Mohon tunggu...
Hanif Sofyan
Hanif Sofyan Mohon Tunggu... Full Time Blogger - pegiat literasi
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Buku De Atjehers series

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Petani Tomat Kepingin Punya Pabrik Saos, Siapa Berminat?.

30 Oktober 2021   10:21 Diperbarui: 27 November 2021   23:58 525
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

PergiKuliner.com

Headlinenya ditulis dengan huruf kapital besar-besar, PETANI BUANG TOMAT HASIL PANEN! (Serambi Indonesia, 3/8/21). Ini bukan headline berita pertama di koran terbesar di Aceh ini, dan juga bukan kasus pertama. Kasus ini bisa-lah kita lihat dari tiga jenis kacamata. Dari sudut pandang  konsumen, produsen, dan dari sudut pandang ekonomi makro. Kasus serupa sebenarnya juga pernah kejadian, tapi kasusnya banjir ikan yang overloada dan melimpah di Pelabuhan Samudera Lampulo, Banda Aceh, dan dengan "terpaksa" dibuang juga kelebihan produksinya akibat panen raya. 

Apakah "buang" tomat hasil panen atau ikan hasil tangkapan, jadi pilihan "terbaik" sebagai ungkapan kekecewaan para petani atau nelayan?. Apakah ada pilihan lain?. Bagaimana sudut pandang fenomena ini dari mata konsumen, produsen dan ekonomi?

Konsumen jelas akan memandang fenomena ini sebagai-- kemubaziran. Mereka setiap hari belanja, membeli banyak kebutuhan harian termasuk tomat, ikan dan komoditas rumah tangga lainnya, sehingga mereka merasa sayuran tomat dan ikan tidak mungkin tidak dibutuhkan di pasaran. Sedangkan dari pihak produsen, dalam masa panen, jumlah komoditas buah tomat yang dihasilkan harian dalam hitungan puluhan ton. Dalam kondisi normal kebutuhan pasar di luar Bener Meriah (Aceh Tengah) adalah 90 ton, sementara saat pandemi ini menurun hanya tinggal 20 ton per hari. Bagaimana dengan sisa produksinya yang 60 ton per hari atau 1.800 ton dalam sebulan?. Dengan potensi itu, adakah yang minat bikin pabrik saus?

Dilema Permintaan-Penawaran

Fenomena ini barangkali akan menjadi aneh dalam sudut pandang ekonomi skala makro. Di satu sisi, kita ingin pertanian kita swasembada-surplus, dalam skema gagasan pertanian maju, petani sejahtera. Pilihan intensifikasi (pendayagunaan pertanian) maupun diversifikasi (penambahan luas areal tanam) dijadikan solusi untuk meningkatkan sumber daya pertanian. Sebaliknya dalam kasus masa panen raya yang sangat laten terjadi justru harga jatuh, petani rugi. Belum lagi, sebagian petani menggunakan skema bantuan modal dari pedagangpengumpul dengan sistem bagi hasil 80-20 persen per produksi. Akan lebih fatal jika permodalannya mandiri. Apakah sesungguhnya pernah terpikirkan bagaimana jalan keluarnya ketika memutuskan ber-swasembada pangan?

Seperti jamaknya rumus penawaran- permintaan (demand-supply), jika permintaan pasar meningkat, maka produksi akan lancar dan harga stabil. Sementara jika permintaan sedikit, namun produksi banyak, maka harga cenderung menurun. Sebaliknya jika permintaan banyak, namun produksi rendah, maka harga cenderung bergerak naik.

Namun rumus ini bisa berubah, apalagi jika terdapat "permainan" harga di tingkat pedagang-pengumpul, atau kontrol pasar yang rendah dari pemerintah. Mekanisme pasar akan bermain sesuka hatinya. Pedagang menawar dengan harga rendah dari petani, namun sebaliknya pedagang mendapat harga tinggi dari pembeli. Dalam kasus petani tomat di Bener Meriah, turunnya harga komoditas buah tomat menjadi biang kekecewaan. Harga komoditas tomat hasil panennya terjun bebas dari harga Rp 3.000-4.000 per kilo menjadi Rp 500-1.000 perkilo. Ketika permintaan pasar menurun, maka produksi semestinya harus diturunkan menyesuaikan dengan kondisi penawaran.

Tapi hal tersebut hanya berlaku fleksibel bagi komoditas yang bisa di atur mekanisme produksinya, tidak dengan komoditas pertanian, maupun perikanan, yang cenderung cepat rusak. Bahkan dalam kasus komoditas pertanian, musim panen dan musim ikan yang besar, para produsen justru akan memanfaatkan peluang banjir produksi ini dengan membelinya dengan harga murah. Artinya petani dan nelayan berharap ketika produksi tinggi akan memperoleh pendapatan yang banyak, sementara produsen berpikir, justru ketika produksi berlimpah, maka ia dapat membelinya dengan harga lebih murah.

Apalagi komoditas pertanian dan perikanan, termasuk jenis komoditas jangka pendek yang akan menjadi residu jika tidak segera dikelola dengan baik. Meskipun kasus ini bukan pertama kali terjadi dan sudah sangat lama, namun solusi terbaik hingga saat ini belum ampuh. Setidaknya jika kita mencerdasi apa kata Peter Drucker, bapak manajemen dunia, justru dalam turbulensi (situasi buruk) terdapat peluang, maka kondisi nasib petani tomat Bener Meriah adalah sebuah peluang baru bagi para investor untuk memilikirkan bagaimana seandainya Kabupaten Bener Meriah punya pabrik saus tomat!

Rantai produksinya bisa lebih pendek, karena langsung berada di pusat penghasil komoditas, dan pengolahan produknya dapat memperpanjang umur komoditas, dan naiknya kualitas harga. Dan tentu saja kepastian produksi dan kestabilan harga bagi para petani.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun