Mohon tunggu...
Hanif Sofyan
Hanif Sofyan Mohon Tunggu... Full Time Blogger - pegiat literasi
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Buku De Atjehers series

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Bertholt Brecht; Doa Para Tukang, Dimana Mereka Sekarang?

31 Oktober 2021   11:35 Diperbarui: 5 November 2021   01:15 188
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi pekerja informal. (sumber: tribunnews.com)

Avianti Armand, seorang arsitek, kurator, penulis dan penyair, pernah menulis dengan manis, tentang kota dan semua yang ada di baliknya. Ia juga menulis tentang tukang dan arsitektur yang digelutinya. Ia memulainya dengan sebuah pertanyaan filosofis kutipan dari Gunawan Muhammad, Tentang Ruang dan Garis: "Siapa yang membangun tujuh gerbang Thebes?" Bertholt Brecht bertanya, bersedih atas hilangnya kuli-kuli dan tukang batu dari lembar buku-buku sejarah. 

Tukang adalah unsur yang "hilang". Tak seorangpun bertanya, seperti Brecht, kemana mereka semua pergi setelah dinding-dinding itu berdiri, setelah arsitektur itu ada. Kami bahkan mengunjungi rumah para tukang yang memabangun rumah kami layaknya saudara, paman, bahkan kakek sendiri.

Semua manusia pada dasarnya pejuang, entah untuk siapa ia menyandarkan harapannya, bisa dirinya sendiri, keluarganya, ibunya, ayahnya, adiknya, kakaknya, atau siapapun mereka yang berada dibelakang punggungnya.

Setiap orang punya cara dalam memandang realitas, terlepas ia hanya membantunya dengan doa sebagai bentuk bantuan selemah-lemah iman, atau dengan, bantuan spontanitas ala Baim Wong melalui acara tivi.

Atau, bahkan tindakan kongkrit jika punya kuasa mengangkat derajatnya, seperti Bedah Rumah-meskipun dipenuhi liputan.  

Banyak orang secara spontanitas mengulur tangan membantu, tanpa tendensi, tanpa liputan dan bukan acara rekayasa alias setingan. Bahwa faktanya orang Indonesia adalah pribadi pemurah, yang suka menolong dan menyumbang.

Istriku sering ditertawakan oleh adik-adiknya gara-gara soal sepele, "mendramatisir" orang yang ditemuinya di jalan, yang nasibnya dirasakan jauh dari ekspektasinya. Apalagi jika orangnya tua, kondisi malam, hujan, dan lebat lagi. Siapapun bisa menjadi bahan dramanya, Tukang, Tukang parkir, penjaja sayur keliling, muge ungkot (penjual ikan), resminya para pekerja formal adalah sasaran dramanya. 

Di parkiran, istriku selalu bertanya kepada saya setiap kali akan membayar uang parkir, berapa mau abang kasih? Jika uangnya sesuai (termasuk sedekah didalamnya) maka ia akan mengiyakan. Jika kurang, maka ia akan meminta aku menambah jumlahnya, apalagi jika petugas parkirnya seorang tua, yang selalu mengingatkannya pada orangtuanya di rumah.

Jika tukang belum gajian, istriku sibuk nanya, kapan dibayar, padahal tukangnya bilang nanti aja, keburu abis kalau uangnya dipegang kecepetan.

Maka, setiap ketemu "kasus" atau "sasaran", misalnya bapak tua bersepeda, entah darimana datangnya, sepanjang jalan, sambil duduk santai di boncengan, ia akan menerocos dengan memulai drama versinya. "Bang kasian bapak itu, pastilah ia sudah ditunggu anaknya di malam selarut ini, anaknya menunggu pesanan martabak manis yang dipesannya pagi tadi. 

Anaknya pasti memaksa tak akan tidur sebelum ayahnya pulang. Istrinya juga pasti kuatir, mikir apakah ayah sudah makan siang tadi, dan makam malam yang sudah dihidangnya sejak Maghrib tadi sudah dingin dan mungkin harus dipanasin lagi. 

Ia pasti pulang sambil mengayuh sepeda, padahal rumahnya jauh, apalagi kalau turun hujan deras." Begitulah seterusnya, dan seterusnya. Sepanjang jalan kenangan, ia akan "menyelesaikan" naskah dramanya. Menurutku jika ia sempat menulis atau merekamnya, maka pastilah dengan cepat akan jadi cerita pendek setiap kali kami jalan-jalan berdua ke kota.

Mereka selalu ada diantara kita. di mana dan kapan dalam keseharian kita tak menemui mereka. Dengan semua kesederhaanan mereka adalah para pejuang keluarga, pejuang bagi nasibnya sendiri, dan pejuang untuk masa depannya sendiri.

Ketika kita melihat mereka sebagai kita, ada empati yang ingin kita rasakan, ada simpati yang ingin kita bagikan dan ada hati yang bisa merasakan kerasnya perjuangannya. 

Karena hidup ini asli, harapan dan keinginan kita saja yang seringkali palsu. Konon lagi saat ini, ketika kita "bersekolah" di sekolah pandemi covid-19, "ruang pendidikan eksklusif" yang mengajarkan kita tentang harapan hidup baru, masa depan baru dan bahkan untuk menjadi normal-pun harus "baru". 

Dengan sangat menyentuh Avianti menulis di penutup bukunya, "Saya selalu merasa, bahwa setiap proyek yang saya tangani, tidak hanya dibangun oeh uang para klien, perencanaan dan pelaksanaan yang baik, tapi juga doa para tukang. 

Dan meskipun bangunan itu sudah selesai, tukang-tukang itu masih akan "ada" di sana".

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun