Mohon tunggu...
Hanif Sofyan
Hanif Sofyan Mohon Tunggu... Full Time Blogger - pegiat literasi
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Buku De Atjehers series

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Pemimpin yang Baik Adalah yang Punya Niat Baik

2 Desember 2021   06:43 Diperbarui: 7 Desember 2021   15:45 230
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sebagai rakyat, kita berada diantara kekuatan besar para elite itu, bagaimana sebaiknya memposisikan diri?. Siapa yang mesti dipilih, para elite dengan pengalaman politik yang kuat atau pemimpin populis yang suka blusukan, atau elite yang suka blusukan demi politik dan kebutuhan manajemen pemasaran yang trennya menguat setelah dipopulerkan oleh presiden kita?.

Pengalaman kita sebagai partisipan politik, pernah memilih pemimpin elitis, pemimpin populis yang suka blusukan, bahkan kita pernah memilih pemimpin karena taken for grante, alias memilih karena mayoritas dan sama-sama ashoe lhok, dan berharap pilihan kita akan membawa nanggroe kita pada baldatun thayyibatun warrabun ghafur, malangnya kita salah pilih dan nanggroe kita sampai dengan saat ini tak lebih baik dari sebelumnya dalam konteks politik yang lebih demokratis, padahal pemilih telah berubah lebih partisipatif dan melek politik.

Apakah jika kita memilih pemimpin "model" baru dalam soal politik pada 2024 mendatang adalah sebuah alternatif  yang lebih baik?. Bagaimana jika akademisi yang diberi kesempatan, kita dulu pernah punya impian, Aceh akan dipimpin oleh sosok gubernur seperti Prof.Safwan Idris, meskipun impian itu kandas dalam konflik. Apakah ada alternatif lain yang bisa membawa Aceh menjadi lebih baik?. Mengelola dana Otonomi Khusus (Otsus) yang berlimpah dan bisa lebih mensejahterakan, atau jika kita bosan dengan ukuran Pembangunan Lima tahun (Pelita), Aceh Tinggal Landas,  setidaknya kita tak hanya membutuhkan seorang pemimpin besar, tapi juga pemimpin benar yang berhati nurani.

Politik memang penuh kegamangan, sulit diprediksi, karena arusnya mudah berubah. Kita ingat bagaimana Donald Trump, presiden Amerika yang penuh kontroversi, memenangkan kontestasi presiden karena keberuntungan media sosial, kemudian menggulingkan keunggulan rivalnya, Hillary Clinton hanya dalam hitungan minggu diakhir kontestasi.

Pengalaman lainnya, seperti diuraikan Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt dalam buku, How Democracies Die, tentang diktator Peru, Alberto Fujimori. Ia tak pernah berencana menjadi presiden, kecuali sekedar menjadi anggota senat ditahun 1990.  Beruntung, karena sebuah kasus kelompok gerilya Maois bernama Sendero Luminoso (Jejak Bercahaya) yang meruntuhkan ekonomi negara,  dan menjadi preseden bagi para elite yang sedang memimpin, justru menjadi batu loncatan bagi Fujimori untuk merebut kursi presiden melalui partai yang dibuatnya sendiri, karena tak sebuah partai pun mendukung niatnya masuk parlemen. Preseden itu selanjutnya membuatnya memenangkan jajak pendapat dan membantunya melenggang menuju kursi presiden.

Slogan kampanyenya sangat populis, "Presiden Seperti Anda". Pidato pelantikannya juga sangat populis, bernuansa kerakyatan, katanya "Bahwa negara menghadapi kenyataan krisis terburuk dalam sejarah sebagai sebuah Republik. Ekonomi menjelang ambruk dan masyarakat Peru telah terpecah karena kekerasan, korupsi, terorisme, dan obat terlarang". Fujimori kemudian berjanji akan mengeluarkan  Peru dari keadaan itu,  dan membimbingnya ke arah yang lebih baik. Sayangnya ia tidak punya gagasan jelas tentang bagaimana mencapai semua itu. Latar belakang non politisnya justru menjadi blunder, karena ia alergi berurusan dengan Kongres  dan lebih senang memerintah negara dari balik komputernya dan menggunakan dekrit  eksekutifnya. Tak lebih dari dua tahun setelah memimpin ia berubah menjadi tiran.

Kisah politik itu adalah sebuah traumatis, hanya saja pengalamannya melalui literasi atau bacaan sangat sedikit dipahami awam, sehingga tetap saja pragmatisme menang melawan keadilan dan kebenaran.

Kita tidak hanya membutuhkan sekedar transformasi berbasis leader (pemimpin). Pemimpin yang mumpuni merancang visi, menyusun agenda, membuka pikiran, menangkap imajinasi publik, berjuang dalam perang politik dan memberi energi pada negara. Kita membutuhkan transformasi jati diri pemimpin. Perubahan arah demokrasi, pertarungan ideologi, membutuhkan banyak persuasi intelektual, manuver politik, dan daya tarik populis untuk mewujudkan sebuah pilihan perubahan.

Selebihnya, kita berharap para pemimpin memberi contoh berpolitik dan berdemokrasi yang lebih santun, menggunakan hati dan nurani, dan mendekatkan diri pada Tuhan, bukan dalam formalitas sekedar bisa membaca Al-Qur'an, atau rajin zikir. Meskipun kita meragukan keimanannya, tetap saja sejelek-jelek tabiat seorang pejabat elitis, ia tak mau jika disebut  tak bermoral apalagi tak beragama, meskipun sangat koruptif perilakunya. [hans-acehdigest2021].

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun