Saya menyukai jurnalistik yang menganalisis musik justru ketika mulai mengenal Majalah Rolling Stone Indonesia (majalah musik terakhir) yang mengulas band dan album Indonesia. Nasibnya berakhir pada 1 Januari 2018.Â
Sebelumnya saya masih sempat menikmati MTV trax yang mengulas musik, band dan konser, serta album yang hype dijaman itu. Termasuk juga majalah remaja HAI.
Ternyata jauh sebelumnya saya baru tahu, kita punya setidaknya 5 majalah musik populer. Trolley, majalah musik asal bandung yang juga mengulas art dan film dan  memperkenalkan band-band aneh seperti Cocteau Twins atau genre Kraut Rock yang asing.Â
Ripple, majalah dengan bonus kaset berisi demo atau single dari band-band independen dari yang obscure sampai yang top sekarang. NewsMusik, majalah musik asal Jakarta, yang isinya kurang lebih sama dengan majalah HAI sebagai majalah popular anak muda. Tabloid Mumu, tabloid musik pertama dan satu-satunya, singkatan dari Muda Musika yang berisi intisari informasi tentang musik Indonesia, profil band, review album hingga konsernya.
Termasuk Majalah Aktuil, sebagai majalah musik rock tertua di Indonesia, yang digawangi Benediktus Hadi Utomo alias Bens Leo. Kontennya, berisi banyak konser band besar di masanya, termasuk God Bless.
Barangkali di jaman Bens, menjadi seorang jurnalis musik menjadi impian banyak orang. Kurang lebih, meminjam catatan ulasan tirto.id tentang Rolling Stones, "Setidaknya, sebelum era webzine, menjadi jurnalis musik adalah mimpi basah.
Ia termasuk salah satu pekerjaan impian. Bertemu dengan musisi idola, menyaksikan konser, dan dibayar. Apa yang lebih enak ketimbang itu? Tentu ada kerja keras, dikejar deadline, atau harus mewawancara musisi menyebalkan. Tapi itu lebih sebagai bagian dari pekerjaan, bukan hal yang benar-benar bikin darah tinggi".
Bens beruntung tak hanya menjadi aktuiler (sebutan bagi pembaca setia aktuil), namun sempat bergabung di Aktuil sejak 1971, karena pada tahun 1978 majalah itu tutup, setelah bertahan cukup lama sejak 1967.Â
Bens masuk, setahun setelah Remy Silado bergabung di dalam Aktuil, ia kemudian tak hanya menjadi jurnalisnya, namun menjadi punggawanya. Aktuil terbit berkat peran penting jurnalis musik seperti bersama Denny Sabri, Bob Avianto, dan Toto Rahardjo.
Bens juga beruntung, karena menjadi bagian peristiwa monumental di tahun 1975, saat berhasil memanggungkan Deep Purple, grup musik legendaris asal Inggris, pemegang rekor grup musik paling berisik di dunia dan berhasil menjual lebih dari 100 juta album di seluruh dunia. Termasuk mementaskan penyanyi asal Amerika Susan Kay Quatro atau Suzi Quatro pada tahun 1976, dan Bens berhasil mewawancarainya.
Di majalah Aktuil, Bens ditempa menjadi seorang jurnalis, dengan insting jurnalismenya yang tajam ia menjadi jurnalis mumpuni. Keberuntungannya itu menjadi sejarah tak terlupakan, karena dalam perjalanan jurnalisme musiknya, Bens juga bersinggungan secara intens dengan bintang-bintang cemerlang musikus dan kugiran (sebutan khas Aktuil untuk grup musik) Â Indonesia.Â
Sebut saja nama-nama kondang; God Bless, Koes Plus, Panbers, D'lloyd, The Rollies, AKA, Guruh Gipsy, SAS, Giant Step, Arthur Kaunang, Leo Kristi, Jack Lesmana, Gesang, Ibu Kasur, Bubi Chen, Broery Marantika, Idris Sardi, Harry Roesli, Chrisye dan deretan musikus top Indonesia lainnya.
Benar seperti kata orang bijak pernah bilang, jika kamu bukan raja maka menulislah, atau berkiprahlah dengan orang-orang besar. Bens berada dalam barisan mereka yang dedikasinya tak pernah diragukan.Â
Termasuk totalitasnya dalam menjadikan musik, meletakkan standar baru dalam dunia jurnalisme musik. Membuat jurnalisme musik jadi lebih menarik, memperlakukan musik tidak sekadar sebagai hiburan atau bisnis semata.Â
Dengan kata lain: meletakkan musisi sebagai manusia yang punya banyak kisah menarik untuk diulik. Bahkan lebih dari itu, Aktuil juga menempatkan dramawan dan penyair Rendra sebagai bagian dari jurnalismenya yang total. Kini nama Bens sangat besar di industri musik dan hiburan Indonesia.
Teman-temannya mengakui kepiawaian Bens tidak hanya sebagai wartawan musik sejati, tapi pengamat musik yang cerdas, motivator bagi penyanyi muda yang tengah merintis karier di industri musik Indonesia. Bens juga dikenal sebagai sosok wartawan yang lurus, tidak neko-neko dan humble.
Tentang Bukunya Yang Langka
Dalam bukunya, Bens Leo Dan Aktuil, Jejak Jurnalisme Musik, memberi pemahaman pada khalayak, tentang apa yang disebut antropolog dan etnomusikolog Jeremy Wallach (2208) sebagai "kultur musikal". Proses hubungan simbiosis mutualis antara produser, musisi atau performer, dengan para pendengar atau audiensnya. Sebuah karya lagu dan musik, akan eksis, jika tidak saja dinikmati oleh pembuatnya, namun juga para pendengar.Â
Dari audiens fanatiknya para musisi akan mendapat apresiasi, baik dari sisi kepuasan batin, maupun dari sisi materil. Dunia musik adalah sebuah lingkaran besar, di mana semua komponen saling berhubungan dan saling berkaitan.Â
Karya besar lahir karena ada musisi, kemudian peran dan keterlibatan produser dan tentu saja pendengar atau audiens yang mengapresiasinya dengan membeli karya ciptanya.
Tentang kultur musik yang juga dipahaminya sebagai lanskap musik yang menunjukkan kontestasi, hibridisasi, dan akomodasi hingga membentuk sebuah ekspresi musikal yang khas Indonesia.Â
Adalah sebuah pemahaman yang luar biasa yang dibagikan Bens untuk kita. Bahwa bank-band lokal bermetamorfosa, mengadopsi band-band besar, menyerap energi, kreatifitas dan ciri khas yang kemudian dijadikan sebuah ciri khas baru.Â
Meskipun, band-band besar Indonesia, tetap saja tak bisa sepenuhnya melepaskan akarnya, karena mereka lahir sesuai jaman dan mengikuti trend, namun dengan cara dan jati diri yang khas.Â
Kita bisa melihat bagaimana band Koes Plus, seperti bercermin pada The Beatles, dan band-band rock era 70-an, menerjemahkan musikalitasnya pada Rolling Stones, Deep Purple, Led Zeppelin, Rainbow, Yes, Chicago, Genesis, Black Sabbath
Bahkan polarisasi karena kontestasi, hibridisasi, dan akomodasi antar band-band Indonesia, juga memunculkan persaingan terbuka antara satu musisi atau grup musik dengan musisi atau grup musik lain. Saling mengomentari,mengkritik, bahkan terhadap band-band luar negeri, mereka punya rasa percaya diri yang besar. Seperti dilakukan para personil God Bless yang menanggapi permainan band pengiring Suzi Quatro, ketika mereka bermain sepanggung.
Buku Bens Leo secara akrab juga mendekatkan dunia musisi dengan publik kelas menengah, dengan pendekatan jurnalisme musik yang bersahabat. Melalui bukunya, merupakan upaya Bens melihat dan mencatat satu tahapan dari perkembangan industri musik di masa lalu, dan menghubungkannya dengan masa kekinian, menjadi semacam "estafet informasi" tentang musik Indonesia, agar dipahami oleh generasi berbeda.
Menjelang akhir hayatnya, ia "menitipkan" sebuah buku untuk Indonesia, semacam firasat atau pertanda kepergiannya. Sayangnya buku bersejarah yang terbit pada 29 September 2021 itu, hanya dicetak eksklusif 500 eksemplar, itupun telah diberinya nomor dan diperuntukkannya untuk client dan para sahabat. Meski tak semua orang menyimpan jejaknya melalui buku, tapi setidaknya kita masih menyimpannya dalam ingatan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H