lupadaratan.com
Dulu, ternyata kopi bukanlah barang penting, sepenting rempah-rempah yang harus diambil dengan bertumpah darah. Tapi lambat laun, ketika rempah kehilangan pamor, kopi justru digjaya. Â Bahkan hikayat era para Sultan tak mencatat sejarahnya. Tapi kini kopi seperti mesin pemutar sejarah, menyulap tradisi, menjadi bukan apa-apa.
Sebuah catatan potongan sejarah menulis,  Diplomat kawakan Agus Salim pernah membikin sedikit kegemparan dalam sebuah jamuan diplomatik di London, lantaran musabab kretek, seperti dinukilkan dalam catatan Mark Hanusz ; Kretek, The Culture and Heritage of Indonesia's Clove Cigarettes. Bayangkan jika "kopi" yang menjadi inti kegemparan, bisa jadi nilai  kopi Indonesia akan melejit. Â
Ketika itu, komoditas kopi memang belum menjadi "product for future" seperti kata Pemerintah Belanda di tahun 1933 ketika membuka 13.000 hektar lahan di Takengon. Karena sembilan tahun sebelumnya di tahun 1924, Belanda dan investor Eropa memulai babak baru menjadikan tanaman kopi, teh dan sayuran sebagai komoditas unggulan.Â
Terutama ketika antara tahun 1925-1930 Kampong Belang Gele menjadi sentra kebun kopi, sebagaimana dicatat John R. Bowen, dalam "Sumatran Politics and Poetics, Gayo History 1900-1989".
Sebuah Kilas Balik
Dalam babak sejarah Aceh yang jauh lebih tua umurnya-pun tak ada catatan yang spesifik, baik dalam kunjungan Ibnu Battuta di tahun 1345 ketika era Sultan Malik az-Zahir maupun lawatan Marcopolo di tahun 1293 yang dinukilkan dalam "Hikayat Raja-raja Pasai" yang menceritakan tentang kopi sebagai komoditas unggulan.(Ross.E.Dunn; 2011;xii).
Bahkan ketika menelisik urutan varietas kopi unggulan dunia, Kopi Gayo belum masuk dalam urutan daftar tersebut. Sebuah literasi hanya menyebutkan Kopi Kolombia (Colombian coffe) yang dikenal sejak 1800, meliputi  kultivar Maragogype, Caturra, Typica dan Bourbon yang menguasai 12 persen kopi dunia, kedua setelah Basilia.Â
Berikutnya Colombian Milds, Costa Rican Tarazzu, Guatemala Huehuetenango, Ethiopian Harrar, Ethiopian Yirgacheffe, Hawaiian Kona coffee, Jamaican Blue Mountain Coffee, Java coffee hingga Sumatera Mandheling dan Sumatera Lintong. (Redaksi Health Secret;2012; 9).
Sialnya lagi, merk Kopi Gayo ternyata telah 'dibajak' dan terdaftar dalam undang-undang Belanda atas nama Holland Coffe yang melarang siapapun menggunakan kata "Gayo" pada merek kopinya. Saat ini indikasi Geografis Indonesia belum ada yang terdaftar di Uni Eropa, bahkan satu pengusaha Eropa mendaftarkan "Gayo Mountain Coffee" sebagai merek dagang mereka, namun karena bertentangan dengan hukum sejak 2010 trademark tersebut telah dicabut.Â
Padahal Indikasi Geografis Indonesia seperti "Arabica Coffee Gayo" (Kopi Gayo), "White Pepper Muntok" (Lada putih), dan "Carving Furniture Jepara" (kerajinan ukir) memiliki nilai lebih yang dapat memenuhi pasar Eropa yang memiliki lebih dari 500 juta penduduk dan pendapatan per kapita 25.000 dollar AS. (antaranews.com). Konon lagi Indonesia adalah negara peng-ekspor biji kopi keempat terbesar dunia dan Aceh memasok 40 persen kopi Arabica premium Indonesia.
