Anaknya pasti memaksa tak akan tidur sebelum ayahnya pulang. Istrinya juga pasti kuatir, mikir apakah ayah sudah makan siang tadi, dan makam malam yang sudah dihidangnya sejak Maghrib tadi sudah dingin dan mungkin harus dipanasin lagi.Â
Ia pasti pulang sambil mengayuh sepeda, padahal rumahnya jauh, apalagi kalau turun hujan deras." Begitulah seterusnya, dan seterusnya. Sepanjang jalan kenangan, ia akan "menyelesaikan" naskah dramanya. Menurutku jika ia sempat menulis atau merekamnya, maka pastilah dengan cepat akan jadi cerita pendek setiap kali kami jalan-jalan berdua ke kota.
Mereka selalu ada diantara kita. di mana dan kapan dalam keseharian kita tak menemui mereka. Dengan semua kesederhaanan mereka adalah para pejuang keluarga, pejuang bagi nasibnya sendiri, dan pejuang untuk masa depannya sendiri.
Ketika kita melihat mereka sebagai kita, ada empati yang ingin kita rasakan, ada simpati yang ingin kita bagikan dan ada hati yang bisa merasakan kerasnya perjuangannya.Â
Karena hidup ini asli, harapan dan keinginan kita saja yang seringkali palsu. Konon lagi saat ini, ketika kita "bersekolah" di sekolah pandemi covid-19, "ruang pendidikan eksklusif" yang mengajarkan kita tentang harapan hidup baru, masa depan baru dan bahkan untuk menjadi normal-pun harus "baru".Â
Dengan sangat menyentuh Avianti menulis di penutup bukunya, "Saya selalu merasa, bahwa setiap proyek yang saya tangani, tidak hanya dibangun oeh uang para klien, perencanaan dan pelaksanaan yang baik, tapi juga doa para tukang.Â
Dan meskipun bangunan itu sudah selesai, tukang-tukang itu masih akan "ada" di sana".
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H