Saya jadi teringat dengan sinetron. Seperti yang sering kita lihat di sinetron serial Preman Pensiun, dunia terminal, transportasi umum, dunia sopir, kenek dan seterusnya ternyata tidak bisa lepas dari hubungan erat, tapi bukan simbiosis mutualis dengan "dunia gelap"-untuk menjelaskan sebuah sistem manajemen yang meskipun resmi sekalipun, tapi di jalankan dengan sistem layaknya jaringan penuh KKN.
Siapa yang masuk harus ikut aturan atau harus memberi kompensasi lebih, untuk dapat fasilitas khusus. Tidak ada istilah gratis disana, karena ada kekuasaan yang bermain. Itulah sebabnya dalam ketidaknyamanan dan ketidakdapastian mereka bertahan bekerja demi sesuap nasi dan bisa survival. Ujung-ujungnya, merusak komitmen, fokus kerja dan manajemen tata kelolanya, sehingga realitas kecelakaan-kecelakaan tunggal yang terjadi, setidaknya berkorelasi dengan masalah tersebut.
Publik banyak  tidak tahu dan tidak menyangka, bahwa jalur bebas hambatan busway, ternyata  ada harga yang harus dibayar untuk menggunakannya, mekanisme pengelolaannya juga tidak sepenuhnya benar. Lain lagi kasusnya soal jam kerja. Idealnya setiap sopir bekerja maksimal 8 jam per hari. Jadi, setiap empat jam, sopir semestinya istirahat dulu sebelum kembali bekerja mengangkut penumpang. Tapi bagaimana realitasnya?.
Mereka mengoperasikan bus-bus yang berbeda sesuai dengan instruksi manajemen. Di satu sisi, ini juga tidak positif karena pramudi atau sopir biasanya memahami bus yang menjadi miliknya, tidak diganti-ganti. Kecuali jika secara manejemen dilengkapi sistem yang dapat menganalisa kondisi setiap busway dengan tepat dan akurat. Mengapa?, jika terdapat kelemahan mereka memahami dalam pengambilan solusinya dengan cepat. Karena beda cara mengemudi saja akan berbeda pengaruh pada tingkat kerusakan mesin buswaynya.
Ternyata tidak mudah bekerja sebagai pramudi bus dari perusahaan transportasi milik daerah itu. Tanggung jawab besar dengan jam kerja yang kadang dianggap kurang  manusiawi, tak sedikit membuat para kerja kelelahan menjalani rutinitas setiap hari. Rutinitasnya terkadang bisa sampai 10 sampai 12 jam.
Jika melawan, maka akan ada konsekuensi yang harus ditanggung. Kesalahan sekali saja, meskipun kecil, dampaknya besar, bahkan bisa sampai dikeluarkan, bahkan hanya atas dasar rasa tidak suka secara pribadi. Bisa saja dari semula pekerja on board, posisinya berubah menjadi tukang cuci mobil. Pemindahan dilakukan tanpa penjelasan  sebagai bentuk rasa keadilan dan sebuah sistem manajemen yang baik.
Ternyata bersetelan jas necis cuma bisa membuat stigma beda dari penampilan saja, mewakili sebuah pekerjaan yang nyaman, tapi sebenarnya mereka tak langsung bisa bangga. Semuanya sekedar penampilan, ternyata nasib dibelakangnya tak serapi penampilan jas necis mereka. Bahkan jika sempat mampir ke lokasi mereka mangkal di gudang busway, setelah necis mereka kadang-kadang tidak matching dengan kendaraan pribadi yang mereka miliki, seperti sepeda motor butut.
Mereka bekerja nyaris mirip robot, karena mereka harus selalu tersenyum, sekalipun sedang dalam tekanan kerja. Apalagi pekerja yang langsung berhadapan dengan penumpang. Sesusah apapun, kenyataanya tetap harus berusaha ramah. Kebosanan, dengan jam kerja yang mudah berubah ritmenya.
Masa depan  "gelap"
Dalam sebuah berita media, seorang pekerja pelayan di dalam busway, pernah benar-benar berdiri selama 12 jam tanpa duduk hanya untuk menjaga pintu bus yang terbuka dan tertutup. Tekanan itu diperparah dengan ketidakpastian status pekerja kontrak mereka yang diperpanjang setiap tahunnya. Sehingga mudah mengalami tekanan dari tindak pengelola manajemen yang buruk.
Meski telah bekerja bertahun-tahun, impian menjadi tenaga tetap masih saja jauh dari panggang. Realitasnya Karyawan PT TransJakarta masih menunggu keputusan manajemen tentang berbagai tuntutan mereka soal kesejahteraan, termasuk pengangkatan sebagai pegawai tetap.