Tak banyak gambaran tentang kopi di era lama dengan latar belakang kultural yang bersifat trans-hemisferik (tinjauan berdasarkan belahan bumi) mengenai kopi Aceh itu sendiri yang kemudian menjelaskan bagaimana Arabica dan Robusta menjadi pilihan komoditas dan memiliki wilayah tumbuh ideal masing-masing sesuai kemampuan tumbuhnya. Karena sejarah mencatat sejak jaman kesultanan Aceh Darussalam, selain padi, tanaman Lada merupakan komoditas utama, bukan kopi.Â
Tome Pires (1512-1515) mencatat pelabuhan Pidie dan Pasai memperdagangkan komoditas lada hingga 2.718 ton (atau 16.000 bahar dalam ukuran ketika itu) per tahunnya, sehingga mencatatkan Aceh sebagai produsesn utama lada dunia. Dan panjangnya sejarah perang hingga tahun 1942 kemudian menenggelamkan kejayaan lada sebagai komoditas utama. Sedangkan kopi baru diinisisi Belanda di tahun 1908 dengan memilih menanam kupi Arabica di Utara Danau Lut Tawar, dan utamanya di dataran tinggi Gayo. (tengkuputeh.com)
Sementara kopi robusta tumbuh subur di area Kabupaten Pidie (Tangse dan Geumpang serta Aceh Barat). Tak ada batasan soal penanaman, bahkan Belanda memerintah masyarakat sendiri mengkonsumsi kopi jenis robusta, sedangkan Arabica dikonsumsi dan diekspor oleh Belanda. Kondisi ini menyebabkan kopi begitu cepat berkembang karena mendapat respon positif dari semua orang terutama di Kampong Belang yang menjadi sentra kopi yang terkenal hingga sekarang sebagai penghasil kopi dengan kualitas prima.Â
Apalagi tak banyak debat soal baik-buruk kafein kopi, sehingga tak harus membuat larangan  layaknya catatan peringatan di kemasan rokok di Italia-'vietato a minori' (dilarang untuk anak-anak di bawah umur). Sejak tahun 1925-1930 setidaknya terdapat empat kampong di Belang Gele yang menjadi sentra kopi Arabica, Kampong Belang Gele, Paya Sawi, Atu Gajah dan Pantan Peseng.
Budaya dan kopi
Dalam urusan ngopi, Aceh punya pameo, "semua bisa selesai diwarung kopi".Tentu saja pemeo itu 'dalam' sekali. Artinya warung kopi seolah menjadi ruang pusaran mereduksi dan merekonstruksi berbagai masalah sosial, ekonomi hingga politik menjadi lebih sederhana. Sesederhana dialog iklan bapak dan anak gadisnya yang dilarang menghadiri konser dan seketika si ayah berubah pikiran lantaran meneguk segelas air yang dibubuhi teh wangi.
Kopi tidak lagi sekedar menjadi medium perkembangan tradisi dan budaya, namun kupi juga bisa bermakna politis alias "Kopi politik atau politik kopi. Bahkan tak jarang para petinggi kelas eksekutif memanfaatkan warung kopi sebagai ruang mediasi, menemukan cara penyetaraan, ketika pemimpin duduk sebangku dengan rakyat kecil dan sama-sama menikmati kopi sambil berdialog. Sesederhana apapun, tetap saja dialog itu bernilai politis karena yang hadir para petinggi nanggroe.
Bahkan dalam beberapa kesempatan, penulis juga menikmati narasumber gratisan ketika mengunjungi warung kopi, sekedar debat kusir atau bahkan ketika politisi menyampaikan visi terselubung, budayawan mengekspresikan cita rasa seni, atau sekedar mahasiswa dan pegawai kantoran menikmati rehat melepas penat, bahkan kalangan perempuan yang dahulu tak pernah menjadi bagian dari warung kopi.Â
Maka budaya "minum kopi" menjadi makin kompleks, terutama ketika budaya melebar dari batasan-batasan tradisi, sehingga kelas atas-bawah, perempuan-laki-laki, profesional dan amatiran berkumpul dalam 'ekosistem kopi' yang sama.
Tanpa disadari warung kopi telah jauh berubah, bahkan menjadi ruang perubahan, lepas dari salah benar. Ketika menyoroti hal ikhwal dimulainya perubahan, sejak tsunami, para pendatang membawa kebudayaan baru dalam menikmati kopi. Menjadikan kopi sebagai medium berbagi informasi, melepas penat rutinitas, menikmati kopi itu sendiri atau sekedar konkow biasa.Â
Jika di abad ke-19 masyarakat Aceh tidak mengenal kopi dan di akhir abad ke-20 masih sebatas produsen utama kopi, mengingat Aceh memiliki bentangan kebun kopi seluas kurang lebih 94.500 hektar; 48.500 hektare (Aceh Tengah), 39.000 hektar (Bener Meriah) dan 7.000 hektar (Gayo Lues) yang menghasilkan tak kurang dari 50.774 ton pertahun, maka di abad ke-21 kopi telah menjadi budaya dan gaya hidup. (tengkuputeh.com).
Seiring perubahan itu bermunculan kopi kelas premium yang memanjakan penikmat kopi. Meskipun tidak ada yang memaksa namun seiring waktu, kupi menemukan kelasnya yang baru. Menikmati kopi tidak melulu soal tradisi dan cita rasa, namun kini juga telah menjangkau 'kalangan baru' generasi Y. Gambaran stereotif kopi adalah minuman kalangan tua telah jauh terlewatkan. Justru kalangan tua terpinggirkan dan tetap menikmati kelasnya sendiri di warung kopi semula kampungnya sendiri.
Sedikit dari gambaran warung kopi jaman dulu, mungkin masih terlihat di kawasan Beurawe, yang masih membiarkan tampilannya seperti masa lalu. Mengunggulkan cita rasa tanpa peduli pernak-pernik dan polesan yang mengharuskannya tampil seperti sebuah kafe jaman now. Mungkin tak pernah terpikirkan bahwa pada akhirnya kopi harus punya kelas klasik alias reguler dan kelas premium.Â
Maka beberapa produsen kopi menambahkan warung-warung premiumnya  tidak saja sebagai bentuk daya tarik baru kopi yang telah menjadi gaya hidup namun juga menghadirkan kopi sebagai 'pembeda' gengsi semacam kasta jika tidak berlebihan. Sementara di sisi lain kota, tumpukan kubus container yang membentuk bangunan kafe kopi mungkin tak terpikirkan sebelumnya di era ketika ulhee kareng masih merajainya dengan warung kopi beratap daun rumbia.
Kini kafe-kafe dengan nama-nama jadul justru muncul menjadi ikon baru tak melulu nama-nama barat yang disandangkan pada papan nama warung kopi. Secara fisik warung kopi telah mengalami metamorfosa sehingga membuat panoramik fasad-fasad kafe mencerminkan sebuah perubahan budaya dalam menikmati kopi tapi tidak dengan tradisi minum kopi itu sendiri. Kafe kopi kini makin instagramable. Jika dulu kawasan Beurawe, Ulhee kareng menjadi sentra warung kopi, seiring perluasan kota, Kampong Pineung, Batoh, Pango telah menjadi sentra baru melengkapi sebutan kota 1000 warung kopi.
Kopi posmo
Kopi juga membawa pengalaman sosial dan persepsi kultural yang kaya dan beragam. Ketika mencoba menyerempet perubahan dan gejalanya sebagai bagian dari perubahan generasi posmo. Tentu kita tak akan membahasnya secara teoritis meski harus diakui dibutuhkan penyamaan visi untuk melihat sudut pandang agar seiring jalan dalam memahami perubahan dan makna di dalamnya. Seperti halnya David Graffin, yang melihat gejala postmodernisme sebagai sebuah 'koreksi' atas beberapa aspek dari modernism.
Postmodernisme dibedakan dengan postmodernitas, jika postmodernisme lebih menunjuk pada konsep berpikir. Sedangkan postmodernitas lebih menunjuk pada situasi dan tata sosial sosial produk teknologi informasi, globalisasi, fragmentasi gaya hidup, konsumerisme yang berlebihan, deregulasi pasar uang dan sarana publik, usangnya negara dan bangsa serta penggalian kembali inspirasi-inspirasi tradisi. Hal ini secara singkat sebenarnya ingin menghargai faktor lain (tradisi, spiritualitas) yang dihilangkan oleh rasionalisme, strukturalisme dan sekularisme. (wikipedia.org)
Setidaknya kita melihat dalam bidang kebudayaan yang diajukan Frederic Jameson, bahwa postmodernisme bukan kritik satu bidang saja, namun semua bidang yang termasuk dalam budaya. Ciri pemikiran di era postmodern ini adalah, pluralitas berpikir dihargai, setiap orang boleh berbicara dengan bebas sesuai pemikirannya. Postmodernisme menolak arogansi dari setiap teori, sebab setiap teori punya tolak pikir masing-masing dan hal itu berguna.Â
Bagian penting ini yang menandai berbagai perubahan mendasar, untuk melihat bagaimana kebudayaan baru menikmati kopi berimplikasi lebih jauh dari sekedar sebuah ruang kulinari. Lebih dari itu godaan perubahan budaya yang memudar juga berjalan beriring bersamanya. Sehingga ketika berbicara tentang kopi, tradisi dan budaya menjadi tidak lagi sesederhana menikmati secangkir kopi biasa.
Dari sisi berbeda Eagleton menyoroti postmodernisme sebagai upaya mewarisi kritik yang mengambil jarak atas modernism. Sedangkan dari avant-garde, mencoba memecahkan masalah kehidupan sosial budaya, menolak tradisi, dan sebagai oposisi "high culture".
Begitupun dengan segelas kupi, juga menjadi bagian dari koreksi atas modernisme menjadi postmodernitas. Fragmentasi gaya hidup, keluaran produk tehnologi informasi, konsumerisme beradu vis a vis dengan tradisi dan spiritualitas. Utamanya dalam kaitan syariah. Pengalaman sosial dan persepsi kultural 'minum kopi' menjadi jauh lebih kompleks. Jika modern hanya sekedar perubahan penampakan fisik, sehingga seringkali menimbulkan benturan dengan tradisi dan kultur tradisional.Â
Dalam postmodernitas perubahan gejala itu coba direduksi, bahkan hingga urusan fragmentasi gaya hidup, konsumersisme yang berlebihan, hingga penggalian kembali inspirasi-inspirasi tradisi menjadi kaji pembahasan. Termasuk interpretasi skeptis terhadap budaya di dalamnya. Ketika menikmati segelas kopi posmo, kita berharap tak akan keblablasan dalam menikmati kebudayaan baru, menikmati kopi.
Wajar jika muncul benturan lantaran kekuatiran perubahan tradisi dan kultur. Utamanya kalangan tua muda, kalangan tradisional-modern maupun yang lebih spesifik kalangan agamawan dan 'abangan' (meminjam istilah untuk merujuk kelompok yang menggunakan agama menjadi semacam ritual belaka ).
Dalam tradisi minum kopi di Aceh, perempuan terpisah secara parsial dari ruang simbol maskulinitas, karena minum kopi identik dengan dunia kelelakian. Sementara perempuan mendominasi urusan domestik. Namun perubahan dramatis paska tsunami 2004, ketika kunjungan ribuan relawan yang membawa latar belakang budaya yang berwarna memberi nuansa baru. Lepas dari debat positif-negatif, warung kopi ketika itu menjadi ruang kerja, semacam kantor jalanan, rapat, report dan raport bisa dilakukan bersamaan di ruang yang sama, siang-malam. Kebiasaan itu kemudian terbawa menjadi budaya permisif.
Meskipun seperti melawan kultur, ketika 'aktifitas emergency' dibutuhkan untuk kemaslahatan dalam kerangka Rehabilitasi dan Rekonstruksi paska bencana, maka menjadi sah pada awalnya. Maka gejala permisif itu menguat dan menjadi sebuah budaya baru. Bahwa perempuan dalam konteks belajar, bekerja 'berhak' mengisi ruang-ruang "maskulinitas" menjadi wilayahnya juga, termasuk di malam hari. Konon lagi ketika perkuliahan mengharuskan para peserta didiknya berkutat lebih dekat dengan fasilitas tehnologi informasi seperti internet yang tak semua bisa dijangkau secara personal, maka warung kopi menjadi pilihan.
Redanya konflik yang berkepanjangan, juga menjadi stimulan munculnya geliat konkow di warung kopi, sehingga itidak sekedar menikmati paskapanen di pinggiran pematang sawah, namun juga kesempatan silaturahim, bersosialisasi, bahkan mungkin menyembuhkan luka traumatik paska konflik. Sehingga ketika tradisi minum kopi diyakini juga menjadi bagian atau simbol dari kebebasan maka minum kopi menjadi gaya hidup tidak lagi sekedar kebutuhan. Konflik panjang telah menyita semua jenis kebebasan, termasuk menikmati secangkir kupi di malam hari , ketika jam malam meski tidak secara de facto diserukan tetapi setiap orang tak mau menjadi martir sia-sia gara-gara peluru tak bermata.
Maka seperti sebuah mata pisau, bagaimana menikmati secangkir kopi sangat tergantung personalnya, dibutuhkan kehati-hatian karena ruang tradisinya masih dalam perdebatan yang melibatkan banyak kalangan dengan persepsi yang berbeda dalam menilai benar salahnya. Maka reduksi benturan dalam konteks perubahan dan fragmentasi gaya hidup, konsumersisme yang berlebihan, hingga penggalian kembali inspirasi-inspirasi tradisi menjadi sisi yang sensitif untuk diperhatikan dalam perubahan budaya menikmati kopi di kafe-kafe cosmopolitan kita.
Seiring waktu tradisi minum kopi mungkin tidak lagi sederhana, bukan sekedar tentang cita rasa, namun tentang bagaimana menerima tantangan perubahan budaya baru dalam menikmati kopi, agar tidak hanyut di dalamnya. Tentang bagaimana mereduksi perubahan budaya agar tidak mencederai tradisi, pilihan-pilihan kita bersyariah.Â
Karena pada akhirnya warung kopi menjadi semacam "simbol" perubahan atas Aceh dengan segala konsekuensinya karena terbebasnya sekat-sekat pembatas yang menempatkan warung kopi dan budaya minum kopi berada dalam situasi transisi yang juga mencemaskan. Utamanya ketika minum kopi beralih fungsi dari sekedar menikmati kulinari menjadi simbol gaya hidup baru yang keblablasan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H