Mohon tunggu...
Hanif Sofyan
Hanif Sofyan Mohon Tunggu... Full Time Blogger - pegiat literasi
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Buku De Atjehers series

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Menulislah Seperti Zizek, Sok Ideologis Tapi Optimis

3 Desember 2021   12:15 Diperbarui: 4 Desember 2021   22:15 329
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

opendemocracy-net-61aa04b006310e7aea12a212.jpg
opendemocracy-net-61aa04b006310e7aea12a212.jpg
forestdigest.com, opendemocracy.net, geotimes.id

Demi masa depan; kata Zizek, pilih barbarisme atau komunisme model baru, cuma karena sebab pandemi?, waduh!

Betapa enaknya jika bisa terus menulis seperti Zizek. Menulislah sebelum menulis itu dilarang. Dulu di jaman Orba, kita juga boleh menulis apa saja. Tapi, ada tapinya; tidak boleh melawan pemerintah, tidak boleh mengusung paham radikal, tidak boleh SARA, tidak boleh mengkritik pemerintah, dan tidak boleh lainnya yang panjangnya lebih dari seratus baris.

Pernah baca buku Zizek?,seorang optimistis yang dianggap sebagian para pengamat sebagai filsuf provokatif, karena menawarkan wacana mengganti sistem kapitalis dunia dengan bentuk baru komunisme hanya karena corona!. Lucu, karena sudut pandangnya begitu jauh dari keriuhan orang pesakitan akibat corona. 

Betapa panjang jarak pikir menghubungkan antara sistem kapitalis, komunisme baru dan pandemi. Zizek melihat bahwa epidemi virus corona dapat memberikan nafas segar untuk komunisme dan kekalahan telak bagi kapitalisme. Meski pemikirannya tidak terduga, tapi bukunya telah terbit, dan ludes terjual jutaan copy dengan banyak versi bahasa di dunia.

Slavoj Zizek menulis, "langkah-langkah yang tampaknya bagi kita hari ini sebagai 'Komunis' harus dipertimbangkan di tingkat global. Koordinasi produksi dan distribusi harus dilakukan di luar koordinat pasar." Ia langsung memukul telak ekonomi kapitalis. Alasannya cukup pragmatis, karena ia membayangkan sebuah kondisi dimana karakter masyarakat dan dunia akan berubah menjadi barbar pasca pandemi. 

Menurut Zizek, bentuk baru komunisme mungkin merupakan satu-satunya cara untuk mencegah penurunan kondisi sosial menjadi barbarisme global. Ia berkaca pada bagaimana otoritas China memainkan peran sentral dalam "memadamkan" kasus pandemi di Whuhan, karena basis mereka komunisme. 

Sedangkan negara-negara di seberang lainnya yang beraliran kapitalis, seolah memberikan kebebasan otoritasnya pada setiap individu atau institusi, sehingga upaya mengatasi pandemi dianggap gagal. Dibutuhkan otoritarianisme keras, jika mau berhasil mengatasi pandemi kata Zizek.

Bagaimana bisa ia berpikir sejauh itu?. Apa karena ia seorang filsuf, yang pikirannya cenderung penuh imajinasi, namun juga tidak lepas dari akal sehat?. Sehingga, saat media nasional maupun global memberikan ketidakpastian, Zizek menafsirkan situasi dunia dengan cara sendiri yang tidak terduga.

geotimes-id-zizek-61a9c8c706310e21187043e4.jpg
geotimes-id-zizek-61a9c8c706310e21187043e4.jpg
Dulu pernah seorang dosen, tetangga dekat rumah, menyarankan membaca buku  tentang filosofi dasar, siapa tahu saya tertarik. Ia memberikan sebuah buku, baru dipengantarnya, saya dibuatnyatak habis pikir. 

Isi pengantarnya, sebenarnya untuk menegasi bagaimana sebuah pemikiran filosofi dipahami awam dengan mudah, potongan isinya antara lain; bayangkan jika Tuhan itu Maha Besar, dan Maha Pencipta, maka Tuhan bisa membuat batu yang sangat besar sehingga Tuhan sendiri tidak sanggup mengangkatnya". Saya justru bingung harus tertawa atau membatalkan lanjutan bacanya. Tapi begitulah, bahwa ternyata didunia ini ada cara berpikir di luar cara berpikir kita yang biasa.

