Dalam postmodernitas perubahan gejala itu coba direduksi, bahkan hingga urusan fragmentasi gaya hidup, konsumersisme yang berlebihan, hingga penggalian kembali inspirasi-inspirasi tradisi menjadi kaji pembahasan. Termasuk interpretasi skeptis terhadap budaya di dalamnya. Ketika menikmati segelas kopi posmo, kita berharap tak akan keblablasan dalam menikmati kebudayaan baru, menikmati kopi.
Wajar jika muncul benturan lantaran kekuatiran perubahan tradisi dan kultur. Utamanya kalangan tua muda, kalangan tradisional-modern maupun yang lebih spesifik kalangan agamawan dan 'abangan' (meminjam istilah untuk merujuk kelompok yang menggunakan agama menjadi semacam ritual belaka ).
Dalam tradisi minum kopi di Aceh, perempuan terpisah secara parsial dari ruang simbol maskulinitas, karena minum kopi identik dengan dunia kelelakian. Sementara perempuan mendominasi urusan domestik. Namun perubahan dramatis paska tsunami 2004, ketika kunjungan ribuan relawan yang membawa latar belakang budaya yang berwarna memberi nuansa baru. Lepas dari debat positif-negatif, warung kopi ketika itu menjadi ruang kerja, semacam kantor jalanan, rapat, report dan raport bisa dilakukan bersamaan di ruang yang sama, siang-malam. Kebiasaan itu kemudian terbawa menjadi budaya permisif.
Meskipun seperti melawan kultur, ketika 'aktifitas emergency' dibutuhkan untuk kemaslahatan dalam kerangka Rehabilitasi dan Rekonstruksi paska bencana, maka menjadi sah pada awalnya. Maka gejala permisif itu menguat dan menjadi sebuah budaya baru. Bahwa perempuan dalam konteks belajar, bekerja 'berhak' mengisi ruang-ruang "maskulinitas" menjadi wilayahnya juga, termasuk di malam hari. Konon lagi ketika perkuliahan mengharuskan para peserta didiknya berkutat lebih dekat dengan fasilitas tehnologi informasi seperti internet yang tak semua bisa dijangkau secara personal, maka warung kopi menjadi pilihan.
Redanya konflik yang berkepanjangan, juga menjadi stimulan munculnya geliat konkow di warung kopi, sehingga itidak sekedar menikmati paskapanen di pinggiran pematang sawah, namun juga kesempatan silaturahim, bersosialisasi, bahkan mungkin menyembuhkan luka traumatik paska konflik. Sehingga ketika tradisi minum kopi diyakini juga menjadi bagian atau simbol dari kebebasan maka minum kopi menjadi gaya hidup tidak lagi sekedar kebutuhan. Konflik panjang telah menyita semua jenis kebebasan, termasuk menikmati secangkir kupi di malam hari , ketika jam malam meski tidak secara de facto diserukan tetapi setiap orang tak mau menjadi martir sia-sia gara-gara peluru tak bermata.
Maka seperti sebuah mata pisau, bagaimana menikmati secangkir kopi sangat tergantung personalnya, dibutuhkan kehati-hatian karena ruang tradisinya masih dalam perdebatan yang melibatkan banyak kalangan dengan persepsi yang berbeda dalam menilai benar salahnya. Maka reduksi benturan dalam konteks perubahan dan fragmentasi gaya hidup, konsumersisme yang berlebihan, hingga penggalian kembali inspirasi-inspirasi tradisi menjadi sisi yang sensitif untuk diperhatikan dalam perubahan budaya menikmati kopi di kafe-kafe cosmopolitan kita.
Seiring waktu tradisi minum kopi mungkin tidak lagi sederhana, bukan sekedar tentang cita rasa, namun tentang bagaimana menerima tantangan perubahan budaya baru dalam menikmati kopi, agar tidak hanyut di dalamnya. Tentang bagaimana mereduksi perubahan budaya agar tidak mencederai tradisi, pilihan-pilihan kita bersyariah.Â
Karena pada akhirnya warung kopi menjadi semacam "simbol" perubahan atas Aceh dengan segala konsekuensinya karena terbebasnya sekat-sekat pembatas yang menempatkan warung kopi dan budaya minum kopi berada dalam situasi transisi yang juga mencemaskan. Utamanya ketika minum kopi beralih fungsi dari sekedar menikmati kulinari menjadi simbol gaya hidup baru yang keblablasan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H