijau (yang bergantung pada bahan bakar terbarukan) memerlukan pengembangan teknologi hijau (seperti baterai mobil, panel surya, dan penyimpanan energi) guna memanfaatkan sinar matahari, angin dan minyak nabati sebagai bahan untuk menghasilkan energi. 

Namun, proses transisinya menuntut peningkatan ketersediaan logam mineral sebagai komponen dalam pembuatan teknologi hijau sehingga dalam proses dekarbonisasi, aktivitas penambangan masih memainkan peran penting sebagai penyedia bahan baku logam mineral.

NRDC.com
NRDC.com
Memaksakan diri pada penambangan baru secara massif, justru akan memicu persoalan yang lebih rumit, karena harus mengorbankan ekosistem. Jika bertumpu pada penambangan di daratan juga akan menghadapi kendala pertentangan yang pasti tidak mudah. 

Namun jika sepenuhnya mengandalkan ekplorasi penambangan mineral di wilayah dasar laut, juga sangat riskan, karena meskipun memiliki kandungan mineral yang tinggi, namun dampaknya belum dapat dipediksi secara pasti karena banyaknya species yang belum teridentifikasi yang dapat merusak ekosistemnya. (Kompas; 6/7/2012).

Aktifitas ekplorasi dapat menyebabkan gangguan terhadap mikroba yang memiliki kemampuan menyerap CO2 akibat kegiatan penambangan yang dikuatirkan justru akan melepas CO2 ke atmosfer dan akan  menganggu rantai pasokan makanan bagi ekosistem laut, yang justru akan memicu kenaikan karbon.

Energi Alternatif Dan Logam Tanah Jarang

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun