Mengapa Gelombang Ketiga?
Popularitas Istilah "kopi gelombang ketiga" paling banyak dikaitkan dengan profesional kopi Trish Rothgeb, seorang penyangrai kopi asal AS, karena artikelnya di tahun 2003, untuk Buletin Roasters Guild berjudul "Norwegia dan Kopi".
Fenomena ini gila, karena seorang penyangrai kopi dapat menjadi rujukan sebuah trend baru cita rasa kopi. Jika saja kita memiliki parameter dan kuasa atas kualitas cita rasa kopi secara profesional, maka bukan tak mungkin para penyangrai kopi di bilangan Ulhee Kareng, sebuah kampung kecil di Aceh, pusat pengolahan kopi, akan berada dalam barisan depan layaknya Trish Rothgeb.Â
Kopi tak sekedar diulik rasa, bahkan "di-revolusi" pengolahannya untuk sekedar mengeluarkan rasa kopi yang sebenarnya. Lebih dari sekedar secangkir kopi generik belaka.
Trend atau kecenderungan memang diciptakan untuk membangun sebuah paradigma citarasa kopi. Ketika trend dijadikan budaya atau kebiasaan baru, maka budaya lama ter-apkir atau tergantikan posisinya oleh trend baru atau sebaliknya trend baru justru mendukungnya menjadi sebuah khazanah kulinari baru.Â
Demi memenuhi dan menargetkan pasar gelombang ketiga saja, pada tahun 2014 pemilik jaringan gerai kopi dunia starbucks menginvestasikan 20 juta dollar AS-nya di ruang pemangganggan kopi dan ruang pencicipannya di Seattle, Amerika Serikat.
Memang kelahiran trend gelombang ketiga kopi tidak sederhana. Bahkan trend ini dianggap "menganggu" perdagangan kopi yang lebih fokus pada komoditas dan menjunjung kualitas rasa, rasa unik, persaingan harga dan standarisasi rasa.Â
Sebagai trend yang memposisikan kopi sebagai makanan artisanal, berusaha menonjolkan karakteristik unik yang dihasilkan dari keragaman kultivar biji kopi, metode penanaman dan budidaya, metode pemrosesan, metode pemanggangan, dan variabel dalam penyiapan minuman. Layaknya anggur yang cara dan pengalaman konsumsinya dipenuhi sensasi eklusifisme kulinari kelas atas.
Menariknya, Kopi Aceh-Gayo berada pada garis linier yang tepat dengan trend baru ini, tapi dengan beberapa catatan. Terutama karena modal dasar spesifikasi ragam kultivar bawaannya yang sangat spesial dan unik, berpeluang untuk bersaing mutu dengan ragam kultivar kopi lain di dunia.
Menurut referensi yang rujukannya lebih banyak ke Amerika, Kopi Gelombang Pertama dikaitkan dengan era, ketika kopi sebagai komoditas di pahami oleh konsumen penikmat kopi secara pukul rata, tidak peduli asal negara atau apa jenis kopinya.Â
Kopi instan, kopi kaleng toko kelontong maupun kopi restoran, berada dalam kategori ukuran ciratasa yang sama. Intinya pada secangkir kopi yang terjangkau, harga rendah dan konsisten, artinya bisa dinikmati kapan saja, tetapi tidak berusaha membuatnya sendiri, alias kopi siap saji.