Mohon tunggu...
Hanif Sofyan
Hanif Sofyan Mohon Tunggu... Full Time Blogger - pegiat literasi
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Buku De Atjehers series

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Mengapa Banyak Resolusi Kita Selalu Gagal?

1 Januari 2022   22:31 Diperbarui: 2 Januari 2022   14:51 778
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tahun 2022 sudah mulai dijalani, tapi resolusi masih belum pas. Tahun kemarin, resolusi ingin perut berpostur sixpack, baru berjalan dua bulan, kembali ke bentuk asal one-pack, resolusi dicoret-gagal total. 

Bagi banyak orang resolusi itu penting, sebagai cara memotivasi diri agar menciptakan sebuah perubahan. Kenapa tahun baru dipilih? Orang senang menstimulasi dirinya untuk kebaikan melalui sebuah momentum, sebagai sebuah alasan untuk memulai sesuatu yang baru, dengan harapan baru. 

Namun, resolusi kemudian hanya menjadi sebuah formalitas bagi banyak orang, sehingga banyak yang gagal ketika mengeksekusi dalam kesehariannya. Apalagi, tingkat keberhasilan sebuah resolusi, menurut referensi yang pernah saya baca, rerata hanya 28 persen. Artinya 78 persen resolusi plus pencipta resolusi gatot-gagal total.

Maka tahun 2021 kemarin, khusus untuk membuat resolusi anti gagal, saya berusaha mengorek beberapa bacaan. Resolusi itu jadi semacam "pilot project", di-jalani, di-evaluasi, dan di-revisi hingga akhir tahun 2021 kemarin. 

Kongkritnya, kita harus bisa mengukur resolusi dengan indikator yang kita ciptakan sendiri. Jika terlalu "lebar" rencananya dikuatirkan hanya akan tinggal menjadi rencana. Akan lebih baik, jika resolusi bisa diukur dan dilakukan sebagai aktifitas sehari-hari wajar dan rutin.

Mengapa Resolusi Gagal?

Jika sebuah resolusi begitu sulit, mungkin akan berhasil jika kita jadikan semacam "dogma" yang jika dilanggar akan dapat karma? Tapi, untuk apa membuat resolusi, jika kita disusahkan oleh resolusi ciptaan kita sendiri?

Padahal resolusi itu tak perlu harus bikin koprol kepala. Misalnya, resolusi rencana diet ketat! Tak perlu dipaksakan, makan harus diatur, jumlah kalori ditimbang, makan malam ditiadakan, makan di hari tertentu di ganti buah, setelah makan olah raga, minum obat pengenyang agar tidak rakus makan, kurangi ngemil.

Bukan berhasil, justru dalam sebulan saja, kerja keras tidak berguna, badan kurus, pikiran keruh, bawaannya marah, depresi, karena makan dengan uang sendiri-pun harus dibatasi oleh resolusi buatan sendiri.

Menurut Richard Wiseman, seorang psikolog dari University of Hertfordshire, bahwa sekitar 78 persen dari 700 orang yang pernah disurveinya gagal dalam mewujudkan resolusinya. Apakah kita termasuk dalam 78 persen, pencipta resolusi bagi diri sendiri yang gagal?

Apakah kegagalan itu karena kita sendiri sebagai inisiator, sekaligus pelaku dan pengawas? Sehingga punisment sangat fleksibel dan bebas, bahkan jika perlu dilanggar?

Resolusi Kolaborasi Anti Gagal

Pengalaman resolusi gagal, akhirnya harus saya gunakan tips dengan langkah-langkah sederhana sebagai resolusi 2021 kemarin, dengan catatan, kunci utamanya tetaplah komitmen dan konsistensi serius. Kedisiplinan sesuatu yang "berat" sehingga harus disiasati dengan cara yang tepat, saya gunakan lima langkah sederhana. 

Resolusi harus dibarengi komitmen, konsistensi dan PDCA- Plan-Do-Check-Action, agar tidak menjadi resolusi formalitas belaka.

Langkah ini bahkan saya gunakan bersama anak-anak. Mereka juga akan membuat resolusi versi sendiri dengan langkah-langkah mudah dan sederhana. Bahkan jika anak kita berkeinginan membuat sebuah karya seperti buku populer, "Kecil-Kecil Punya Karya", bukan sesuatu yang mustahil. Sebagai orang tua kita bisa bertindak sebagai motivator dan evaluator sekaligus. 

Bahkan kami juga punya resolusi kolaborasi dengan anak sehingga bisa saling mengingatkan ketika menjalaninya. Bukankah itu sebuah gagasan yang seru, untuk membuat sebuah perubahan positif?