Itu alasan paling jelas, mengapa banyak orang beda pemikiran, beda cara pandang. Dan agama kita menyebut itu sebagai , Sunatullah-sesuatu yang memang berasal dari Atas, agar keragaman atau perbedaan bisa menjadi rahmat bagi manusia.

Slavoj Zizek, filsuf asal Slovenia, itu meramalkan apa yang berubah dari kehidupan saat ini. Ketika dunia diguncang pandemi global. Dalam "Pandemic!: Covid-19 Shakes the World" mencoba untuk memberi pandangan yang unik tentang bagaimana virus baru ini telah mengubah sikap dunia.

Menurut cara pandangnya, sebelum pandemi ini mengganggu tatanan sosial, kita hidup di tengah lingkungan yang sangat ekspresif dalam menunjukkan perasaan melalui jabatan tangan, pelukan, atau ciuman. 

Kini, menjaga jarak atau social distancing justru menjadi cara terbaik untuk menunjukkan perasaan itu. "Kita tidak dapat kembali dari 'the new normal', justru harus membangun hidup yang baru di atas reruntuhan kehidupan lama, atau kita akan menemukan diri kita dalam barbarisme baru yang tanda-tandanya sudah jelas terlihat," seperti tertulis pada bagian pendahuluan.

Dalam buku refleksi filosofis pertama terkait pandemi virus corona ini, Zizek menuturkan bagaimana media berulang kali meneriakkan "Jangan panik!", namun kenyataan yang disampaikan melalui data justru memicu kepanikan.

Cara berpikirnya yang berlawanan, mendapat perlawanan dari banyak kalangan. Tapi ia tak bergeming, karena begitulah menurut nalarnya. Jika di awal tulisannya Zizek sempat menyinggung media dan pemerintah kerap menimbulkan ketakutan dengan pendekatan yang kurang transparan atau terlalu ekstrim, di penghujung buku ini dia justru mengungkapkan pendapat yang memicu ketakutan itu sendiri. 

Ramalan Zizek di buku itu tentang bagaimana karakter masyarakat dan dunia akan berubah menjadi barbar pasca pandemi dianggap berlebihan. Dia sendiri tidak yakin dengan kemungkinannya namun mengklaim bahwa dia sudah memperhatikan kemunculan tanda-tandanya.

Publik tentu saja dihinggapi rasa penasaran. Apalagi ketika ia menegaskan dalam bukunya, "kita dapat mengatasi pandemi ini dan momen ini akan menjadi pembelajaran di masa depan. Jadi, sekali lagi, pilihan yang kita hadapi adalah: barbarisme atau komunisme model baru," tulisnya.

Sebuah kritik Amy Goodman yang muncul dalam Ceasefire Magazine, mungkin bisa mewakili bagaimana sebuah pemikiran yang "suka-suka" bisa saja membuat dunia diliputi rasa penasaran menggoda untuk mengkritiknya.

"Barangkali ini sindrom pemikir yang populer dan prolifik. Zizek abai menjelaskan sebuah problem dengan detail dan meyakinkan. Amy Goodman di New York, dalam sebuah wawancara untuk acara televisi Democracy Now pada 2008, menyebut Zizek sebagai "Elvis dalam teori budaya". "Elvis Presley dipuja tahun 1970-an, padahal lagu-lagunya milik orang lain," kata sosiolog Universitas Negeri Jakarta Robertus Robet. "Kita bisa maki-maki Elvis tapi jika tak mendengar album terbarunya orang sedunia akan menyalahkan kita."

Robet sering dianggap sebagai penafsir utama Zizek di Indonesia. Tapi menurut dia, dalam Pandemic! Zizek terlalu retorik, terlalu optimistis sekaligus sok ideologis. "Ideologi dunia tak akan berubah banyak setelah pandemi," katanya. Artinya, kapitalisme tetap berjaya, peran negara tetap surut, mesin produksi akan kembali gencar memproduksi emisi untuk kelak membangkitkan virus yang lebih digdaya lagi." (Ceasefire Magazine).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun