losangelestime
Coba perhatikan bagaimana riuhnya ruang kompetisi barista kopi dunia, ia tak hanya menyaji kopi, bahkan ia menentukan hingga kapan setiap kopi yang dibikinnya harus diseruput. Ia akan menyebut varietas kopi seperti memperkenalkan seorang artis!. Dan disambut tepuk tangan meriah. Inilah dunia kopi artisanal, dimana kopi Aceh, juga di seduh dalam gelas-gelas oleh barista-barista fenomenal dunia.
Dunia kopi memang kompleks. Kisahnya bisa dirunut dari sejak sebuah biji kopi, hingga berbagai gerakan sosial yang tumbuh didalamnya. Bahkan untuk sekedar soal citarasa saja, kopi telah memasuki fase yang disebut dengan "kopi gelombang ketiga" dari keahlian membuat kopi itu sendiri.
Layaknya gelombang ketiga peradaban ala Alvin Tofler, kopi menjelma menjadi komoditas yang menciptakan trend dan paradigma baru soal menikmati kopi dan "mengeluarkan" rasa spesial yang diciptakan langsung oleh penikmatnya.Â
Bukan lagi "dipaksakan" oleh pabrikasi atau tangan ketiga dari rantai panjang kopi, sejak dari tangkai hingga ke meja seduh. Kemunculan trend ini, diilhami oleh rumitnya gerakan feminisme gelombang ketiga yang menonjolkan setidaknya empat sisi aliran; postmodern, multikultural, global dan ekofeminisme yang saling menegasi dan melengkapi.
Namun kompleksitas kopi dengan gelombang ketiganya, sebaliknya justru memiliki karakteristik yang tidak saling menegasi. Intinya, seperti ujaran Lyotard dan Vattimo soal postmodernisme, trend ini mencoba melihat kembali segala sesuatu yang telah dibuang, dilupakan, dianggap irasional, tidak penting, tradisional, dimarginalkan dari biji kopi. (jurnalperempuan.org).
Gerakan ini adalah gerakan yang dipimpin konsumen dan produsen untuk mengkonsumsi, menikmati, dan menghargai kopi berkualitas tinggi. Memperlakukan biji kopi sebagai sebuah produk makanan "artisanal" dan berusaha menyampaikan rasa dalam kopi yang diseduh.Â
Artisanal bisa diartikan sebagai karya produksi non-industri bernilai lebih, orisinil dan dieksekusi secara manual. Dalam arti lain sebagai organik, berarti tanpa campur tangan kimiawi, semuanya alami.
Â
Gelombang ketiga dari keahlian kopi, biji kopinya bersumber dari pertanian dan bukan berasal dari suatu negara. Realitas tentang kopi spesial dari sebuah negara dimentahkan kembali. Berganti pada bagaimana mengolah biji menjadi sebuah "mahakarya produk". Tehnik pemanggangan adalah tentang bagaimana "mengeluarkan rasa" daripada membakar karakteristik unik dari setiap biji, yang rasanya bersih, keras dan murni.
Tidak ada kekangan dari pabrikasi, bahkan raw coffee menjadi standar ukur dan medium awal menciptakan sebuah citarasa kulinari minuman yang tiada tara. Bukan lagi darimana biji kopi itu berasal. Apakah gelombang ini menjadi "pembunuh" karakter kopi-kopi speciality, demi sebuah "pasar persaingan terbuka"?.