Mohon tunggu...
Hanif Sofyan
Hanif Sofyan Mohon Tunggu... Full Time Blogger - pegiat literasi
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Buku De Atjehers series

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Bagaimana Jika Kancil Mencuri Apel?

29 November 2021   09:30 Diperbarui: 30 November 2021   21:33 400
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

duniasinichi.blogspot.com

Si bungsu gadis kecilku jenis generasi Z. Menghargai keberagaman, menghendaki perubahan sosial, berbagi, berorientasi target. Barangkali karena faktor menghendaki perubahan sosial ia suka protes. Soal protes, bisa jadi si bungsu nomor satu, terutama di rumah yang didominasi para kakak lelakinya, ia tak pernah menyerah dan kalah.

Aku ingat, ia suka minta dibacakan dongeng, maka aku membacakan dongeng tentang Si Kancil versiku yang klasik (Si Kancil Anak Nakal Pencuri Timun), baru sampai paragraf kedua, ia memprotesnya, lebay, katanya, ceritanya bertele, kelamaan!. Bisa nggak kalau kancilnya mencuri apel aja?. Caranya?. ganti aja timun dengan apel,! katanya santai.

Begini cerita Versi klasikku yang dua paragraf itu; 

"Pada suatu hari ada seekor kancil, ia berjalan di pinggir kebun timun pak tani. Siang hari terasa panas sehingga ia berpikir untuk mencuri timun pak tani. Dengan sigap ia melompat ke kebun yang hanya berbatas pagar kecil dan langsung mengambil timun paling besar. Setelah kenyang ia berjalan hendak keluar ketika dilihatnya orang-orangan sawah, yang dikira orang betulan.

Ketika ia mendekat orang-orangan itu tetap diam, maka ia mencoba memukulnya, ternyata kakinya justru lengket di badan orang-orangan itu, hingga seluruh badannya tak bisa bergerak."

Pintanya lagi, apa ada cerita kancil yang lebih milenial!. Kancil milenial?, ada-ada saja, dasar anak Gen Z, banyak maunya. Maka aku minta tempo beberapa saat untuk menuliskanya di komputer, sebelumnya akhirnya selesai. Si Kancil versi milenial-yang kali ini judulnya saya rubah menjadi Kancil Mencuri Apel, biar lebih milenial, tapi jadi sangat tidak Indonesia, karena kita negara agraris yang akrab dengan padi, sawah dan timun sebagai tanaman selingannya. 

Ceritanya aku rubah jadi begini!.

Kancil berdiri di pinggir kebun apel pak tani sambil matanya melotot ke arah orang-orangan yang dikira orang betulan. Heh, apa lihat-lihat!, suka ya," kata si kancil kege-eran. Si boneka sawah cuma bergeleng kekanan kiri karena dihembus angin.

Si kancil tambah marah, maka dengan membentak ia berteriak, "bisanya cuma diam!, ayo bicara kalau berani."

Karena tetap diam, si kancil dengan emosi langsung memukul kearah badan si orang-orangan sawah, dan tiba-tiba kakinya lengket kebadan orang-orangan sawah itu. Dengan kaki depan satunya ia mencoba melepas, eh malah kedua kakinya sekarang menempel.  Dengan sekuat tenaga ia berusaha melepas dengan kaki lainnya. Kali ini berhasil, tapi sayang, ia justru "berhasil" lengket semua ke badan si orang-orangan sawah.

Kancil tidak tahu kalau pak tani sudah menempelkan getah yang super kuat ke badan orang-orangan sawah supaya si kancil tertangkap.

Memang sudah berhari-hari kancil selalu saja mencuri apel di kebunnya. Pak tani sudah tak habis pikir bagaimana caranya menangkap si pencuri timunnya itu.

Maka ketika dilihatnya si Kancil menempel di boneka sawahnya, maka inilah saatnya membawa pulang dan memasak daging gulai kancil kesukaan istrinya.

Kancil di tempatkannya di kandang dekat kandang ayam. Dengan muka bandel, si kancil langsung membuat drama-berpura-pura gembira agar terlihat si ayam. Benar saja si ayam penasaran, "kenapa sih Cil, dari tadi senyum-senyum sendiri kaya kancil gila aja."

"Eits, tunggu dulu, bicara yang sopan dengan calon pangeran dong!". "Tahu nggak kalau sebentar lagi, aku akan diambil petani untuk dijadikan pangeran, makanya aku dijaga supaya tidak diambil orang, nggak diganggu kamu, karena kamu pasti jelous, iri kaaan?" .

"Masa sih, pangeran?. Memang ada pangeran kancil. Pangeran ayam kalliii adanya!. Apa nggak salah petani milih kamu, kenapa bukan aku. Lihat tubuhku berbulu merah menyala terang, warna-warni lagi, jengger di kepalaku juga besar dan keren. Belum lagi ini, coba lihat taji di kakiku setajam silet, tau!. Sedangkan kamu cuma-abu-abu, itupun agak buram-buram gimanaaa gitu!".

"Ya nggak tahu!, tanya aja sama pak tani". Pancing kancil yang merasa tipu muslihatnya bakal berhasil. "Atau begini saja, biar aku yang bilang ke pak tani, kalau kamu aja yang jadi pangeran. Tapi keluarin aku dulu. Bagaimana aku bisa bilang ke pak tani, kalau aku masih dalam kandang".

"Baiklah, kalo begitu," kata si ayam tanpa pikir panjang, sambil membuka pintu kandang, dan si kancil langsung keluar dengan riang. Kancil langsung menyuruh si ayam masuk kedalam kandang. "Tunggu ya sampai pak tani datang setelah aku panggil, pokoknya jangan ribut-ribut". Kata si kancil sambil berjalan, lalu berlari ke hutan meninggalkan ayam yang senyum-senyum sendiri, karena bakal jadi pangeran.

Tak lama pak tani datang membawa golok terasah tajam. Betapa terkejutnya ketika dilihat yang duduk manis dan senyum-senyum justru si ayam jago, bukan kancil.

Maka dengan  kencang pak tani berteriak, "awasssss kamu kanciiiil!!!. Benci-benci benci!", kata pak tani sambil marah, tapi sambil nangis juga, karena tidak jadi makan gulai kancil. "Ya, sudahlah, makan gulai ayam saja", kali ini justru ayam jagonya yang jatuh pingsan. The end.

Ia terbahak-bahak, duduk bersila dengan muka condong penuh antusias, "yaaaa, ceritanya kok cepet abis!". Dan aku bersiap mengarang si kancil dan buaya (versi milenial).

Ternyata urusan berceritapun ada kategorinya, klasik versus milenial. Bahkan urusan timun dan apel saja jadi masalah. Begitulah, kita harus terus belajar mengikut zaman, kalau nggak mau digilas. Justru anak kita yang mengingatkan bahwa, "jaman" telah berubah, maka beradaptasilah!. Tunggu cerita si kancil berikutnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun