Pernah dengar istilah blusukan?, jika dipolitisir, artinya bisa menjadi "pencitraan". Namun jika ditilik dari sudut istilah marketing management atau manajemen pemasaran, blusukan adalah usaha mempopulerkan produk. Jadi, ketika produk makin dikenal luas di semua tingkatan jenis konsumen, maka ia berpeluang untuk dibeli!.
Maka blusukan pastilah lebih menyasar kalangan bawah. Atas dasar itu para pemimpin kita ber-selfi politik di ruang-ruang publik yang seolah bukan ruang yang "seharusnya" bagi seorang pemimpin yang elite. Ruangnya bisa, pasar, Tempat Pembuangan Akhir (TPA), pemukiman kumuh, bahkan lubang got, jika itu berhubungan dengan PDAM, atau lebih  tepatnya dibahasakan dengan kebutuhan air minum menyangkut hajat hidup dan kebutuhan pokok rakyat banyak, sehingga nilai rating blusukannya sangat tinggi.
Berpolitik Dengan Lebih Baik
Mengapa ruang publik yang kumuh itu justru menarik bagi para elite?, karena disanalah asal ribuan konstituen yang siap memilih siapapun yang berpihak kepadanya, tidak peduli apakah elit tersebut benar atau salah, koruptor atau sekedar narator kampanye ulung.
Pertimbangannya sangat sederhana, karena kelompok bawah tersebut cenderung berpikir pragmatis, atau lebih tepatnya pasrah dengan kenyataan. Dalam total keseluruhan jumlah rakyat di Indonesia, kelompok menengah-bawah adalah mayoritas. Sisanya sebesar 35% adalah para pemilik usaha dan elite politik yang menjadi Orang Kaya baru (OKB) yang besaran jumlah gajinya kurang lebih sudah dijelaskan oleh artis yang juga anggota dewan, Kris Dayanti, yang notabene adalah orang dalam di lembaga elite pemerintah.
Berita "nyanyian politiknya" masih diributkan karena dianggap melanggar kode etik "ketidakwarasan sosial" dalam kondisi ekonomi porak poranda akibat pandemi dan warisan kolonial yang laten dan membesar selama Orba dan Orde reformasi. Lebih tepat lagi karena menguak dapur para anggota elite dewan yang sepak terjangnya terus dipantau publik, bahkan jika ia ketiduran di ruang sidang.
Meminjam istilah Rizal Malaranggeng, para pecinta demokrasi sedang berada dalam mode defensif, menunggu apakah elite-elite akan berubah perangai dan memutuskan untuk menjalankan amanat reformasi.
Politik reformasi yang didorong  sebagai mesin perbaikan demokrasi, ternyata masih juga belum menemukan hasil menggembirakan. Ketika agenda kontestasi politik tetap akan dijalankan dalam kondisi pandemi, kita terbelah pada dua dilema, menjaga social distancing demi pandemi covid-19, karena alasan vaksin yang belum optimal atau tetap mendorong hajatan syahwat kontestasi politik yang tak bisa ditahan oleh para elite yang tergoda kursi kekuasaan.
Kita tidak dapat menghentikan mandat demokrasi untuk memilih pemimpin baru, karena kadaluarsa politik memaksa para elite, harus segera berganti kursi kuasa. Bahkan muncul fenomena baru penyakit wacana presiden tiga periode karena kenikmatan legitimasi kekuasaan.
Pilih Elitis, Populis atau Keduanya?