Mohon tunggu...
Hanif Sofyan
Hanif Sofyan Mohon Tunggu... Full Time Blogger - pegiat literasi
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Buku De Atjehers series

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Mestikah Semua "Pengorbanan" Berakhir Di Panti Jompo?

3 Desember 2021   22:44 Diperbarui: 4 Desember 2021   22:08 177
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

BBC

Berapa banyak waktu dalam 24 jam terakhir, seminggu terakhir, sebulan terakhir atau bahkan setahun terakhir, kita bertemu dengan orang tua kita. Sekedar menyapa mereka jika kita berjauhan. Atau kita hanya sempat berjumpa di hari lebaran, ketika mudik?.
Apakah kita pernah menanyakan bagaimana kabarnya?. Baik-baik sajakah, sakitkah, atau sunyikah ia dalam kesendirian jika berjauhan dengan kita. Apakah anak-anak kita juga mengingat nenek-kakek mereka?.

Dalam kesibukan yang begitu menyita waktu, kita sering tak hanya melupakan orang tua kita, melupakan kasih sayang mereka, bahkan sekedar tanggal kelahiran mereka. Padahal mereka mencurahkan semua waktunya untuk kita, sebelum akhirnya kita dewasa dan mandiri dengan langkah kita. Dari merangkak, berdiri, tertatih, hingga bisa berlari seperti sekarang.

Coba ingat-ingat kembali, apa yang sudah kita berikan untuk mereka hingga hari ini, bisakah membalas semua kebaikan mereka dulu?.

Sejak kecil orang tua kita mengenalkan kita dengan Tuhan, dengan kebaikan, dengan hidup yang keras dan tentu saja dengan nilai-nilai kasih sayang.

Sejak kecil kita tak asing dengan lagu kasih ibu, yang dikenalkan oleh Mochtar Embut yang mengajarkan kepada kita tentang kasih sayang seorang ibu kepada anak-anaknya, agar sedari dini kita menyadari betapa besar kasih sayang seorang ibu, yang kasih sayangnya tak terbalaskan. Lirik-liriknya lekat dalam ingatan bahkan ketika kita lama tak mendengarnya sekalipun.

Kasih ibu,Kepada Beta
Tak terhingga sepanjang masa
Hanya memberi tak harap kembali
Bagai sang surya menyinari dunia.

Setiap kali mendengar lagu Bunda, yang liriknya ditulis Meliana, dan  dipopulerkan Melly Goeslaw, terasa begitu menyentuh hati. Lagu itu terus saja terngiang dalam ingatan.

Kubuka album biru
Penuh debu dan usang
Kupandangi semua gambar diri
Kecil bersih belum ternoda
Pikirku pun melayang
Dahulu penuh kasih
Teringat semua cerita orang
Tentang riwayatku
Kata mereka diriku selalu dimanja
Kata mereka diriku selalu ditimang
Nada-nada yang indah
Selalu terurai darinya
Tangisan nakal dari bibirku
Takkan jadi deritanya
Tangan halus dan suci
Telah mengangkat tubuh ini
Jiwa raga dan seluruh hidup
Rela dia berikan
Kata mereka diriku selalu dimanja
Kata mereka diriku selalu ditimang
Oh, bunda ada dan tiada
Dirimu 'kan selalu ada di dalam hatiku
Pikirku pun melayang
Dahulu penuh kasih
Teringat semua cerita orang
Tentang riwayatku
Kata mereka diriku selalu dimanja
Kata mereka diriku selalu ditimang
Oh, bunda ada dan tiada
Dirimu 'kan selalu ada di dalam hatiku

Kita yang sedang berjauhan, tiba-tiba terasa ingin dekat, bahkan untuk sekedar mendengar lembut suaranya dari telepon. Kita yang tak lagi berada di bumi yang sama, tiba-tiba teringat, bagaimana pusara beliau saat ini. Mungkinkah rerumputan telah begitu menjulang, tinggi menutupi nisannya. Pertanda begitu lama kita tak pernah mengunjunginya. 

Beruntung jika kita masih bersama, bisa memandang wajahnya, menggodanya sesekali, memintanya bercerita tentang kita sewaktu kecil, atau memasak makanan favorit di dapur yang sama dengan ibu "chef favorit" kita. Bisa tahu apa kesukaan ibu, apa kebiasaannya, sehingga kita bisa membuat kejutan yang membahagiakannya, meskipun hanya dengan sebuah hadiah kecil.

Karena seperti matahariyang tak pernah mengharap cahayanya kembali, Ibu hanya mengharapkan perhatian dan kasih sayang kita

Ada sebuah iklan yang begitu menyentuh, tentang seorang pria yang begitu sibuk, sehingga tak pernah peduli dengan ibunya yang diam-diam menunggunya dalam kesepian di rumah, di kampungnya. Ketika kemudian ia berjumpa dengan seorang gadis kecil di sebuah pemakaman, ia penasaran dan kemudian mengikuti si gadis kecil yang ternyata menuju kesebuah makam untuk bercerita dengan ibunya yang telah tiada. Ia tiba-tiba teringat ibunya, dan secepatnya pulang, dan menemui ibunya yang tengah menunggunya.

Aku pernah menuliskan sebuah catatan, ketika kami lama tak bertemu di ruang A Thousand Miles Away-ruang perantara hati, aku dan ibuku.

Memeluk Ibu

Menunggu tak pernah memberi pilihan.
Begitu aku rasa dalam tahun-tahun menanti.
Dimasa itu aku meraba nasib,
Dan panjang aras waktu berlalu begitu saja.
Begitupun rindu ternyata tak sama.
Diam-diam di dalam lubuk ianya menciptakan kegelisahan, rasa menggoda tak tertahankan
Tak berkata-kata kecuali mengalirkan air mata.

Begitulah tahun- tahun berlalu tak biasa,
Diantara rindu dan sendu yang tak berbentuk.
Ketika mewujud temu,
Berhamburan rindu itu melayang-layang tak menentu menuju semua arah.
Sebisanya aku sedu sedan,
Bukan getir galau tapi rindu tertumpah waktu.
Ibu aku ingin lagi memelukmu.

Tanjong Selamat, 22 september 2015

Ingatlah, meski dengan segala keterbatasan, ibu akan selalu berusaha melakukan dan memberikan yang terbaik buat kita. Ibu berkorban demi anaknya. Apapun dilakukannya asalkan si anak merasa bahagia. Itulah mengapa Menjadi seorang ibu itu tidak mudah, perlu banyak pengorbanan bagi anak.

Ibu paling mengerti tentang kita, tentang kebiasaan jelek kita, makanan favorit kita, atau tempat rahasiamu dibandingkan orang lain

Dulu ibu merawat kita dengan sepenuh hati, berlimpah kasih sayang, meski mungkin tinggal di rumah yang kecil  dengan segala kekurangan. Ibu berkarir dengan kesibukan luar biasa, selalu menyempatkan untuk menemani kita bermain, menemani saat belajar atau datang ke acara sekolah kita.

Apa pekerjaan terberat di dunia menurut kita? mungkin presiden? Bukan! Pekerjaan terberat itu adalah menjadi seorang ibu. Mengandung selama 9 bulan sambil mengalami mual hebat, kemudian melahirkan hingga merasakan sakit yang tak tertahankan. Belum usai semua itu, ibu harus merawat dan membesarkan anak dengan kasih sayang. Bahkan hingga menyita waktu tidurnya, tanpa balas jasa.

Ibu menciptakan rindu yang tak bisa dibalas, dengan masakan ibu yang menemani hidup kita sejak kecil. Maka sejauh apapun kita pergi, kita akan selalu merindukan masakan ibu karenanya.

Orang Tua Kita Sebuah Simbiosis Mutualis

Lantas, apakah kesibukan bisa dijadikan alasan supaya kita tidak menjaga ibu dan merawatnya?. Apakah kita rela dan ikhlas, mengantar orang tua kita ke rumah panti jompo, sebagai sesuatu yang kita sebut sebagai "penghargaan" dan perhatian dan kasih sayang kita, agar orang tua dalam usianya yang renta ada yang merawatnya?. Apakah kita merasa direpotkan dengan keberadaan mereka?.

Padahal sesungguhnya sebuah keberuntungan jika kita bisa bersama dengan orang tua kita, merawatnya hingga akhir hayat beliau. keberadaan mereka menjadi sebuah-simbiosis mutualis berupa berkah. Ketika kita mendoakannya saat kita bersimpuh dalam shalat, akan mengalirkan berkah dan rezeki dari tempat yang tak pernah kita duga, sebagai bentuk karunia kasih sayang Allah melalui orang tua kita. Bahwa doa kepada orang tua akan membuat hidup kita selalu dipenuhi berkah. Doa dari anak-anak yang shaleh untuk kedua orang tuanya, kita kepada orang tua kita, dan anak-anak kita kepada kita kelak.

Maka sebisanya, menjaga orang tua bersama kita, betapapun beratnya.

Ibu Di Rumah Kami

Meskipun tak sepenuhnya sempurna, kami mencoba menjadi anak-anak yang baik bagi orang tua.  Ibu ku kini tinggal bersama kami setelah kepergian ayah, hampir 13 tahun silam. Ia menjadi hiburan bagi kami, bagi cucunya. 

Sebuah berkah paling luar biasa, kami masih bisa belajar dan merasakan masakan yang ibu hidangkan ketika kami lelah pulang dalam kesibukan yang panjang.  Atau kegembiraan ketika masak bersama-sama di akhir pekan, menikmati jalan-jalan, meski sekedar menyusuri kota. Sesekali ibu bercerita, tentang tempat favorit mereka ketika menghabiskan waktu berdua dengan almarhum ayah.

Dan jika rindu, kami mengajaknya menikmati makanan favoritnya ditempat yang sama seperti 40 tahun lalu, ketika mereka pertama mengunjunginya. Meski tak tahu sampai kapan, kami selalu berdoa bisa bersama beliau dalam waktu yang panjang, dan dalam umur panjang itu, kami berganti menjaga, merawatnya, seperti ibu kita merawat kami dulu. 

Dan dalam doa, setelah shalat berjamaah bersama, kami munajatkan seluruh rasa terima kasih, agar kami bisa bersamanya hingga akhir hayat beliau. Amin

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun