Sesungguhnya kisah pertentangan ini telah tercium lama, sejak eksistensi junta militer menguasai apa yang disebut sebagai "demokrasi ala Junta Militer Myanmar". Tindakan represif dan hegemoni kuasa menandai era ini. Referendum terhadap konstitusi, dan penolakan hasil pemilu menjadi hal yang tak bisa ditawar, untuk melegalkan hegemoni kuasa pihak militer, sekalipun pemilu dimenangkanoleh kelompok pro demokrasi.
Idealnya, kuasa demokrasi adalah pada rakyat, yang menggunakan kanal saluran formal dan informal untuk merepresentasikan partisipasinya dalam berpolitik, namun kuasa militer menjadi "raja".Â
Bisa saja Myanmar belajar dari negara tetangga di ASEAN yang memiliki latarbelakang sejarah kasus yang serupa, namun bagaimanapun intrik politik masih menjadi ganjalan utama lahirnya demokrasi untuk bisa berlaku ideal di negeri Myanmar.
Belum lagi persoalan Etnis Rohingya yang selalu menjadi ukuran keberhasilan demokrasi ideal di Myanmar. Â Jika soal itusaja tidak bisa ditegakkan, maka mata dunia internasional tetap melihat Myanmar sebagai negara "gagal" Â melahirkan demokrasi dan menganggap peran Aung San Suu Kyi tetap belum optimal sebagai pemimpin ideal yang berlabel Nobel untuk demokrasi.Â
Meskipun bukan persoalan sederhana, menggunakan pengaruh dan kuasa untuk meluruskan cita-cita dan impiannya untuk membangun demokrasi Myanmar lebih ideal. Bagaimanapun kerja kerasnya belum selasai, apalagi paska penahanannya oleh pihak junta militer.
Dalam kasus yang hampir sama di alami oleh negara tetangganya, dapat menjadi pembelajaran bagi Myanmar. Bagaimana transisi demokrasi dibangun sejak kepemimpinan yang didominasi militer dan kemudian beralih pada kepemimpinansipil.Bagaimana demokrasi berkembang dan memulihkan dirinya sendiri dengan berbagai benturan politik yang masih kerap menjadi musababnya.
Bisa jadi karena kepemimpinan sipil masih diukur dan dibandingkan dengan model kepemimipinan militer yang cenderung dianggap "lebih mampu" mengatasi konflik dan dinamika sebuah negara.
Dalam konteks permasalahan di Indonesia, Philipina dan Thailand , yang  juga menyuguhkan problematika konflik politik, pluralisme, ragam kesukuan dan ketidakadilan politik- ekonomi, juga menjadii sumbu yang dapat menimbulkan bom waktu konflik yang kasusnya bisa dipelajari dan dijadikan pembelajaran.Â
Seperti halnya yang  terjadi di Indonesia terkait persoalan konflik kelompok separatis di Aceh dan Papua yang hingga kini terus mencari untuk menemukan jalan damai yang lebih hakiki. Setidaknya, berbagai kemajuan yang telah dicapai oleh beberapa negara tetangganya dapat menjadi cermin bagi Myanmar, terutama bagi model perpolitikan Aung San Suu Kyi kelak.Â
Agar tidak dihantui dilema, meluruskan demokrasi dan membuktikan sebagai pemimpin yang mampu bersikap tegas dalam meluruskan persoalan kekerasan terhadap minoritas Muslim Rohingya. Bukan sekedar membersihkan citranya dimata internasional,sebagai pemimpin demokratis semata. [hans-acehdigest-2021].
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H