Karena membeli diam-diam, dan memborong pula. Akhirnya jatah belanja buku beberapa bulan dipangkas.Â
Andalan satu-satunya dari hasil nulis di media baru boleh untuk belanja rutin buku bulanan. Uang hasil tulisan di media "didaur ulang" jadi buku lagi.
Saya memang membiasakan menyisihkan uang dari gaji untuk buku, terutama angka pecah di belakang nominal utama. Misalnya Rp1.200.000,- nominal dibelakang boleh untuk belanja buku.Â
Dengan cara ini kita bisa memilih buku paling prioritas, tapi karena buku yang terbit setiap  bulan banyak dan bagus-bagus, jadi banyak yang tidak terbeli.Â
Begitupun ketika harbolnas, masih saja terkena penyakit gila belanja, akibat "sindrom tanggal cantik". Sekarang saya sudah sembuh, tapi untuk menerima sumbangan buku, masih bolehlah terbuka lebar. Terutama ya untuk lembaga yang sedang saya rintis, "booklife Indonesia".
Pustaka rumah sudah semakin overload, buku-buku lama sebagian dirak pustaka rumah dan sebagian diapkir di dalam kotak-kotak, dan sebagian lagi adalah buku-buku untuk donasi sebagai rencan tindak lanjut membangun lembaga-komunitas donasi buku.Â
Maka bercampurlah antara buku donasi dan buku koleksi pribadi. Meskipun ini juga jadi usaha paling minimal untuk menggaet donor pendukung lembaga-komunitas itu.
Kejadian harbolnas dan lainnya itu  menjadi pengalaman berharga, karena meskipun sudah diantispasi tetap saja terjadi kebocoran dompet, karena  terlalu banyak godaan yang membuat kita lupa diri.
Jika kasusny adalah buku, mungkin agak sulit mengerem belanjanya, karena buku-buku koleksi itu selalu memiliki judul dan isi yang semuanya seperti makanan lezat, susah dilewatkan.