Kebiasaan ini akan menjadi pembelajaran bagi anak untuk melakukan perubahan positif sejak dini. Bukan tidak mungkin ini menjadi semacam "pemetaan" bagi cita-cita dan rencana masa depannya dengan bantuan dan bimbingan kita. Caranya, buat semua mudah dan sederhana; 

Break-Down Biar Lebih Mudah 

Rencana besar dipecah menjadi rencana kecil yang mudah dilakukan dan bisa dilakukan secara konsisten setiap hari. Ketika kita merencanakan membuat buku, jika hanya diniatkan membuat buku, belum tentu akan berjalan lebih baik. Rencana harus dimulai dari membuat konten buku setiap hari. Satu artikel sehari. Dibuat di pagi hari setelah selesai olahraga, mandi dan sarapan kala libur, atau di kantor kala break, sebelum pulang. 

Dalam sebulan, minimal 30 tulisan siap. Sehingga ketika kita memutuskan membuat buku 200-300 halaman, dibutuhkan waktu tiga bulan dengan konsistensi menulis. Dengan kata lain kita harus membuat "rencana harian". Untuk rencana ini, meski tak berhasil 100 persen, saat ini cover, editing sedang dalam proses sambil menunggu ISBN.

Cobalah Ganti Hukuman dengan Reward

Selama ini, barangkali kita akan menghukum diri sendiri jika gagal resolusinya. Ketika kita memberi hukuman ternyata justru tidak memotivasi, tapi membuat semangat turun.

Bayangkan jika rencana kita berhasil membuat satu artikel setiap hari, kemudian kita memanjakan diri dengan jalan-jalan ke toko buku cari inspirasi, mengganti suasana menulis di kafe favorit. 

Atau mengajak temu teman dengan passion sama dan bercerita tentang ide buku, akan menstimulasi pikiran dan mood menjadi lebih "gila" lagi dalam menulis.

Semakin banyak artikel bisa di tulis dalam sehari, manjakan dengansecangkir kopi spesial, atau nasi goreng spesial pesanan online. Mengapa tidak?

Curi Ilmu dari Teman yang Sukses

Diantara teman kita pasti ada yang punya passiopn yang sama dengan kita, dan bisa jadi mereka lebih duluan berhasil dari kita, sehingga ada pembelajaran yang bisa kita ambil. Kata pepatah, "jika kita berteman dengan penjual parfum kita akan dapat wanginya". Barangkali terjemahan filosofinya sederhananya, seperti ketika kita berteman dengan orang yang berhasil, kita bisa jadi akan ketularan keberhasilannya. 

Gunakan kesempatan bertemu dengan penulis yang telah berhasil, untuk bertanya tentang kiatnya menghasilkan buku. Saat ini bahkan kita mendapatkan banyak kemudahan melalui webinar, seperti yang dilakukan para penulis Kompas, yang rutin melakukan komunikasi dan sharing, meski saat ini sesinya telah berakhir.

Berusaha Tetap Fokus pada Tujuan

Bayangkan jika dalam 3 bulan rencana menerbitkan buku itu berhasil, maka ketika berkunjung ke Gramedia, tidak hanya melihat buku orang, tapi juga melihat buku karya sendiri. Dalam kesempatan event, bisa berpameran, bukan tidak mungkin tanda tangan kita akan di minta orang. 

Imajinasi itu akan menstimulasi rencana kita menjadi kenyataan. Makin cepat selesai, akan makin cepat kebanggaan yang bisa diraih. Fokus itu akan membantu kita tetap konsisten pada rencana resolusi kita.

Tinggalkan Catatan untuk Setiap Pencapaian

Bahkan keberhasilan sebulan penuh bisa menulis 30 artikel adalah pencapaian yang harus dirayakan. Karena itu artinya waktu kita akan semakin dekat dengan penerbitan buku, dan akan semakin cepat kita melihat buku kita bertengger di toko buku. Catatan kecil itu adalah bentuk evaluasi kita. 

Sudah berapa jauh rencana berjalan, dan berapa lama lagi kita akan menyelesaikan setiap resolusi yang kita buat. Catatan itu juga berfungsi sebagai pengingat tentang rencana dan komitmen kita terhadap resolusi kita.

Untuk tahun ini cobalah untuk "berdamai" dengan resolusi kita sendiri dengan membuatnya semakin mudah dilakukan, menjadi bagian dari aktifitas harian, dan bisa kita nikmat setiap tahapan pencapaiannya, sehingga, akan menjadi stimulan untuk berhasil.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun