Mohon tunggu...
Hanif Sofyan
Hanif Sofyan Mohon Tunggu... Full Time Blogger - pegiat literasi
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Buku De Atjehers series

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Buaya Kok Makan Buaya?

30 Oktober 2021   15:16 Diperbarui: 31 Oktober 2021   00:12 427
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bahkan ada opini yang menyebut, jika dana Otsus dicabut, Aceh siap bangkrut, (tirto.id; 30/7/2018). Keberadaan dana Otsus justru memicu "fenomena, tikus pemakan padi di lumbung sendiri".

Keberadaan dana Otsus-lah yang mendorong kita mampu berada dalam posisi seperti sekarang. Di satu sisi Otsus menjadi stimulan positif untuk membangun, namun di sisi lain juga menjadi pangkal kemalasan fiskal kita. 

Kita sepenuhnya berharap pada Otsus dan melupakan pertumbuhan pembangunan dari pendapatan ekonomi alternatif seperti, pembangunan industri yang ber-multiplier effect, pengaruh lebih besar, karena berkaitan dengan terbukanya lapangan kerja, dan berkurangnya angka kemiskinan, itu pun jika kita dapat memanfaatkanya dengan mempersiapkan tenaga kerja berdaya saing tinggi.

Ketika Pemerintah kita mendorong Otsus berkelanjutan dan abadi, sesungguhnya kita sedang memberikan dua sinyal. Pertama; tentang pertanggungjawaban Pusat atas masa lalu Aceh dan, kedua; ketakutan kita dengan masa depan kita sendiri. 

Sedangkan usaha kita paling optimal justru tidak menoptimalkan Otsus. Padahal dana Rp 73 triliun sejak 2008-2019 adalah peluang besar kita membangun  infrastruktur menuju Aceh Tinggal Landas, mungkin 2027 mendatang? AIP adalah alternatif batu loncatan percepatan pembangunan kita.

Tentu saja kita tidak sepenuhnya setuju jika hanya mengandalkan Otsus, atau paling kuat menggunakan seluruh persediaan tambang kita untuk mendorong pembangunan, walaupun kita menggunakan skema Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB). 

Jelas ini berbahaya bagi masa depan Aceh, karena semestinya tambang dan persediaan alam adalah alternatif terakhir setelah seluruh upaya kita mendanai pembangunan pupus. 

Kita masih bisa  melirik IMT-GT sebagai kekuatan membangun ekonomi kita, meskipun kita selalu aktif dalam Working Grop Session dalam setiap tahapannya. 

Termasuk mengoptimalkan peran perikanan tangkap laut sebagai kekuatan pemasok modal pembangunan yang positif. Belum lagi kita bicara tentang ekonomi sirkular yang mendorong penghematan produksi, pemanfaatan barang lebih lama dan menggunakan siklus daur ulang untuk menghemat seluruh penggunaan barang agar dapat menghemat penggunaan energi fosil kita.

Menjadi "buya krueng"

Jika terus berharap pada investor untuk memenuhi seluruh kebutuhan kita, termasuk dalam pengadaan infrastruktur, jalan, air, listrik (yang di masa depan akan didorong melalui skema energi terbarukan dengan memanfaatkan energi angin, matahari, air dan baterai), tentu saja akan buruk dimata investor. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun