Mohon tunggu...
Hanif Sofyan
Hanif Sofyan Mohon Tunggu... Full Time Blogger - pegiat literasi
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Buku De Atjehers series

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Dilema Daw Suu; Popularitas Versus Minoritas

1 Februari 2021   23:00 Diperbarui: 5 Februari 2021   17:49 309
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


Membicarakan Myanmar saat ini, suka atau tidak suka, tidak bisa dipisahkan dengan nama Aung San Suu Kyi atau Daw Suu. Bukan Daw Suu, jika sepak terjangnya tidak membuat dinamika Myanmar selalu menjadi sorotan. 

Namanya mulai menjulang ketika bersama kelompok mahasiswa menggoyang posisi junta militer yang telah menguasai Myanmar sejak kudeta 1962. Namun kini sebaliknya justru sebagai pemimpin de-facto Myanmar, Aung San Suu Kyi bersama Presiden Win Myint dan para petinggi Partai Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) justru di kudeta militer Myanmar.

Peran besarnya sebagai pendobrak demokrasi Myanmar dimulai paska kepulangannya dari luar negeri ditahun 1988, dan langsung larut dalam gerakan mahasiswa menentang pemerintahan yang berkuasa. 

Aktifitas politiknya menyebabkannya menjadi tahanan rumah. Namun prakarsa membangun demokrasi yang lebih baik bagi Myanmar pula yang menyebabkan ia diganjar dengan Hadiah Nobel Perdamaian untuk demokrasi (1991). www.cnbcindonesia.com

Meskipun lama bermukim di luar negeri, darah pahlawan yang mengalir dari ayahnya yang merupakan pahlawan kemerdekaan negeri itu Aung San, membuatnya memiliki pengaruh yang kuat untuk menjadi figur pemimpin. 

Keterlibatannya dengan pemerintahan semakin intens di tahun 2011. Namun konstitusi mengganjalnya unutk terus melaju ke kursi kepresidenan karena pernikahannya dengan orang asing.

Dunia internasional mencatat sepak terjangnya sebagai indikasi penting membangun demokrasi dengan berusaha mengakhiri perang saudara dan membangun demokrasi dengan mengurangi peran militer serta mengumpulkan investasi untuk mendorong pembangunan di negerinya. 

Tantangan utamanya juga menyangkut nasib kelompok minoritas Rohingya, persoalan yang telah lama menjadi "duri'dalam persoalan politik dan demokrasi di Myanmar. Namun janji ini pula yang menyebabkan ia disorot dunia internasional, karena "kebimbangannya" dalam mengambil keputusan politis unutk mengakhirinya.

Meluruskan Makna Demokrasi

Pertentangan antara kubu pemerintah sipil dan militer meluas karena dugaan dan tudingan kecurangan pemilu. Meskipun berbagai klarifikasi telah dilakukan, namun menjadi pemicu konfrontasi yang mendorong pemerintah militer mencabut konstitusi dan memberlakukan status darurat hingga setahun kedepan.

Sesungguhnya kisah pertentangan ini telah tercium lama, sejak eksistensi junta militer menguasai apa yang disebut sebagai "demokrasi ala Junta Militer Myanmar". Tindakan represif dan hegemoni kuasa menandai era ini. Referendum terhadap konstitusi, dan penolakan hasil pemilu menjadi hal yang tak bisa ditawar, untuk melegalkan hegemoni kuasa pihak militer, sekalipun pemilu dimenangkanoleh kelompok pro demokrasi.

Idealnya, kuasa demokrasi adalah pada rakyat, yang menggunakan kanal saluran formal dan informal untuk merepresentasikan partisipasinya dalam berpolitik, namun kuasa militer menjadi "raja". 

Bisa saja Myanmar belajar dari negara tetangga di ASEAN yang memiliki latarbelakang sejarah kasus yang serupa, namun bagaimanapun intrik politik masih menjadi ganjalan utama lahirnya demokrasi untuk bisa berlaku ideal di negeri Myanmar.

Belum lagi persoalan Etnis Rohingya yang selalu menjadi ukuran keberhasilan demokrasi ideal di Myanmar.  Jika soal itusaja tidak bisa ditegakkan, maka mata dunia internasional tetap melihat Myanmar sebagai negara "gagal"  melahirkan demokrasi dan menganggap peran Aung San Suu Kyi tetap belum optimal sebagai pemimpin ideal yang berlabel Nobel untuk demokrasi. 

Meskipun bukan persoalan sederhana, menggunakan pengaruh dan kuasa untuk meluruskan cita-cita dan impiannya untuk membangun demokrasi Myanmar lebih ideal. Bagaimanapun kerja kerasnya belum selasai, apalagi paska penahanannya oleh pihak junta militer.

Dalam kasus yang hampir sama di alami oleh negara tetangganya, dapat menjadi pembelajaran bagi Myanmar. Bagaimana transisi demokrasi dibangun sejak kepemimpinan yang didominasi militer dan kemudian beralih pada kepemimpinansipil.Bagaimana demokrasi berkembang dan memulihkan dirinya sendiri dengan berbagai benturan politik yang masih kerap menjadi musababnya.

Bisa jadi karena kepemimpinan sipil masih diukur dan dibandingkan dengan model kepemimipinan militer yang cenderung dianggap "lebih mampu" mengatasi konflik dan dinamika sebuah negara.

Dalam konteks permasalahan di Indonesia, Philipina dan Thailand , yang  juga menyuguhkan problematika konflik politik, pluralisme, ragam kesukuan dan ketidakadilan politik- ekonomi, juga menjadii sumbu yang dapat menimbulkan bom waktu konflik yang kasusnya bisa dipelajari dan dijadikan pembelajaran. 

Seperti halnya yang  terjadi di Indonesia terkait persoalan konflik kelompok separatis di Aceh dan Papua yang hingga kini terus mencari untuk menemukan jalan damai yang lebih hakiki. Setidaknya, berbagai kemajuan yang telah dicapai oleh beberapa negara tetangganya dapat menjadi cermin bagi Myanmar, terutama bagi model perpolitikan Aung San Suu Kyi kelak. 

Agar tidak dihantui dilema, meluruskan demokrasi dan membuktikan sebagai pemimpin yang mampu bersikap tegas dalam meluruskan persoalan kekerasan terhadap minoritas Muslim Rohingya. Bukan sekedar membersihkan citranya dimata internasional,sebagai pemimpin demokratis semata. [hans-acehdigest-2021].

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun